Aku Irgi Purnama Putra. Masih ingat dengan jelas saat sosok cewek yang mulai mengganggu hari-hari ku. Cewek yang pertamanya membuatku sebal setengah mati. Cewek yang di Kagumi seantero kampus. Yang menjadi bahan gosip cewek-cewek dan ajang taruhan seluruh cowok yang ada di sini. Tepatnya cewek yang membuat tidurku selalu tidak nyenyak.
Dialah, Nabila Bulan Dirgantara. Atau lebih tepatnya di panggil Bulan. Sosok yang memang cantik. Lebih cantik dari Rania, wanita yang pernah menjadi cinta dalam hidupku.
Bulan. Nama yang memang cantik dan sesuai. Tapi bukan itu awalnya aku menyukainya. Dia membuatku kesal dengan kasak kusuk orang-orang di sekitarku. Dalam orbitku di kampus. Bulan sudah menguasai seluruhnya. Membuat para cewek iri, dan cowok benar-benar tertantang untuk mengejarnya.
Aku sendiri, sebenarnya sudah tidak peduli. Dengan sosok yang bernama wanita. Tapi sekali lagi, Bulan mulai mengusik ku. Di perpustakaan, di kantin, di kelas bahkan di toilet nama itu selalu terdengar.
Belum sempat aku memuaskan rasa penasaran ku. Tiba-tiba dia hadir...
"Kenapa menemuiku?" Aku seperti dibangunkan dari mimpi indahku. Dan saat aku mengerjap. Di depanku, telah berdiri sosok yang begitu cantik. Yang beberapa hari ini akhirnya membuatku kalang kabut.
Dengan di balut gaun selutut dengan motif bunga warna, dan berwarna merah muda itu. Bulan terlihat begitu manis. Apalagi rambutnya yang di ikat ekor kuda menambah dirinya makin terlihat seperti anak kecil. Inikah wanita yang dalam hitungan hari akan kunikahi?
Tapi aku tersadar. Wajah Bulan di tekuk dan tak tersenyum sedikitpun. Aku memintanya datang ke sini. Ke cafe Rendevouz. Yang ada di dekat rumah Om yang ada di Jakarta ini.
Urusan melamar, dan akhirnya mengurus pernikahan ini memang akhirnya mengharuskan ku untuk pindah sementara ke kota ini. Cuti dari kampus secara mendadak.
"Duduk." Aku ingin lebih lembut lagi mengucapkan itu tapi aku gugup. Tiap kali berada di dekat Bulan, selalu aku tidak bisa mengekspresikan diriku secara tepat. Yang terjadi hanya kata kaku dan wajah datar.
Bulan memberengut, tapi kemudian menarik kursi di depanku dan langsung menghempaskan dirinya di kursi.
Poninya kini tampak bergoyang saat dia berdecak dengan sebal lagi.
"Semalam mengganggu tidurku. Dan sekarang minta bertemu di sini. Kenapa kamu gak ke rumah aja?"
Bulan tampak jengkel. Lalu melotot kepadaku. Menyugar rambut dengan jemariku. Aku tahu aku juga tidak tahu memanggil Bulan kemari. Setidaknya aku memang tidak menjemputnya karena sebenarnya itu bukan rencanaku.
Setelah melamar Bulan tempo hari dan berjanji akan membawa kedua orang tuaku secepatnya. Aku masih belum berani untuk datang kembali. Tapi aku tahu, setelah lamaranku semalam kepada Bulan. Yang tidak dia jawab. Aku merasa, sekaranglah saatnya untuk berbicara kepadanya. Hanya berdua.
"Aku pesankan kamu cappucino." tanganku melambai ke arah pelayan yang mulai berjalan ke arah mejaku. Dan saat sudah sampai, aku mengatakan untuk mengantarkan pesanan yang sudah aku pesan tadi.
Sementara pelayan itu mengangguk dan melangkah pergi. Kini kuamati Bulan lagi. Dia tampak malas berada di sini.
"Hei." Kulambaikan tanganku ke depan wajahnya. Dan dia langsung mengerjap. Tapi kemudian mengerucutkan bibirnya lagi.
"Aku mau pulang." Dia langsung beranjak dari kursinya. Tentu saja aku sudah panik. Bukankah aku belum mengatakan apapun?tapi kenapa dia sudah ingin pergi.
Dan tepat saat Bulan mengambil tas Selempang nya. Musik terdengar dan pesanan yang aku pesan tadi langsung datang.
Bulan langsung menoleh kepadaku saat terdengar alunan intro yang terdengar dari arah panggung live music yang ada di tengah cafe ini. Lalu lagu milik Bruno Mars yang berjudul versace on the floor kini mengalun dengan indah. Dan cappucino ku juga sudah di hidangkan.
Mata Bulan membelalak saat melihat Gambar di cappucino dan bunga di sebelahnya. Itu memang ideku. Aku tidak bisa mengucapkan sesuatu yang romantis. Tapi hanya itu yang bisa aku perlihatkan,,kalau aku memang serius dengan Bulan. Ini bukan main-main lagi.
Bulan akhirnya membalikkan duduknya lagi. Dan kini jatuh terduduk di kursinya. Masih menatap takjub sementara lagu Bruno mars yang di nyanyikan penyanyi cafe ini masih mengalun dengan indah.
Tepat saat inilah, kuambil sesuatu dari kantung kemejaku. Kotak berwarna biru navy. Dan langsung kusodorkan ke depannya.
Bulan mengerjap lagi. Dan menatapku bingung.
"Untukmu." Lidahku kembali kelu. Hanya ingin mengatakan seperti semalam, tapi aku takut tidak ada jawaban lagi. Dan aku tak mau membuat Bulan ketakutan.
"Apa ini?" Bulan mengerjap lagi. Dan kini menyentuh kotak itu. Lalu dengan cepat membukanya. Dan dia tampak bingung.
"Kenapa kamu memberiku liontin?" Bulan tampak tidak suka. Dan aku tahu kalau Bulan kecewa. Aku menyugar rambutku lagi. Tidak tahu bagaimana menjelaskannya.
Tapi kemudian pipi itu menggembung dan memerah. Sungguh sangat lucu.
"Maksudmu kamu melamarku, dengan liontin ini?" Dia menunjuk liontin dengan bentuk bulan sabit itu dengan batu permata menghiasi sekelilingnya. Tentu saja aku langsung mengangguk.
"Aku tidak bisa memberimu cincin. Tidak." Aku kembali menggeleng. Masih terlalu trauma dengan cincin nikahku yang di lemparkan begitu saja ke mukaku saat Rania pergi dariku.
Tapi Bulan sepertinya tidak menghiraukan ucapanku. Karena dia sudah menyeringai senang dan menatap liontin itu lagi.
"Bagus, aku suka." Aku mengernyit, lalu menatap Bulan yang kini mengambil liontin itu. Dan menimangnya di dalam tangannya.
"Terus ini makainya gimana?" Dan aku hampir tertawa mendengar pertanyaan polos itu. Aku langsung beranjak dari kursi ku. Melangkah ke arah belakang Bulan.
Mengambil sesuatu lagi dari saku, dan kini meminta liontin itu.
Bulan masih nampak bingung. Tapi dia sudah menyerahkan liontin kepadaku. Dan degan cepat aku memasukkan liontin itu ke kalung yang terbuat dari perak.
Dan melangkah untuk berada di belakang kursi Bulan, dan segera memakaikan kalung itu. Bulan memekik tapi kemudian menutup mulutnya saat melihat pandangan penasaran dari semua orang yang ada di sekitar kami.
"Wah cantik." Bulan sudah menyentuh kalung yang baru kupasangkan dan kini aku duduk kembali. Menyodorkan cappucino ke depannya.
"Di minum." Tapi Bulan menggeleng.
"Kasihan yang buat. Jangan di minum nanti gambarnya rusak. Kalau di bawa pulang aja gimana?"
Tentu saja aku menghela nafas. Cewek ini kadang gurauannya tidak bisa di tolerir.
Dan tawa Bulan langsung membuat pipiku benar-benar merah. Sungguh, Bulan membuatku tak bisa berkutik.
"0-1 weeekk." Bulan dengan cepat mengambil cangkir itu dan menyesapnya. Lalu seperti anak kecil yang dengan sembarangan menyeka bibirnya dengan lengan bajunya. Sungguh bukan sikap yang anggun. Tapi kalau menyangkut tentang Bulan memang dia itu unik.
Tertidur di kelas, atau memintaku menjadi kekasihnya saat ingin memaafkan sikapku. Itukah Bulan yang sebenarnya? Siapa kamu Bulan?
"Jadi apa yang kamu katakan sama papa sehingga bisa membuatnya menyetujui lamaranmu? Jangan bilang kalau kamu mengatakan kita telah bercinta?"
Matanya menyipit dan dia berubah galak lagi. Aku hanya mengangkat bahu. Belum saatnya bercerita tentang hal itu. Satu yang pasti, aku tetap akan menikah dengan Bulan.