Aku tahu kalau aku akan berjalan ke tiang gantungan. Sidangnya akan di mulai langsung saat aku sampai di rumah. Tapi aku tetap akan menyalahkan Irgi saat ini. Menyiksanya selama perjalanan ini, karena semua adalah kesalahan pria songong di sebelahku.
"Kenapa kamu bisa menghubungi papaku?" Aku kini melirik Irgi yang sedari tadi masih fokus dengan kemudinya. Setelah menyantap hamburger itu aku memang sepertinya merasa tertidur. Dan terbangun sepertinya lagi, saat ada jalan yang tidak rata atau apalah. Kesadaran itu langsung memaksaku untuk menginterogasi Irgi.
"Ada air liur di pipimu." Aku langsung membelalakkan terkejut dan panik mengusap pipiku. Dan haduh ternyata memang benar. Alamak ini nah malu semalu-malunya aku.
"Kamu kalau tidur ngorok ya. Dan berliur." Sebelum aku menjawab, Irgi tiba-tiba mengambil ponselnya dari saku kemejanya dan langsung memberikan kepadaku. Tanpa menoleh sedikitpun ke arahku.
Aku menerimanya dengan malas, tapi langsung membelalak terkejut saat menyadari di layar ponsel Irgi ada wajahku yang sedang tertidur itu.
Astaga? Benarkah wajah jelek ini milikku? Tentu saja aku langsung menghapus foto itu. Tapi sebelum kata yes aku pencet, Irgi tiba-tiba sudah merebut ponselnya dari tanganku. Tentu saja aku melotot kepadanya.
Tapi pria yang aku pelototin itu tetap tak menatapku dan malah dengan santainya memasukkan ponsel itu ke dalam saku kemejanya lagi.
"Cukup! Kamu itu berbuat sesuka hatimu. Menciumku, memfotoku, memaksaku untuk menikah. Kamu bukan siapa-siapa ku. Aku tak akan menyerah begitu saja. Aku mau bilang sama papa kalau aku di jahatin sama kamu."
Aku membentaknya. Dan biarlah dia juga tahu aku memang tak suka di perlakukan seperti ini. Aku sudah muak. Kulihat tanganku di depan dadaku. Dan kini menatap lurus ke depan.
"Komplek perumahannya benar di sini kan?" Irgi tak menghiraukan kemarahanku. Saat mobil memang masuk ke dalam area komplek perumahan Keluargaku. Kenapa dia bisa tahu? Aku kan belum memberitahu alamat kepadanya?
"Kamu kenapa tahu alamatku di sini?" Jantungku langsung berdegup kencang saat mobil Irgi mulai berhenti di depan pintu gerbang berwarna kuning emas itu. Rumahku. Dan di dalamnya papa pasti sudah menungguku dengan membawa dakwaan kepadaku.
Tapi aku terkejut saat merasakan genggaman erat jemari Irgi di tanganku. Aku terkejut, dan melirik Irgi yang menatapku dengan penuh perhatian.
"Tidak akan terjadi apa-apa percayalah."
Aku mencibir mendengar ucapannya. Apa yang tidak apa-apa? Dia yang sudah membuat kekacauan ini. Enak saja bilang begitu. Aku segera melepas seat belt. Dan membuka pintu mobil. Langsung melompat turun, tanpa menunggu Irgi yang sepertinya juga melakukan hal yang sama.
Membuka pintu gerbang rumah, dan owh astaga! Papa sudah duduk di kursi singgasana di teras. Dengan memegang koran yang di bacanya. Papa kini menatapku tajam. Saat aku melangkah perlahan dengan tas ransel di punggung.
Papa sudah meletakkan korannya di atas meja. Dan langsung beranjak dari duduknya. Melangkah mendekati aku. Mati.
"Bulan, masuk ke dalam. Papa ingin bicara dengan Irgi."
Aku langsung berhenti saat papa sudah ada di depanku. Dan tiba-tiba Irgi sudah melangkah maju dan mencium tangan papa dengan hormat.
"Selamat sore Om, saya Irgi Purnama Putra yang menelepon Om Tempo hari."
Sungguh memuakkan. Si Irgi berusaha bersikap sopan. Tapi kini papa mengamatinya lekat. Lalu pandangan papa beralih kepadaku.
"Kamu masuk Bulan!" Aku memberengut dan menghentakkan kakiku.
"Pah, Bulan itu masih perawan dan tak pernah melakukan apapun dengan pria ini." kutunjuk Irgi yang masih menatapku dengan datar. Tapi Kulihat papa sudah tak sabar.
"Bulan masuk ke dalam!"
Tuh kan aku di bentak papa. Aku menatap galak kepada Irgi dan langsung berderap masuk ke dalam rumah. Pokoknya aku tidak terima di perlakukan seperti ini.
Saat melangkah masuk ke dalam rumah Mama sudah menyambut ku. Langsung merentangkan tangannya dan menungguku untuk di peluknya.
"Mah. Bulan gak salah mah. Bulan enggak pernah melakukan itu."
"Ssst iya Mama tahu. Sekarang biarkan papamu yang mengurusnya. Kamu mandi dulu sana. Kok bau asem sih Bul."
Tuh kan di saat genting begini Mama malah membahas soal bau badanku. Sungguh terlalu.
"Maahh Bulan males mandi. Mau dengerin pembicaraan papa. Ini masa depan Bulan mah. Masa Bulan santai-santai saja..."
Tapi Mama malah tersenyum dan mendorongku untuk masuk ke dalam kamar. Tuh kan aku merasa terkucil di sini.
"Mandi dulu, terus makan." Itu ucapan Mama, dan langsung meninggalkanku begitu pintu kamar tertutup. Sungguh semuanya membuatku kesal.
Aku segera berderap ke arah kamar mandi yang ada di dalam kamarku. Dan memang benar, aku bau asem. Uh gara-gara si Irgi semuanya jadi begini.
*****
Saat akhirnya aku sudah wangi dan perutku kembali menjerit untuk di isi. Aku melangkah keluar dari kamar. Penasaran juga dengan pembicaraan Irgi dan papa. Aku melangkah perlahan menuju ruang tamu
Mengintip dari balik korden warna biru laut yang ada di depanku.
"Bul. Gak usah pake ngintip-ngintip. Kamu keluar saja." Suara tegas Papa langsung membuatku memekik. Dan akhirnya aku keluar dari persembunyian. Dan di sana. Di sofa ruang tamu sudah ada Irgi yang yah wajahnya sedikit pucat. Sukurin. Rasain. Papaku Langit Dirgantara itu bukan pria biasa.
Pasti sudah membuat Irgi menyesal menemuinya.
Aku melangkah malas ke arah papa, dan mendudukkan tubuhku di sebelah papa.
"Papa mau tanya kamu mau menikah di sini apa di Bandung?"
"Hah?" Aku sontak berteriak mendengar ucapan papa.
"Menikah apa? Orang Bulan saja masih perawan dan..." Tapi aku menghentikan ucapanku saat papa menatapku tajam.
"Papa kan sudah bilang sejak awal. Papa gak setuju kamu kuliah di Bandung. Dan sekarang kamu buat masalah seperti ini. Untung Irgi mau bertanggung jawab. Dan papa bisa tenang meninggalkanmu kuliah di Bandung karena ada yang menjagamu. Jadi papa setuju kalau Irgi melamarmu."