Season 1 – Chapter 1
Kyna menatap seorang pria di hadapannya dengan datar, sembari menikmati secangkir kopi pesanannya. "Aku ingin putus," ucap kyna ke Frans. Pria yang ia pacari selama setengah tahun belakangan ini.
Frans tampak tidak terima. Sebab hubungan mereka walau terbilang singkat, tapi sudah sampai tahap saling mengenal keluarga.
Pembicaraan mengenai pernikahan pun, bukan sekali dua kali mereka bahas. Ia tidak habis pikir apa yang menjadi alasan pacarnya, Kyna membahas masalah putus tanpa ada sebab yang jelas.
"Apa masalahmu? Kita baik-baik saja, kan?" tanya Frans, meminta penjelasan. Seingatnya, mereka bahkan tidak sedang bertengkar.
Kyna terdiam. Berpikir sejenak alasan apa yang harus ia berikan kepada Frans. Haruskah ia jujur mengatakan alasan sebenarnya? Tapi apa Frans tidak akan shock jika mengetahuinya?
Hal ini menjadi perang batin tersendiri bagi Kyna, sementara Frans tampak tidak sabaran. Sekali lagi pria ia kembali bertanya, "Apa ada pria lain?" Kyna langsung menggeleng dengan cepat.
Pria lain? Mustahil buat Kyna. Yang bahkan menghadapi seorang pria saja, sudah melelahkan. "Aku merasa tidak nyaman denganmu. Aku lelah berpura-pura mencintaimu, sementara sekalipun aku tidak pernah meletakkan kamu di dalam hatiku," ujar Kyna. Setengah jujur dan setengah lagi siapa yang tahu.
"Lalu apa yang kita jalani selama ini!? Aku bahkan berniat menikahimu!" bentak Frans frustrasi.
Pernyataan yang dilontarkan oleh Kyna, benar-benar menghantamnya. Memberi kejutan yang sama sekali tidak menyenangkan.
"Maaf," balas Kyna, sedikit lunak.
"Kita bisa mencoba, mungkin saja perasaan itu akan tumbuh," ujar Frans.
Sekali lagi ia mencoba membujuk. Rasanya sulit baginya, untuk melepaskan Kyna begitu saja. Apalagi hubungan mereka sudah bisa dikatakan sangat intim. Kyna bahkan telah memberikan kehormatannya kepada Frans. Saat pria itu meminta dengan alasan pembuktian cinta, tapi sekarang apa yang dia dengar? Kyna bahkan tidak pernah mencintainya.
"Maafkan aku, Frans. Aku tidak bisa. Aku tidak merasa bahagia saat bersama denganmu dan selama setengah tahun ini aku telah mencoba mencintaimu, tapi tetap gagal." Kyna menegaskan sekali lagi.
Jujur saja, kyna sedikit merasa bersalah pada Frans, tapi apa daya jika hatinya benar-benar lelah mencoba mencintai pria itu.
"Katakan alasannya, apa kamu mencintai pria lain?" tanya Frans sekali lagi dan sekali lagi pula, Kyna menggeleng.
"Tidak." Sebab memang tidak ada pria lain dalam hidup Kyna.
Akhirnya Frans menyerah. Ia merasa bahwa sia-sia saja, jika hanya dia yang menginginkan kelanjutan hubungan mereka. Sementara Kyna sangat ingin mengakhirinya.
"Baiklah. Aku mengerti, kita berakhir," final Frans, seraya pergi meninggalkan Kyna dengan hati yang kecewa.
Melihat punggung Frans yang menjauh, Kyna menghela napas lega. Akhirnya ... ia bisa bebas dari ikatan yang membuatnya sesak selama ini.
Kyna sebenarnya tidak pernah ingin mempermainkan Frans. Ia tahu mantan pacarnya adalah pria yang baik, walaupun tidak peka dan sedikit egois.
Kyna hanya berusaha mencoba untuk mencintai seorang pria, berusaha untuk menjadi normal. Namun semakin dijalani, semakin hatinya terasa sakit, kakinya selalu terasa menyeret sebuah beban yang berat saat ia melangkah.
"Apa sebaiknya aku come out saja ya," gumam Kyna.
Akan tetapi, keinginannya itu segera ia tepis jauh-jauh, masih terlalu cepat mengambil keputusan. Lagi pula sejak awal, keluarganya memang sudah tidak harmonis. Rasanya jika ia memberanikan diri untuk berterus terang mendadak seperti ini, Kyna yakin bahwa ia tidak akan siap menerima penolakan.
Kyna sebenarnya merupakan salah satu wanita pencinta sesama jenis. Ia telah menjalani hubungan dengan sesama wanita, jauh sebelum ia mengerti apa itu sebuah cinta, apa itu hal yang benar dan hal yang salah. Dan saat ia sudah cukup dewasa dan mengerti ... Kyna akhirnya paham bahwa ia tidak normal. Hidupnya menyimpang.
Awalnya ia mencoba untuk menjadi normal. Namun dari sepuluh kali ia mencoba, sepuluh kali itu pula, ia merasa hampa menjalani hubungan dengan seorang pria.
Kyna kemudian meninggalkan cafe tempat ia berbincang dengan Frans tadi. Kembali ke kantor untuk mengabsen masuk. Jam istirahatnya telah usai.
"Cie ... yang habis makan siang bareng pacar. Satu menit lagi telat tuh," goda Rosa, resepsionis tempat Kyna bekerja.
Kyna membalas godaan itu dengan senyuman simpul. "Apanya, kami ketemuan buat putus kok," ujar Kyna dengan nada bicara datar.
Rosa langsung merasa tidak enak. "Maaf, aku tidak bermaksud," sesal Rosa.
Lagi-lagi Kyna kembali tersenyum, tapi lebih lebar kali ini. "Tidak apa-apa kok, aku yang putusin. Sudah tidak ada rasa sayang." Ia mencoba menyampaikan bahwa dia baik-baik saja.
"Sudah ya, aku ke atas dulu," pamit Kyna cepat, sebelum Rosa mulai bertanya. Bukannya kenapa-kenapa, hanya saja Kyna tidak suka membahas betapa teganya dia ke Frans. Seolah-olah mengingatkan betapa egois sifatnya itu.
***
Di ruang kerjanya, Kyna dengan serius memeriksa ulang laporan yang akan ia kirim ke supplier. Ia tidak ingin ada kesalahan hitung atau input data. Bisa-bisa habislah dia dibentak-bentak oleh bosnya yang terkenal perfeksionis.
Setelah merasa yakin tidak ada yang salah, Kyna membuka email, menyisipkan file tersebut dengan wajah seriusnya. Namun, tiba-tiba saja ia dikejutkan oleh kehadiran Elysia Marjeta. Wanita itu entah sejak kapan telah bertumpang dagu di depan meja komputernya.
Wanita yang merupakan direktur muda sebuah perusahaan yang tengah bekerja sama dengan perusahaan tempat Kyna bekerja itu, tersenyum lembut. Menarik perhatian Kyna seketika.
"Serius sekali Kyna," sapa Elysia riang.
Seperti biasanya, wanita modis dengan warna kulit agak gelap dengan wajah biasa-biasa itu ... selalu bisa membuat jantung Kyna berisik bukan main.
Sebab, Kyna selalu terpesona oleh daya tarik Elysia. Kulit cokelat yang Kyna anggap eksotis. Serta pembawaan santai dan senyum lebar yang selalu Elysia tunjukkan, bagai sebuah kelebihan tersendiri di mata Kyna.
Siapa bilang kecantikan wanita dilihat dari wajahnya? Jika orang lain beranggapan demikian, maka Kyna tidak setuju. Sebab bagi Kyna, Elysia memiliki kecantikannya tersendiri.
"Bikin kaget saja deh, Ely! Kamu kok main ke sini mulu, kalau mau urus p********n itu di lantai empat bagian keuangan. Ini lantai tiga, Neng. Bagian penjualan," sahut Kyna, mencoba menyembunyikan rasa gugupnya.
Elysia tertawa. Dengan iseng ia mencolek pipi Kyna lembut. "Aku tahu kok, aku, kan kangen Kyna. Makanya sengaja mampir kemari setelah urusanku selesai."
Kyna merengut pura-pura. Dalam hati ia merasa senang, walau mungkin saja rasa kangen Elysia hanya sebatas rasa ke seorang teman. Namun, sedikit menikmati perhatian Elysia tidak apa-apa, kan?
"Huh! Nanti bos aku marahnya ke aku, main-main di jam kerja," kilah Kyna.
Tidak semuanya bohong juga, memang benar Kyna sering dimarahi bosnya akibat keseringan kerja dengan ceroboh. Belum lagi mengobrol dengan Elysia selama jam kerja. Padahal jelas-jelas divisinya sama sekali tidak ada urusan dengan Elysia.
"Iya deh aku mengalah, tapi sebagai gantinya kita jalan yuk hari minggu nanti! Ada cafe baru buka. Pancake dekorasinya imut-imut, bisa request lagi." Elysia cari kesempatan untuk mengajak.
Kyna langsung menjerit bahagia dalam hati, diajak kencan oleh Elysia. Walaupun dari luar wajahnya terlihat biasa-biasa saja.
Bukan salah Kyna kalau dia terbiasa memasang muka datar. Salahkan caranya dibesarkan. Yang mau tidak mau, membuat Kyna teramat sangat sulit menyampaikan isi hatinya, juga sulit menunjukkan ekspresi dari emosi yang dia rasakan.
"Boleh, tapi jemput ya," balas Kyna basa-basi.
"Setuju! Minta nomor HP kamu," tapi malah ditanggapi serius oleh Elysia.
Anggap saja sedang beruntung, pikir Kyna seraya tersenyum. Melihat senyum langka itu, Elysia dengan isengnya mencubit pipi Kyna. "Aku suka senyuman kamu, cantik." Sedikit memuji, sambil bertukar nomor HP dengan Kyna.
Kyna sendiri sudah deg-degan saja. Kalau saja mukanya tidak sedatar tripleks, pastinya muka putih s**u itu telah bersemu kemerahan. "Gombal ih!" balas Kyna ketus, menyembunyikan rasa malunya. Elysia tertawa lagi, lalu berpamitan pulang ke kantornya sendiri.
Begitu pintu ruang kerjanya tertutup. Kyna langsung menjerit senang. Mimpi apa dia semalam? Hingga bisa seberuntung ini, diajak jalan sama Elysia yang sudah lama dia kagumi.
Kyna benar-benar merasa bersyukur, telah mengakhiri ikatannya dengan Frans. Dengan begitu, ia sama sekali tidak akan merasa bersalah membuka hatinya buat Elysia. Itu pun jika Elysia memiliki perasaan yang sama, bukannya hanya sekadar keinginan untuk berteman karena merasa cocok.