10. Kembali Ke Kota dan Ruangan Rahasia

2243 Kata
Musim dingin telah usai, berganti musim semi yang begitu indah dan menyegarkan, saat itu juga waktunya di desa sudah selesai. Agras harus kembali ke gereja untuk menentukan hidupnya lagi. Ia meninggalkan Ayah, Ibu dan calon adiknya yang dikandung sang ibu. Ia berharap ketika kembali ada babak baru dalam hidupnya nanti. Dalam perjalanan kembali ke asrama gereja ia melewati lagi jalan yang sama saat ia pulang, ketika pulang ia tak begitu melihat sekeliling karena tertutup lebatnya badai salju, tapi kini ia melihat semua, pemandangan hutan yang lebat dengan pohon rindang, ladang kandung yang siap panen, bukit hijau hingga curamnya lereng gunung. Hal yang membuatnya menggidik adalah saat melewati lereng gunung terjadi, jalur satu-satunya yang bisa ia lewati menuju ke kota dari desanya, mungkin itu bisa menjadi alasan mengapa jarang ada penduduk luar desa yang datang ataupun penduduk desa yang pergi dari sana, semua karena jalan yang tak begitu bagus untuk dilewati. “Kau anak dari Luis, bukan?” tanya si kusir kereta pada Agras. Agras merespon ucapan itu dan mengalihkan pandangannya, berbicara selama dalam perjalanan mungkin tak akan membuatnya bosan, karena saat ini ia pergi seorang diri tanpa di temani Luis maupun Vina, Liam berniat mengantarkannya tapi Azus begitu manja tak ingin ditinggalkan dirumah seorang diri. “Iya, apa begitu ketaran aku anaknya,” kata Agras menjawab pertanyaan kusir kereta itu. “Tak perlu tertulis di dahimu jika kau anak dari Luis, karena wajah kalian serupa,” ucap kusir itu. “Aku berharap sikap buruk Luis tak juga mirip denganmu.” “Buruk? Sepertinya Paman begitu mengenalnya,” ujar Agras. Kemudian kusir kereta kuda itu bercerita bahwa dulu ketika ia masih muda dan Luis maish kecil, ia dan Liam adiknya begitu nakal serta sering sekali membuat masalah. Rein ibunya yang tak lain nenek Agras kini sudah tiada tak pernah mengurus mereka, ia gemar berhubungan dengan banyak lelaki hingga lahir Luis dan Liam yang entah ayahnya lelaki mana. Rein dulu hanya seorang perempuan yang suka berjudi dan mabuk, ia tak memiliki kebiasaan lain selain menikmati masa hidupnya, lalu ia mati dalam keadaan yang sebenarnya baik tapi tak ada yang tahu penyebabnya. Luis memiliki sifat penjudi seperti Rein, sedangkan bergonta-ganti pasang adalah sifa dari Liam. Keduanya hidup sebatangkara dan makan dari mana pun mereka bisa mendapatkannya, kadang tetangga yang memberi untuk mereka meskipun begitu mereka tetap saja nakal dan tak bisa diubah. “Aku meninggalkan desa saat mereka sudah beranjak remaja, tapi aku tetap bekerja sebagai kusir yang keluar masuk desa,” ujar kusir itu mengakhir ceritanya. “Aku juga dengar itu dari Ibu, tapi sekarang ayah sudah bekerja di gudang pandai besi tak berjudi lagi,” kata Agras membanggakan Luis dan mencoba membuang pikiran buruk orang-orang tentang Luis. “Iya, aku tahu itu. Coba kau ambil pedang di bawah bangkumu duduk.” Agras mengindahkan ucapan kusir itu dan memperhatikan bangku tempatnya duduk, ia melihat sebuah karung dan menariknya. Di dalam karung itu ada sebuah pedang yang masih lengkap dengan sarungnya, Agras membukanya dan memperhatikan pedang itu. Sangat indah, tajam dan begitu menakjubkan, gagangnya berwarna hitam gelap kontras dengan bilahnya yang putih. “Apa ini Ayah yang membuatnya?” tanya Agras. “Ayahmu yang membuatnya, bukan memberikannya untukku tapi aku membelinya saat di kota. Para penjual di kota mengenal dengan pasti ayahmu, kau sebut namanya di penjual pedang mereka pasti akan mengetahuinya,” ujar kusir kuda itu. Agras mengangguk paham. Luis begitu terkenal ternyata, masa lalu yang menciptakan kesan buruk padanya seolah tak menghalanginya untuk diakui banyak orang untuk menjadi seseorang yang baik. Jika mengingat kisah Luis ia juga mengingat apa yang terjadi pada Richard dulu, keduanya sama-sama tak mendapatkan kasih sayang seorang ayah, ibu mereka juga keras meskipun ibunya tak seperti ibu Luis yang membiarkan anaknya hidup begitu saja tanpa diurus lagi. Dalam perjalanan menuju kota Tron, kusir kuda itu terus saja banyak bercerita tentang apapun itu, baik Luis dan juga Liam Pamannya, ia ternyata juga mengenal dengan pasti siapa Azus, anak dari salah satu bangsawan kelas dua yang terpikat dengan omongan manis Liam. Pantas saja Azus begitu cantik dan terawat, pakaiannya juga sepertinya mahal tak seperti milik Vina yang biasa saja. Azus keluar dari kota Yogs dan memilih tinggal di desa tempat kelahiran Liam bukan karena paksaan siapapun termasuk Liam, tapi karena keinginnanya sendiri. Azus meninggalkan semua kemewahan yang dia punya sebagai putri dari seorang duke, salah satu bangsawan pemilik daerah di kota Yogs. Meskipun begitu Azus tetap saja manja karena itu sifatnya, untung saja Liam menerima itu, jika Liam tak bisa menerima sifat itu maka ia tak bersyukur mendapatkan perempuan yang begitu baik padanya. Perempuan yang mau meninggalkan segela kemewahan demi laki-laki yang tak jelas pekerjaanya dan hanya bisa membuat masalah. “Apa itu berarti keluarga Bibi Azus tak menyukai hubungan mereka?” tanya Agras memotong pembicaraan si kusir. “Tidak, hubungan Azus dengan keluarganya baik, bahkan Adik laki-lakinya dan kakak perempuannya beberapa kali mengunjunginya ke desa termasuk saat Liam dan Azus menikah,” jawab si kusir. Agras tak ingin siapa saja orang yang datang kepernikahan keduanya, yang pasti pernikahan itu tak begitu mewah bahkan terkesan sederhana, bukan pesta megah yang seharusnya dilakukan para putri penguasa daerah, seperti yang ia sering lihat di televisi yang begitu mewah hingga berhari-hari dan menjadi pesta rakyat. Setelah mendengarkan banyak cerita sejak kembali ke desa karena dua tahun di gereja, ia baru menyadari satu hal bahwa kehidupan orang cukup menyenangkan untuk diketahui. Dulu semasa sekolah ia tak pernah sepeduli itu dengan apa yang terjadi pada orang lain, meskipun ia memiliki banyak teman untuk mendengarkan semua itu. Dua tahun sejak menjadi Agras ia menyadari bahwa kehidupan barunya jauh berbeda dengan kehidupan lamanya, mungkin mulai saat ini ia harus lebih memikirkan hidupnya tanpa harus terus membayangkan semua yang terjadi padanya sebelum menjadi Agras, karena memikirkan dua hal dalam waktu bersamaan menguras pikirannya dan membuatnya tak fokus lagi, bisa-bisa ia steres dan menjadi gila. Terasa tak lucu jika ia berinkarnasi sebagai orang gila. Siang kemudian menjelang, sinar matahari begitu terik hingga menyengat ubun-ubunnya. Agras sempat tertidur dalam perjalanan tapi setelah tak ada lagi cerita dari kusir kereta, kini ia sudah terbangun dan melihat keluar dari celah kereta itu, ia sudah mulai memasuki kota Tron beberapa ratus meter lagi ia akan sampai di gereja. Dalam perjalanan panjang menuju Tron yang membuat pinggang-punggung hingga bokongnya panas dan pegal, Agras akhirnya sampai. Ia mengucapkn terima kasih pada kasir kereta kuda, setelah pergi Agras menuju asrama yang belum masuk pun sudah nampak bahwa ia akan kembali tidur berhimpitan dengan anak-anak yang lainnya. *** Lebih tiga bulan di desa ternyata menyisakan banyak sekali kenangan yang membuat Agras tak ingin kembali ke kota. Kehidupan gereja sebenarnya tak cocok untuknya tapi harus dipaksakan karena mau bagaimana pun ia memiliki kehidupan di sini, sebuah kehidupan bukan paksaan tapi keinginan dari Luis dan juga Vina, keinginan karena takut kehilangan yang aneh. Setelah siang dan sore berlalu, ibadah sudah usai, Agras pun berjalan dengan santainya menuju perpustakaan, sepertinya ia rindu masuk kedalam ruangan dengan tumpukan buku-buku yang ada di sana, meskipun di rumah ada juga beberapa buku yang pasti milik Vina, tak mungkin Luis memiliki buku bacaan seperti itu karena siapapun tahu bagaimana sifat Luis. Agras masuk kedalam perpustakaan, tapi cahaya di dalamnya sudah menyala teramat terang, ada orang lain di dalam sana selain dirinya. Ia berjalan perlahan hingga tak menimbulkan suara benturan sandalnya dengan lantai, tapi sepertinya itu tak berhasil. Ia mendengar suara gesekan lantai dengan kaki kursi yang berarti orang itu bergerak. “Aku mendengar suara kedatanganmu,” ujar sebuah suara yang saat Agras tahu ternyata itu milik uskup Olsho. “Uskup ternyata, aku kira pencuri,” kata Agras menghela napas lega. “Pencuri mana yang tertarik dengan buku, ilmu bukan dicuri tapi dicari. Lagi pula buku-buku tak laku untuk dijual,” ucap uskup Olsho, Agras mendekat. “Kau cepat kembali dari desa, apa yang kau bawa?” “Uskup meminta buah tangan?” tanya Agras. Uskup Olsho mengangguk. “Aku tak membawa apapun selain kenangan indah di sana.” Agras duduk di kursi tak jauh dari uskup Olsho duduk, ia mulai mengambil buku tapi meskipun begitu ia malah tertarik dengan buku yang tengah di baca uskup itu. “Uskup membaca apa? Sepertinya menyenangkan,” sambung Agras sambil bertanya. “Kitab Kisah dan Sejarah,” jawab Uskup Olsho, Agras langsung merubah air wajahnya, ia tak tertarik mendengar kata kitab. Membayangkannya saja bisa membuatnya pusing, dogma-dogma Tuhan yang seolah tak masuk akal dipikiran manusia sepertinya. “Tidak begitu menyenangkan ternyata, aku tak jadi tertarik membacanya,” kata Agras. “Kau akan tertarik suatu saat nanti,” ujar uskup Olsho. Agras tak menjawab, tapi hatinya berucap “itu tak akan terjadi selama aku masih menjadi Agras.” Keduanya kemudian masing-masing menikmati bacaan mereka, Agras sibuk dengan apa yang tertulis dibuku itu begitu juga dengan uskup Olsho yang terus membaca kitab itu sebagian pasti ada kidung karena beberapa kali ia menggerakkan bibir seolah sedang mengucapkan sesuatu. Agras malah fokus melihat hal itu bukan membaca bukunya, ia ingin tahu apa yang diucapkan uskup Olsho apa benar itu sebuah kitab atau buku mantra sihir, karena sepertinya mulutnya seperti merapalkan sesuatu dan membuatnya penasaran. “Mulutmu sejak tadi berkomat-kamit, kau membaca mantra atau kitab Tuhan?” tanya Agras karena begitu penasaran. “Aku sedang melantukan kidung, membaca dengan mulut dan menerima dengan hati adalah sebuah esensi dari sebuah kitab Tuhan, jangan bilang kau penasaran,” ujar uskup Olsho pada Agras yang penasaran. “Tidak-tidak, aku tak ingin melihatnya. Pembelajaran kitab saja aku sudah pusing,” kata Agras. Kemudian keduanya sibuk dengan pikiran dan bacaan mereka masing-masing tentang buku mereka. Mungkin satu jam kemudian uskup Olsho berlalu pergi dari perpustakaan mengatakan pada Agras untuk ia tidur lebih dulu, Agras tak merespon dengan kata hanya mengangguk saja. Lalu ia di sana seorang diri, tak masalah ia menyukainya, lagipula di dalam perpustakaan itu lampu lilin menyala terang tak ada kesan horor ataupun menakutkan, karena selama rapalan mantra itu masih berada di sana, menurut Razes angin badai pun tak akan sanggup memadamkannya. Sesuatu hal yang luar biasa. Suatu saat Agras berharap bisa belajar tentang mantra jika tidak bisa menggunakan sihir, rapalan juga tidak apa-apa, meskipun alasan yang pasti agar dirinya tak bosan tapi mungkin ia membutuhkan itu suatu saat nanti jika pun butuh. Setelah uskup Olsho pergi dan ia mulai jenuh dengan buku yang ia baca sedangkan dirinya belum bisa tidur, ia kemudian berjalan menuju rak lain untuk mencari buku yang mungkin akan lebih cocok untuknya. Agras berdiri dari duduknya, berkeliling mencari buku pada setiap rak yang ada di sana hingga ia sampai di rak paling pojok belakang, rak yang menepi tapi cukup banyak buku menghadap dinding. Ada lima sela rak di sana, Agras melihat dari sisi kanan atas lalu berjalan kekiri begitu seterusnya hingga nanti sampai sela rak terakhir. Pada sela pertama dan kedua ia tak menemukan buku yang cocok untuknya, ia turun kebawah pada sela ketiga dan ia melihat sebuah buku dengan sampul mencolok baginya. Agras berniat mengambil buku itu tapi sulit, ia menarik dengan kencang buku yang seperti dipaku mati itu tetap saja tak bisa, lalu karena telapak tangannya licin ia pun melepaskan buku itu dan terguling jatuh menyentuh dinding di belakang. Dinding belakang tiba-tiba terbuka tergeser kesamping, Agras jatuh kedalam sebuah ruangan dalam keadaan berbaring. Saat setengah tubuhnya di perpustaan dan setengah lainnya di ruangan itu lilin rapalan mantra menyala tapi rapalan mantra di perpustakaan mati seketika. Agras terkejut lalu bangkit, ia mengudarakan matanya kesekeliling melihat seisi ruangan itu. Ada dua lemari besar dengan buku-buku bersampul dari kulit hewan berwarna dominan merah dan hitam, gulingan perkamen juga banyak bahkan beberapa berhamburan begitu saja di lantai seolah lama tak ada yang menyentuhnya. Setengah tahun ia keluar masuk dari perpustakaan itu, sama sekali ia tak tahu jika ada ruangan lain di sana, baru di bangun setelah ia pergi kedesa? Tidak mungkin karena dari isi ruangannya saja berdebu dan kotor, mungkin memang ruangan lain. Agras tak perlu berkeliling karena ruangan itu kecil, ia mulai melihat-lihat buku yang ada, siapa tau begitu menarik untuknya dibawa kebali keasrama. Beberapa buku yang ia lihat kitab-kitab kuno, beberapa lainnya mungkin dongeng-dongeng dan Legenda, lalu Agras melihat sebuah buku yang menarik dengan sampul berwarna coklat terbuat dari kulit hewan sedikit kasar, jelas bukan kambing, sapi atau babi, bahkan seperti kulit unta, tapi unta tak memiliki kulit kasar. Agras mengambil buku itu, hanya satu saja. Ia membawa keluar dari ruangan, begitu keluar dari ruangan itu lampu di dalam mati, dinding kembali tertutup dan lampu perpustakaan menyala lagi, sepertinya dua ruangan itu tak harmonis. Agras keluar dari perpustakaan itu membawanya masuk kedalam kamar asramanya. Sesampainya di asrama ia berniat tidur, tapi penasaran dengan buku yang kini di samping tubuhnya, ia membuka buku tanpa judul sampul itu, melihat isinya. Tepat seperti dugaannya, isinya bertuliskan bahasa Lotren, tapi di dalamnya hanya berisi kumpulan kalimat seperti sajak atau pun puisi, bukan nyanyian kidung. Setelah membaca beberapa bait kalimat itu, tubuhnya tiba-tiba saja kaku dan bergetar hebat, sampai ia terguncang, tapi tak ada siapapun di dalam sana yang sadar. Agras menggerakkan tubuhnya, ia duduk di atas tempat tidur meletakkan buku itu di samping. Agras memandang telapak tangannya yang mulai berkeringat, ia menggenggamnya untuk mengurangi rasa gemetar tapi setelah membukanya sesuatu hal terjadi. Tangannya mengeluarkan air dan api secara bersamaan, Agras kaget dengan bukan main jantungnya berdegup kencang, mengusap kedua telapak tangannya dan menenangkan pikirannya kemudian tidur. Mungkin ia hanya kelelahan saja karena satu hari ia tak beristirahat sama sekali, sesampainya di kota dengan perjalanan beberapa jam, kemudian saat di asrama ia melakukan pekerjaan lainnya, beribadah sore hingga malam hari, lalu membaca buku di perpustakaan  hingga malam begitu larut.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN