05. Aksara dan Konsep Bahasa

2001 Kata
Setelah ibadah malam, mungkin jika jam adalah konsep waktu di dunia itu saat ini sekitar pukul sembilan bagian Eropa, belum begitu malam juga tak begitu sore. Agras menunggu di depan asrama miliknya, seharusnya ia tertidur semalam itu karena pengawas asrama sudah berkoar-koar tak membiarkan anak-anak bangun meskipun hanya bercanda sesaat. Namun, Agras tak mengindahkan hal itu, jika ia tidur maka ia tak akan pergi ke perpustakaan yang dimaksud Razes tadi, karena beberapa menit kemudian Razes pun datang masih menggunakan pagi ibadahnya tapi yang sempat ia lihat. “Aku membawa kunci perpustakaan,” ujar Razes sambil menunjukkan kunci itu pada Agras. “Dari mana kau mendapatkannya? Kau tak mengambilnya secara diam-diam, kan?” tanya Agras, ia tak ingin membuat masalah jika sampai Razes membuat sesuatu diluar keinginannya. “Apa aku belum bilang kalau aku ini anak mantan walikota Tron, jadi ada beberapa hal yang bisa aku dapatkan,” kata Razes. Entah itu sebuah kesombongan atau tidak, tapi yang pasti Agras tidak ingat sejak kapan Razes mengatakan hal itu dan setelah ia tahu bahwa Razes anak mantan walikota seolah ia berpikir bahwa dirinya masih bisa menarik perhatian orang lain, sebab dulu saat masih sekolah ia memiliki banyak teman termasuk anak pemilik yayasan dan ia pernah menjalin hubungan dengan anak kepala sekolah di sekolah menengah atasnya, sebelum menjalin hubungan dengan Emili pastinya. Kemudian mereka pun berjalan menuju perpustakaan yang Razes katakan, padahal lebih tepatnya ia hanya mengikutinya dari belakang karena ia tak tahu di mana letak perpustakaan itu. Agras mengikuti Razes berjalan masuk kedalam gereja, menyusuri lorong-lorong yang ada di sana dan kemudian Razes behenti di sebuah pintu yang tak begitu tinggi, jika di hitung mungkin hanya sekitar dua meter. “Kau pasti ini tempatnya?” tanya Agras yang sebenarnya hanya meyakinkan dirinya sendiri. “Aku tak perlu tanda di depan ruangan ini untuk tahu bahwa ini adalah perpustakaan,” kata Razes kemudian ia memasukkan anak kunci dan memutarnya, setelahnya ia mendorong daun pintu yang terbuka sedikit. Agras dan Razes masuk kedalam sana, ruangan yang awalnya gelap gulita mendadak langsung terang dengan lampu lilin temaran yang menerangi seluruh ruangan. Agras tercegat kagum dengan semua itu, seperti sulap saja. “Apa ini sihir?” tanya Agras sambil bergumam. Razes mendengarnya gumaman itu. “Ini hanya mantra kuno yang sudah terpasang hampir di seluruh gereja. Sama seperti lampu lilin di dalam altar doa, akan menyala jika ada orang di dalamnya.” “Aku tak pernah memperhatikannya,” kata Agras. “Tapi, ini hebat.” “Konsepnya mirip sihir, tapi ini hanya tempelan mantra, rapalannya tertulis dalam bahasa Lotren, perhatikan lilin di ujung itu,” ujar Razes, sembari meminta Agras memperhatikan lilin yang ada di ujung tepa di depannya ia mengambil lilin yang di dekatnya untuk penerangan. “Mataku masih sehat dan aku tak melihat apapun di sana, selain hanya ada lilin,” ucap Agras. Meskipun di dunia sebelumnya matanya minus 2,20 dengan silinder 1,50 yang membuatnya harus menggunakan kacamata, tapi di dunia ini mata anak kecilnya masih sehat dan ia tak bisa melihat apapun di lilin yang ditunjuk Razes. “Jika rapalan mantra sudah tertempel di suatu tempat maka ia akan menyatu dengan tempat itu dan aku hanya menebak saja, biasanya di taruh di tempat yang tepat,” ujar Razes sambil berjalan Agras mengikuti setiap langkah Razes itu yang seperti seorang pemandu, tapi ia memang pemandu. Di dalam ruang perpustakaan yang mirip rumah minimalis itu ada beberapa lemari yang cukup besar di dalamnya banyak sekali buku-buku dan gulungan kertas yang biasa disebut perkamen, bentuknya cukup unik dengan warna yang usang, ada yang mirip kertas n****+ juga kertas kwarto. Sampulnya tebal besar, jauh lebih tebal dari n****+ seri Harry Potter yang satu jilidnya bisa membuat ia pusing kepala. “Pegang ini dan sinari aku,” sambung Razes sambil memberikan lilin beserta wadahnya itu pada Agras. Agras menerimanya dan membantu Razes dengan memberikan sinar dari lilin itu. Razes memilah-milah buku, padahal siang tadi ia bermaksud mengajarinya mermbaca dan mengenal huruf tapi mengapa ia seolah sedang mencari manuskrip kuno yang isinya seperti tulisan Davinci dengan banyak sekali sketsa gambar. “Apa semua buku-buku ini terbuat dari kertas?” tanya Agras, sepertinya itu pertanyaan bodoh yang seharusnya tak ia tanyakan. “Tidak. Sebagian terbuat dari kulit hewan, kambing, kerbau ataupun babi, maka dari itu bentuknya tak beraturan, tapi itu catatan untuk buku yang usianya ratusan tahun, kertas di gunakan dalam beberapa waktu belakang setelah ayahku menjabat sebagai walikota, kurang lebih dua puluh tahun,” ujar Razes sembari mencari buku. “Nah ini aku dapat.” Razes mengeluarkan buku dari tumpukannya. Agras pikir buku yang ia maksud sebagai cara belajar abjad adalah buku yang bernuansa ceria dengan balutan sampul berwarna-warni dan indah, luarnya aksara gambar A, B, atau C dengan seruan tambahan bertulislkan “Mari Gemar Belajar Aksara/Alfabet”. Tapi ia tidak sedang di dunianya, sepertinya dunia yang ia tinggali kini tak mengenal konsep sampul ceria atau mungkin mereka belum menemukan pelukis kartun atau karikatur padahal gambar menggunakan sketsa buah-buahan pun sudah bagus seperti yang ia lakukan di kelas melukis dulu, meskipun gambarnya selalu tak sesuai seperti yang ia ingikan. Itu alasan ia tak lolos ujian beasiswa untuk masuk jurusan arsitek. Setelah mendapatkan buku yang ia cari Razes duduk begitu saja di lantai dan bersandar di bahu-bahu lemari, Agras ikut duduk dan meletakkan lilin itu tak jauh dari mereka berdua. Razes membuka setiap lembaran buku itu, Agras pikir ada kata pengantar, daftar isi dan lainnya ternyata tidak. Sesaat setela melihat isi dari tulisan itu Agras tiba-tiba saja menyungging senyum, entah kagum ataupun bingung harus melakukan apa, yang pasti ada sesuatu yang menariknya untuk menikmati buku itu tanpa harus tahu apa isi di dalam buku itu. “Cantik sekali tulisan itu,” ujar Agras mengangumi tulisan itu. “Ini disebut aksara volis, dalam satu buku ini di tulis dengan tinta asli yang berusia lebih dari seratus tahun dan tertulis dalam kulit hewan mayangka (harimau tanpa belang, mirip macan hitam),” ucap Razes. “Mayangka?” tanya Agras menggaris bawahi ucapan Razes. “Sejenis hewan harimau tanpa belang, dengan taring sepanjang 15 sentimeter jika mereka dewasa, mereka hidup di hutan kota Akran negeri Doglus,” papar Razes, entah mengapa Agras tiba-tiba ingat Smilodon atau bahasa mudahnya Harimau gigi pedang yang hidup pada jaman Pleistosen hingga setelah jaman es beberapa ribu tahun lalu sesaat sebelum dirinya sebagai Richard lahir. Ia sendiri penah melihat fosilnya saat pergi ke Los Angel kala itu ada studi tour kampus, entah apa gunanya anak jurusan teknik sipil mengunjungi musium purbakala, atau mungkin si dosen membawa mereka kesana saat itu untuk memperlihatkan kehidupan jaman purba dan membuat mahasiswa berkreasi membuat bangunan yang hebat. Tidak masuk akal bukan, malah ia berpikir mungkin dosennya sengaja mencari uang dari kegiatan itu. Razes pun mulai mengajari Agras dari mengenalkan aksara volis yang katanya tulisan resmi untuk bahasa Valgava, negeri yang saat ini mereka tinggali. Agras memperhatikan apa yang Razes katakan, ia juga melihat abjad yang ada di sana, ia pikir tulisan di sana mirip dalam aksara Yunani dengan dialeg bacaan Estonia yang panjang-pendeknya membuat tergantungnya arti kata. Sedangkan rentetan bilangannya sebagian mirip Hieroglif juga ada campuran Yunani kuno. Ada lebih dari 60 aksara yang di ajarkan Razes padanya. Tapi entah mengapa seolah ia pernah tahu dan bahkan ia bisa bisa membaca tulisan-tulisan itu atau kemungkinan Agras dulu belajar membaca. Agras pun mengatakan pada Razes bahwa ia tahu akrasa dan abjad yang ia ajarkan, ia bahkan bisa membaca tulisan yang ada di sana dengan sangat jelas. Mendengar hal itu Razes terlihat kaget, baru kali ini ia bertemu seorang anak kecil yang usianya sama dengannya dari kalangan rakyat biasa bisa membaca aksara secepat itu, bahkan yang membuat Razes kembali kaget Agras bisa mengenali bilangan-angka. “Kau pernah belajar sebelumnya? Apa Ayah dan Ibumu mengajarinya?” tanya Razes penasaran. “Entah, sejak tersambar petir aku tak banyak mengingat bahkan aku pernah belajar ataupun tidak aku tak tahu,” ujar Agras menjawab pertanyaan Razes. “Kalau begitu kita akan belajar bahasa Valgava dan Lotren nanti, sepertinya itu penting, entah mengapa rasanya aku perlu mempelajarimu itu,” kata Razes kemudian. Ia lalu menutup bukunya dan mengembalikannya ketempat semula. Setelah itu ia mengambil lilin dari lantai dan berjalan menuju keluar, diikut Agras mengekor di belakang. Mereka keluar dari ruangan perpustakaan itu setelah sebelumnya Razes menaruh lilin kembali ketempatnya. Mereka berpisah untuk kembali ke asrama masing-masing, tak jauh dari asramanya Agras menatap Razes yang masih terlihat, sepertinya Razes tak masuk asrama anak-anak ia malah masuk asrama para biarawan yang lebih besar. Agras tak ambil pusing dengan hal itu, mengetahui bahwa Razes anak mantan walikota, mendapatkan kunci perpustakaan dengan mudah hingga begitu pandai itu sudah menegaskan bahwa dirinya sepertinya memiliki sebuah hak istimewa yang memang biasanya di miliki anak tunggal dari keluarga terpandang meskipun sepertinya ia bukan dari anggota Duke (bangsawan yang memimpin suatu wilayah tertentu). Semenjak saat itu Agras selalu belajar dan membaca, Razes juga mengajarinya banyak hal dari bahasa Valgava, hingga bahasa Lotren atau bahasa resmi yang digunakan di seluruh benua Eldris, mungkin bisa di sebut sebagai bahasa internasional contoh Inggris aksen Amerika. Meskipun Agras lebih suka Inggris aksen British. Pengurus asrama maupun uskup membiarkan anak-anak untuk membaca di perpustakaan itu karena memang mereka ingin anak-anak belajar lebih giat meskipun sebelum sepuluh tahun mereka belum diajarkan sama sekali membaca, dan sejak mengetahui perpustakaan itu Agras tak melihat anak selain dirinya dan Razes yang hampir tiap hari kesana. Baik biarawan ataupun uskup juga tak ada. Sudah sekitar satu bulan Agras belajar membaca maupun mengenal aksara, kini dengan bantuan Razes ia bisa mengerti banyak bahasa termasuk Lotren, Razes selalu mengatakan bahwa nanti bahasa itu akan berguna untuknya, meskipun belajar bahasa itu tak semudah belajar bahasa inggris. Lalu satu bulan kemudian sesaat setelah Razes mengajarkan banyak hal pada Agras, Razes pun kembali kerumah orangtuanya, Agras pikir itu hanya liburan tapi ternyata Razes tak lagi tinggal di gereja, hal itu yang membuat Agras sedih karena tak ada lagi teman bersama dengannya. Bukan hanya sebagai teman Razes juga yang telah menganggap Agras sebagai saudaranya. “Aku dan orangtua tinggal di kota Kataran negeri Tablos, nanti jika kau sudah dewasa temui aku di sana.” Begitu ujar Razes sebelum ia masuk kedalam kereta kuda yang membawa ia, ayah serta ibunya pergi dari gereja. Ia tak yakin dengan apa yang dikatakan Razes karena negeri Tablos sendiri ia tak tahu. Hari-hari setelah kepergian Razes, Agras masih sering berada di perpustakaan baik untuk membaca maupun belajar hal yang lainnya, bahkan ia juga membaca beberapa kitab agama yang di anut gereja tempatnya tinggal saat ini. Ia melakukan semua itu bukan karena suka tapi karena ia jenuh tak tahu harus melakukan apa, jadi tak ada salahnya untuk melakukan yang lebih bermanfaat. Para biarawan yang melihat Agras yang begitu mengurung diri di perpustakaan malah lebih senang karena dengan hal itu Agras tak perlu keluar atau melakukan hal lainnya. Vina dan Luis pun tahu apa yang dilakukan Agras, dengan begitu mereka tak perlu lagi khawatir bahwa Agras akan terus bersikap aneh. Kedua orangtua Agras mengetahui hal itu karena para biarawan yang mengatakan dan menceritakan semua yang terjadi. Menurut  para biarawan , Agras memiliki pengetahuan dan kepintaran jauh di atas anak-anak seusianya, bahkan sepertinya sikap aneh Agras itu terjadi karena ia tak bisa memiliki pemikiran yang sama dengan anak-anak itu. Bukan ia tak bisa berkmpul tapi memang berbeda. Beberapa anak-anak juga ikut tertarik belajar membaca dengan Agras, Agras tak segan membantu mereka membaca karena ia suka melakukan hal itu, ia tak keberatan jika mereka terus banyak bertanya tentang apapun itu. Pada suatu waktu seorang uskup muka yang ia baru ternyata belum lama naik pangkat datang keperpustakaan dan melihat Agras yang berada di sana, duduk sambil membaca buku. "Kau mungkin belum pernah membaca buku ini," ujar uskup itu pada Agras sambil memberikan sebuah buku bersampul merah bertuliskan dengan bahasa Lotren. "Legenda dari Akhirat." Agras membaca judul buku itu. "Ternyata benar kau bisa berbahasa Lotren, pantas saja beberapa uskup dan biarawan membicarakan tentangmu, meskipun usiamu masih sepuluh tahun kau cukup hebat," kata uskup itu lagi. Agras senang dengan pujian itu meskipun ia sebenarnya bosan di puji, karena sudah terlalu sering apalagi sejak menjadi Richard.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN