Hari mulai beranjak sore saat kulihat perempuan berusia 40 tahunan itu berjalan dengan membawa banyak belanjaan. Terlihat kerepotan saat satu plastik berisi jeruk dalam genggamannya jatuh berceceran. Aku mencoba menghampiri dan membantunya memunguti jeruk yang sudah terjatuh.
"Terima kasih kau telah membantuku," ucapnya saat aku memasukkan beberapa jeruk ke dalam plastik.
"Aku bisa membawakan barang belanjaan Ibu sampai ke tempat tujuan."
"Apa kau tidak keberatan?"
"Tidak sama sekali, mari biarkan aku yang membawanya."
Perempuan itu tersenyum menatapku, ia menyerahkan sebagian cangkingan barang yang dibawanya. Aku mengekori langkahnya dari belakang, setelah berjalan 100 meter akhirnya perempuan itu berhenti tepat di sebuah rumah besar.
"Ini untukmu, karena sudah mau membantuku." Dikeluarkannya lembaran uang lalu disodorkan ke hadapanku.
"Tidak usah, Bu." Aku menolaknya dengan halus.
"Kenapa? Ayolah terima. Kau berhak untuk ini, Nak."
"Tidak, Bu. Terima kasih. Ini barang-barangnya."
Perempuan berwajah oval itu meraih kantung belanjanya dari tanganku.
"Siapa namamu?"
"Lara."
"Kalau kau tidak mau menerima uang, maka jangan menolak untuk minum dan mencicipi hidangan di rumahku. Bagaimana?" Perempuan berwajah oval itu memberi penawaran.
"Tas-ku tertinggal di dekat jembatan. Aku harus segera mengambilnya."
"Itu berarti kau menolak juga."
Aku menggeleng dan merasa tidak enak. Sungguh perutku lapar bagaimana mungkin aku menolak hidangan, hanya saja tas berisi baju-baju itu tergeletak di kolong jembatan. Kalau aku tidak mengambilnya maka dengan baju siapa aku berganti pakaian?
"Bukan begitu, Bu. Di dalam tas itu ada baju-baju milikku. Aku hanya punya itu untuk berganti pakaian."
"Ya, aku mengerti. Kalau begitu, sebutkan apa yang kamu butuhkan saat ini?"
"Aku sangat butuh pekerjaan," jawabku cepat penuh harap.
Perempuan itu menatapku lama, agak sedikit risih dan tak enak saat ia memperhatikan penampilanku dari atas hingga ke bawah. Beruntung aku menggunakan masker, luka lebam di sekitar bibir dan pipiku tidak terlihat.
"Besok pagi-pagi, datanglah ke Toko Salimar yang tidak jauh dari dermaga. Kau bisa mulai bekerja di sana."
"Sungguh!" Aku terpekik girang.
Perempuan itu mengangguk dengan senyum yang hangat.
****
Tidak masalah jika semalam aku harus tidur kedinginan di kolong jembatan, semua terbayar saat pagi ini bersiap untuk kerja. Aku butuh uang untuk menyambung hidup, butuh rasa tentram juga butuh kesibukan untuk bisa melupakan penderitaan hidup. Aku bersyukur dipertemukan dengan orang-orang baik di sini.
TOKO SALIMAR. Aku berdiri di depan bangunan yang pintu rolling doornya masih tertutup. Ini masih sangat pagi, hanya ada beberapa pedagang yang menjual bubur dan gorengan yang telah mangkal. Dan … aku tak menyangka jika Toko ini berhadapan dengan resto milik Wilan. Hanya terhalang jalan raya.
Bergegas aku mendekat ke arah penjual bubur untuk sarapan.
Usai mengisi perut, toko SALIMAR terlihat sudah buka. Cepat-cepat aku bergegas.
Perempuan kemarin yang sudah memberiku pekerjaan itu tersenyum ramah saat aku datang.
"Selamat bekerja, Lara. Kau datang di saat yang tepat. Kemaren pekerja saya mengundurkan diri karena hendak menikah dan orangnya sudah pulang kampung. Jadi kau bisa menggantikan tugasnya di sini."
"Saya sangat berterima kasih pada Ibu karena sudah memberiku kesempatan untuk bekerja di sini."
"Panggil aku Bu Salma. Toko ini diambil dari gabungan namaku dan suamiku--Umar. Jadi SALIMAR."
"Luar biasa, semoga Bu Salma dan suami selalu bahagia," ucapku menimpali.
"Permisi, Bu Salma aku butuh satu dus air mineral sekarang," suara itu menghentikan percakapanku.
"Wilan," gumamku pelan saat pandangan mata kami bertemu.
"Hai … ternyata kau di sini?" sapanya seraya menghampiri.
"Kalian sudah saling kenal?" tanya Bu Salma mengernyitkan dahi. Matanya menatap ke arahku dan Wilan secara bergantian.
"Ya, dia temanku. Temanku yang cengeng dan menyebalkan."
Aku tak menyangka Wilan mengatakan hal konyol seperti itu. Lagian sejak kapan dia menganggapku teman? Bertemu saja baru kemarin. Tapi tidak mengapa, toh candaannya sukses membuatku tertawa bersamaan dengan Bu Salma.
"Biar aku yang membawakan air mineralnya."
"Tidak perlu, Ra. Satu dus itu berat biarkan saja Wilan yang mengambilnya sendiri. Toh dia sudah biasa." Bu Salma melarang.
"Ya tentu saja aku akan mengambilnya sendiri." Wilan melangkah ke arah tumpukan dus-dus besar.
***
Toko tutup tepat jam 17.00. Di persimpangan jalan aku berpisah dengan Bu Salma. Sore ini aku berencana jalan-jalan untuk mencari kontrakan murah. Tidak mungkin selamanya aku tidur di kolong dermaga. Selain dingin aku takut ada bahaya lain mengancam keselamatanku.
"Apakah tas itu milikmu?" tanya seorang perempuan yang berdiri tepat di kolong dermaga.
"Ya, aku akan mengambilnya sekarang."
"Kau tidur di sini semalam?" Kembali perempuan itu melayangkan pertanyaan.
"Aku terpaksa karena belum menemukan kontrakan."
"Kalau kau mau, aku bisa menunjukkan rumah sewa yang bisa kau tinggali." Dia tersenyum sehingga lesung di kedua pipinya terlihat manis.
"Sungguh!" Aku sangat berharap.
Lagi-lagi aku merasa tangan-tangan Tuhan begitu baik merengkuhku lewat orang-orang seperti Wilan, Bu Salma dan juga perempuan ini.
"Aku Kania. Ikutlah denganku, akan kutunjukkan secepatnya."
"Aku Lara. Senang bertemu denganmu Kania." Kami berjabat tangan.
Dengan hati berbunga aku mensejajarkan langkah perempuan berlesung pipi itu.
Sepanjang jalan dia mengajakku berbicara, meski tak saling mengenal sebelumnya tetapi Kania terasa sudah seperti sahabat dekat. Aku perkirakan usianya tak jauh berbeda denganku, mungkin lebih dewasa dia sedikit.
Tidak terasa langkahku dan Kania kini memasuki arah hutan kecil. Tiba-tiba ada sedikit keraguan menyelinap di hati.
"Kau yakin ada rumah sewa di tempat seperti ini? Ini hutan Kania," gumamku.
"Ini bukan hutan, lebih tepatnya taman yang sudah tidak terurus. Kau jangan takut, di sini aman dari orang-orang jahat. Sebentar lagi kita akan sampai."
Benar saja, kini aku berdiri di sebuah bangunan rumah panggung yang terbuat dari kayu. Tidak ada lagi bangunan rumah panggung yang lain, hanya ini satu-satunya. Di sekelilingnya terdapat pohon-pohon besar. Letaknya sedikit terpencil tapi tak mengapa yang penting bisa untuk berteduh dan tidur dengan lelap.
"Tunggu di sini, aku akan meminta izin pada yang punya rumah dulu." Kania berlalu pergi tapi tak lama kemudian dia kembali dengan wajah berseri.
"Ini kuncinya, masuklah." Kania menyodorkan kunci besi tua.
"Terima kasih, Kania. Tapi sebentar, rumahmu di mana?"
"Kau lihat persimpangan jalan itu?" Kania menunjuk jalan yang berjarak sekitar dua belas langkah dari tempatku berdiri.
"Ya." Aku mengangguk.
"Belok sedikit ke arah kanan, di situlah rumahku. Kau jangan takut, kita berdekatan. Kalau ada apa-apa yang menyakitimu, teriak saja. Aku pasti mendengarnya," tuturnya ramah.
"Baiklah, kalo begitu aku masuk dulu. Sekali lagi terima kasih."
Kania mengangguk dan melambaikan tangan sebelum pergi. Senja sudah di batas saga, sebentar lagi hari akan gelap. Berkat kebaikan Kania, aku bersyukur bisa menikmati rumah sewa ini. Memulai hidup baru dengan orang-orang yang baru.