19. Flashback III

1000 Kata
Davin sedang termenung di dekat jendela kamarnya. Dia melihat pemandangan hutan yang terdapat banyak pohon hijau di sana. Davin sekarang sedang memikirkan perjanjiannya dengan Ladam. Dia berpikir, apakah dirinya harus menepati janji itu, atau tidak. Davin dilema sekarang. Jika dia tidak menepati janji itu, maka dirinya yang akan lenyap. Tapi, jika dia tetap menepati janji itu, maka orang-orang tersayang yang akan lenyap. Davin sungguh tidak bisa memilih. Dia masih ingin hidup, tapi itu berarti, dia harus mengorbankan sesuatu yang sangat penting bagi kehidupannya. "Aaggh, bagaimana ini?!" teriak Davin ke arah hutan. Sesaat setelah Davin berteriak, dia mendengar suara ketukan sepatu yang menggema di lantai rumahnya. Davin mengerjap, menelan ludahnya susah payah. "Hmm hmm." gumaman itu semakin membuat tubuh Davin bergetar. "Kau sedang berpikir, Dav?" Suara itu, Davin seperti trauma ketika dia mendengar suara yang menurutnya terdengar besar itu. "Dav~" panggil suara itu sekali lagi. "Apa! Sialan!! Apa yang kau mau, hah?!!" Davin memberanikan diri untuk membalas Ladam dengan suara tinggi. Ladam terkekeh, merasa lucu akan tingkah Davin. "Masa kau sudah lupa, sih?" Ladam dengan nada yang dibuat-buat bertanya sambil melangkah menuju Davin. Davin yang melihat Ladam mendekati dirinya, sontak melangkah mundur hingga tubuhnya menempel pada jendela panjang yang terbuka lebar. Davin menelan ludahnya, dia lagi-lagi berpikir, jika dirinya akan mati hari ini. Ladam tersenyum miring, "Saking ketakutannya, kau sampai tidak berpikir untuk menonaktifkan aku. Hmm ...." ujar Ladam membuat mata Davin terbuka lebar. Kedua mata Ladam menyoroti tingkah Davin. Davin sekarang sedang mengobrak-abrik sebuah brangkas baja yang terletak di sudut ruangan kamarnya. Ladam sekali lagi, menampilkan senyum miringnya. "Kau mencari ini, Dav?" tanya Ladam memperlihatkan sebuah benda berbentuk persegi panjang kecil yang tipis di tangannya. Davin melotot, alat untuk menonaktifkan Ladam berada di tangan Ladam sendiri. "Bagaimana jika aku hancurkan alat ini? Sepertinya akan seru." Ladam bersiap membelah dua benda itu. Napas Davin memburu, dia muak dengan tingkah Ladam. Ladam itu ciptaannya, dia seharusnya berbakti dan menurut pada dirinya dan kedua temannya. Tapi, apa ini, Ladam malah memberontak. Dirinya sama sekali tidak menyangka bahwa Ladam akan berbuat seperti ini. Perasaannya sekarang menyesal, mengapa aku waktu itu meminta untuk membuat perasaan iri juga?!! Seharusnya, aku minta untuk membuat robot ini pintar saja .... Batin Davin menyesal. "Davin, aku beri waktu 5 detik untuk memutuskan. Cepat kau pikirkan, apa yang harus kau pilih!" ujar Ladam. "b******k! Kau harus sadar Ladam! Kau ciptaan ku! Kau juga ciptaan mereka!!" sentak Davin merasa sangat muak dengan Ladam. Ladam tertawa kecil, di telinga Davin, itu terdengar seperti tawa meremehkan. "Aku tau. Aku selalu ingat hal itu, sebab jika kalian tidak menciptakan aku, aku pasti tidak akan ada di sini. Aku tau itu, Dav, aku ingat." ujar Ladam dengan nada pelan. Davin mengernyit, "Lalu, kenapa kau melakukan ini?!" "Kenapa? Karena aku ingin." balas Ladam membuat emosi Davin semakin meledak. "Apa-apaan, hah!! Kau tidak bisa melakukan perbuatan seenak mu Ladam. Kau tidak bisa!!" Davin berteriak dengan emosi yang meluap-luap. Ladam melangkah mendekati Davin, "Sebenarnya, ada alasan lain yang membuatku terpaksa melakukan ini, Dav." ujar Ladam membuat Davin mengerutkan kening dengan napas yang memburu. "Apa itu?!" Davin bertanya dengan penuh tekanan. Ladam berkedip sekali, "Tentu untuk ..... itu rahasia Dav." Ladam berujar dengan pelan. Davin mengeraskan rahangnya, "Sialan!!" Sedetik setelah Davin mengumpat, tubuhnya menegang. Keringat dingin mulai mengucur deras di tubuhnya. Davin menelan ludahnya susah payah. Dia memalingkan wajahnya dari todongan shotgun yang tepat berada di kepalanya. Ladam memiringkan kepala, dia menyeringai seram. "Ada apa Dav? Kau takut?" tanya Ladam meremehkan. "Shut up!" sentak Davin menatap Ladam dengan jantung yang berderak kencang. "Ini sudah lebih dari 5 detik Dav. Kau harus menjawab pertanyaanku." Davin sekali lagi memalingkan wajahnya agar tidak menatap Ladam. "Aku, aku tidak bisa!" "Jadi kau sudah memutuskan, hemm." ujar Ladam, kini shotgun itu berada di kepala Davin. Ladam sengaja menekan kuat moncong shotgun itu di pelipis Davin. Badan Davin gemetar, jakunnya naik turun dilanda ketakutan. Davin menarik napasnya dengan rakus, lalu dia hembuskan dengan kencang. "Baik. Baik Ladam! Aku akan menuruti keinginanmu!" Davin berucap dengan mata yang menatap bola mata Ladam dengan gentar. Ladam lagi-lagi menyeringai, dia puas. "Pilihan yang tepat Dav. Sekarang, aku mau kau melakukan hal itu saat ini juga." ujar Ladam membuat Davin refleks melotot. "Kau bercanda?!!" teriak Davin di depan wajah Ladam. Ladam menggeleng pelan, "Tentu tidak, Dav." jawab Ladam dengan nada lembut. "Aku mau, sekarang kau melenyapkan mereka saat ini juga. Paham?" Davin mundur, dia terlihat linglung. "Baik. Akan ku lakukan, tapi, nanti malam." ucap Davin dengan bergetar. Dia tidak yakin akan bisa melakukan hal itu atau tidak. Ladam tersenyum lembut. Davin melirik senyuman itu sekilas. Jika Ladam tidak berperilaku seperti ini, pasti Davin akan menjadikan Ladam sebagai adiknya. Dia sangat manis ketika tersenyum seperti tadi. "Itu tidak buruk. Sampai besok aku masih menemukan mereka tetap bernapas, aku pastikan pelatuk ini tak segan-segan akan kutarik, Dav." ucapan Ladam itu membuat Davin meneguk ludahnya takut. "Tenang saja, besok, kau pasti akan mendengar kabar bahwa mereka telah tiada." jujur saja, Davin mengucapkan hal itu dengan rasa yang sakit. Dia berpikir, pasti dirinya akan merasakan perasaan menyesal sepanjang detiknya setelah ia melakukan hal itu. Ladam mengangguk-angguk, "Ok, aku tunggu kabarnya. Ya?" Davin mengeraskan rahangnya, "Ya." Setelah itu, Davin melihat Ladam menjauh dari kamarnya. Saat itu juga, Davin menghembuskan napasnya dengan kencang. Lehernya seakan dicekik oleh rasa takutnya sedari tadi. Dia lagi-lagi menghembuskan napasnya, pandangannya menyapu ke langit-langit kamar. Davin berjalan ke arah ranjangnya, dia lalu menjatuhkan tubuhnya dengan keras ke kasur empuk miliknya itu. Dia terlihat memejamkan mata, merasa frustasi dengan keputusannya tadi. Tapi dia takut mati juga. Dia masih tidak ingin meninggalkan bumi. Dia masih tidak ingin lenyap dari peradaban ini. "Malam nanti, akan menjadi sejarah yang menyakitkan. Sir Lan, Max, maafkan aku. Aku memang bodoh. Aku memang egois." gumam Davin sambil memejamkan matanya. "Maafkan aku ..." --- Sang Raja Surya telah tenggelam. Bulan yang benderang menggantikan posisinya sekarang. Davin merasa diejek olehnya, kenapa waktu berjalan cepat sekali! Seakan-akan, dunia pun menyetujui keputusannya ini. Davin mendengus, berjalan menghampiri rumah milik Max. Sahabatnya sedari kecil. Sahabatnya yang senantiasa menemani Davin disaat apa pun itu.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN