BAB 3: Kamu, Bodoh

1610 Kata
Dalam langkah yang begitu tenang Vincent mendekat, dengan terang-terangan pria itu melihat penampilan Everly yang kini sudah memakai jubah. “Boleh berkenalan? Aku suka pertunjukanmu.” Everly terdiam, memang pria di hadapannya berbicara sopan, namun tatapan matanya yang terang-terangan jelas mengandung arti lain yang tidak baik. Vincent bukanlah satu-satunya pria yang bisa menatap dirinya dengan lapar seakan seorang penari seperti Everly layak untuk di tatap m***m. “Matamu mengatakan kau tidak hanya ingin tahu namaku,” jawab Everly datar. Bahu Vincent menegang, pria itu cukup terkejut dengan jawaban Everly yang bisa menebak isi kepalanya. Memang benar, Vincent tidak mungkin menemuinya jika Everly hanya sekadar pandai menari saja. “Itu benar,” aku Vincent. “Lima puluh dollar, aku akan memberitahu namaku,” tawar Everly dengan berani. Sontak Vincent tertawa mendengar betapa blak-blakannya gadis di hadapannya meminta uang. Mengejutkan, ini untuk pertama kalinya dalam hidup Vincent jika dia harus membayar hanya untuk bisa tahu nama seseorang yang ingin dia ketahui. Betapa mata duitannya gadis asing yang berdiri di hadapan Vincent. Vincent mengedikan bahunya tidak peduli, dengan mudahnya pria itu menarik keluar dompetnya memberikan selembar uang kepada Everly. Everly menerima uang itu tanpa keraguan dan menyimpannya di balik jubah. Gerak-gerik gadis itu tidak lepas dari perhatian Vincent yang merasa seperti seekor singa yang tengah ditekan oleh seekor kelinci. Tidak berapa lama tangan mungil itu terulur mengajak bersalaman. “Namaku Astra.” Vincent tersenyum puas menerima uluran tangan Everly. “Vincent Benjamin,” Everly menarik napasnya dalam-dalam, merasakan genggaman Vincent yang kuat sampai membuat beberapa buku-buku jarinya sakit. Tanpa membuang waktu Everly segera menarik tangannya dari genggaman Vincent. “Aku harus mengganti kostumuku, terima kasih,” Everly mengakhiri percakapan singkatnya dengan sedikit membungkukan tubuhnya untuk memberi hormat. “Aku bisa menunggumu di depan kan, setelah kau mengganti kostummu?” tanya Vincent. Langkah yang akan diambil Everly terhenti, gadis itu kembali membalikan badan dan menatap Vincent yang berdiri dalam keangkuhan. Untuk apa dia menunggu, bukankah urusan mereka sudah selesai? Batin Everly bertanya-tanya. “Untuk apa?” tanya Everly waspada. “Aku hanya ingin berbicara denganmu.” “Aku tidak menerima percakapan khusus dengan siapapun orang yang sudah menonton pertunjukanku,” tolak Everly dengan penjelasan yang cukup jelas. Alis Vincent mengerut samar tampak tidak suka mendengarkan penolakan Everly yang terkesan angkuh. “Aku akan membayar waktu yang kau habiskan denganku, berapa permenitnya?” tanya Vincent membujuk. Suara decihan terdengar dari mulut Everly, betapa sombongnya pria yang berdiri di hadapannya sekarang. “Kau berani membayarku berapa?” tanya Everly menguji. Kesombongan orang jenis Vincent harus dibalas dengan kesombongan juga, jika Everly patuh begitu saja, Vincent akan menginjaknya seperti kotoran. Vincent menyeringai geli mendengar jawaban blak-blakan Everly, tanpa keraguan pria itu mengeluarkan mengeluarkan beberapa lembar uang dari dompetnya. Pergerakan tangan Vincent terhenti tiba-tiba, pria itu mengangkat wajahnya dan melihat Everly lagi. “Aku bisa membayarmu lebih banyak, cukup dengan kau membuka topeng dan seluruh kostummu,” pinta Vincent blak-blakan dan lebih berani. Pupil mata Everly melebar, gadis itu terbelalak kaget mendengarkan pertanyaan tidak sopan Vincent. “Apa maksudmu?” “Kau tidak mengerti apa maksudku? Aku tertarik dengan wajah dan tubuhmu, aku penasaran jika kau bertelanjang, jika kau bisa melakukan apa yang aku minta, aku bisa memberikanmu uang lebih banyak,” jawab Vincent frontal. Bibir Everly menganga seakan tidak percaya dengan keberanian Vincent yang semakin berani berbicara semaunya. Bibir mungil Everly mengatup rapat, gadis itu mendekat dalam satu langkah dan mendongkakan kepalanya. Dibawah cahaya ruangan, Vincent dapat melihat lebih jelas wajah Everly dibalik topengnya yang berwarna putih, kontras dengan bola matanya berwarna biru dan bibir mungilnya yang terpoles lipstick merah menyala. Dalam beberapa detik Vincent sempat tidak berkedip dan tubuhnya menegang, namun semuanya berakhir dengan kacau ketika Everly menjawab perkataannya tepat di depan mata. “Daripada membayarku dengan mahal, sebaiknya pergilah ke dokter dan periksa keadaan otakmu apakah normal atau sudah gila,” jawab Everly menepuk-nepuk bahu Vincent dengan kuat. Everly berbalik dan dengan cepat dia pergi masuk ke dalam ruangan ganti meninggalkan Vincent yang masih mematung kaget mendengarkan penghinaan Everly yang tidak terduga. Vincent menatap pintu ruang ganti yang kini tertutup rapat, ketika dia mencoba masuk, Everly menguncinya dan tidak membiarkan siapapun bisa masuk. *** Pesta masih berlangsung ketika Vincent kembali ke ruangan pestanya, pria itu pergi kembali ke lantai atas menemui Kenan yang kini tengah berbicara dengan Mante dan beberapa teman lainnya. Kepulan asap rokok terlihat di udara, aroma alcohol tercium semakin kuat di sekitar penjuru ruangan. “Kau dari mana saja?” Tanya Mante memperhatikan kedatangan Vincent yang ikut duduk bergabung dengan mereka. “Aku ada urusan sebentar,” jawab Vincent ragu, dia malu bercerita jika dia sudah ditolak oleh seseorang yang sudah berhasil menarik perhatiannya. “Dia baru menemui penari udara yang barusan tampil, bukankah begitu?” sahut Helian. Vincent membuang mukanya seketika, baru saja dia akan membuat kebohongan, dengan kurang ajarnya Helian membongkar kebohongan kecilnya begitu saja. “Dia memang cukup terkenal di sini karena menarik, orang-orang cenderung tertarik dengan sesuatu yang misterius, sesuatu yang misterius akan membangun rasa penasaran akan membuat mereka gelisah jika belum kunjung mendapatkan jawabannya,” ucap Kenan sebelum menghisap rokoknya. Mante tertawa pelan mendengarkan asumsi Kenan yang masa dengan apa yang di pikirkannya. “Lalu, bagaimana hasilnya?” tanya Mante. Vincent mengedikan bahunya tidak peduli, terdengar hembusan napas kasar yang keluar dari mulutnya begitu teringat apa yang telah terjadi. Tidak ada gunanya lagi berbohong, lagipua ini hanya masalah sepele. Vincent sendiri tidak berniat untuk mengajak Everly bicara lagi. “Tidak begitu berjalan dengan baik, aku hanya mengetahui namanya setelah membayar lima puluh dollar,” cerita Vincent apa adanya namun berhasil membuat semua orang yang mendengar langsung menatapnya dengan penasaran. Kenan menegakan tubuhnya dan menatap serius Vincent. “Siapa namanya?” “Astra,” jawab Vincent. Keterdiaman semua orang yang semula menatapnya penasaran tiba-tiba berakhir dengan tawa terpecah. Vincent mengerutkan keningnya terlihat bingung tidak mengerti apa yang sebenarnya ditertawakan semua orang. “Kupikir kau cukup hebat, ternyata pecundang,” ejek Helian dengan senyuman mirisnya. “Apa kau benar-benar Vincent Benjamin yang aku kenal? Kau benar-benar bodoh, semua orang sudah tahu nama panggungnya Astra, dan kau membayarnya untuk mengetahui apa yang sudah diketahui banyak orang?” ejek Kenan dengan sisa tawanya. Vincent terbelalak kaget, wajah tampannya terlihat pias dan malu karena ditertawakan. Sudah cukup dia dihina oleh Everly, dan dengan mudahnya dia juga tertipu seperti manusia polos tidak tahu apa-apa. Vincent membuang napasnya dengan berat, merasakan harga dirinya benar-benar berhasil terinjak. Vincent tersenyum dengan gigi saling menekan dan tangan terkepal kuat, dia pasti akan membalas ini semua suatu saat nanti, lihat saja! *** Pagi telah datang, langit terlihat sedikit mendung tidak secerah hari kemarin, Everly menggayuh sepedanya dengan cepat di jalanan, gadis itu menghabiskan banyak waktu untuk bisa sampai ke sebuah rumah besar yang berada di pinggiran kota. Everly meninggalkan sepedanya di depan rumah dan segera berlari masuk ke dalam kamar untuk mandi untuk bersiap-siap pergi ke kampus. Satu jam menghabiskan waktu, kini Everly berdiri di depan cermin memperhatikan penampilannya sendiri yang selalu tertutup dan makeup tipis nyaris seperti tidak mengenakan apapun di wajahnya. Everly mengenakan dress putih dengan lengan panjang dan rok dibawah lutut, dress itu cukup besar di tubuhnya yang ramping. Rambut hitam legam Everly tergerai rapi sebahu, gadis itu sempat tersenyum memandangi dirinya sendiri di depan cermin. Tidak berapa lama Everly berbalik dan keluar dari kamarnya yang terletak di bagian belakang, dekat dengan dapur. Terlahir dari seorang ibu yang menjadi simpanan, membuat Everly harus menerima diri jika dia tidak dapat mendapatkan perlakuan spesial apapun dari keluarga ayahnya yang sebenarnya cukup makmur. Ayah Everly benama Jeffrey, dan dia memiliki sebuah pabrik kain tekstil yang cukup sukses, sementara isteri sah Jeffrey bernama Ismi. Ismi dan Jeffrey memiliki anak perempuan bernama Farah yang berusia tidak jauh dari Everly. Dulu, ketika Ismi mengandung, Jeffrey berselingkuh dengan Dara, seorang pelayan restaurant, perselingkuhan itu membuat Dara hamil lalu melahirkan Everly. Dara sakit keras ketika Everly berusia enam belas tahun, dia menyerahkan Everly kepada Jeffry sebelum meninggal. Kehadiran Everly kedalam keluarga Jeffrey menuai beragam cibiran dari setiap orang, statusnya sebagai anak haram selalu mendapatkan hinaan dan menjadi sasaran setiap kemarahan Ismi karena tidak terima anak dari selingkuhan suaminya harus tinggal di rumah. Di kehidupan pertama mungkin Everly sering sakit hati ketika diperlakukan dengan buruk, tidak jarang dia marah dan terkadang memberontak. Namun sekarang dia bisa menanganinya dengan ketenangan. Everly tidak pernah protes ketika diperlakukan tidak adil, namun dia tidak menerima jika mendapatkan perlakuan jahat. Apa yang terjadi di masa lalu, jelas dan mutlak adalah kesalahan murni Dara dan Jeffrey, sebagai seorang anak, Everly tidak tahu apapun, bukan salahnya jika bila dia dilahirkan dari hasil perselingkuhan. Everly tidak pernah bisa memilih dari mana dia harus dilahirkan. Everly tahu, orang-orang yang melampiaskan dosa yang dibuat oleh Dara dan Jeffrey kepada Everly hanyalah sekumpulan orang-orang bodoh yang tidak mau berpikir. Urusan utama Everly sekarang hanya membalaskan dendamnya atas segala perlakukan buruk keluarga Jeffrey dan berusaha menyelamatkan diri dari segala ketidak adilan yang diciptakan orang-orang disekitarnya. Terutama Farah.. Everly berjalan pergi ke ruang makan dan melihat keberadaan keluarganya sudah duduk di kursi masing-masing. “Selamat pagi,” sapa Everly dengan senyuman lembut. Jeffrey mengangguk samar dan sibuk dengan koran di tangannya. Ismi dan Farah tidak menyahut, mereka sibuk dengan sarapan mereka. Everly duduk dan mengambil salad yang selalu dia makan di setiap pagi. “Kau dari mana saja pagi ini? Harusnya kau menjemput kue pesananku,” kata Ismi dengan tatapan tajamnya. “Saya baru selesai membersihkan kuil,” jawab Everly. Farah tersenyum sinis di antara kunyahannya. “Kenapa sekalian saja tidak pulang? Tinggalah di sana, dan segera gunduli rambutmu,” ucap Farah. Everly tidak bereaksi, dengan tenang gadis itu tetap makan dan terlihat biasa saja seakan apa yang telah didengarnya adalah hal yang biasa. To Be Continued..
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN