Luna Keras Kepala

1864 Kata
“Luna, Ayah mau ngomong sama kamu,” ucap Tuan Johannes lembut ketika melihat anaknya muncul dari balik pintu kamar. “Ngomong apa?” sahut Luna malas sambil melirik ke arah lain. Gadis dua puluh dua tahun itu tampak malas menatap wajah ayahnya. “Emangnya ada yang perlu diomongin ya?” lanjut Luna sambil melirik tajam ke arah Tuan Johannes. “Ada, Luna,” jawab Tuan Johannes lembut. "Ayah pengen kita kayak dulu lagi, makanya Ayah pengen ngobrol sama Luna." Luna melirik tajam ayahnya, lalu kembali memalingkan muka. "Kembali kayak dulu? Kayak dulu yang mana? Kayak dulu ketika ada Ibu? Gak bisa, Yah! Ibu udah gak ada!" jawab Luna dengan nada tinggi. Tuan Johannes mulai kehabisan rasa sabar menghadapi putrinya. Luna yang dahulu adalah anak yang penurut, sekarang sudah benar-benar berubah. "Luna! Sejak kapan Luna belajar ngomong kasar sama Ayah? Apa orang-orang desa yang ngajarin kamu kurang ajar sama orang tua?!" bentak Tuan Johannes. Ini adalah kali pertama Tuan Johannes menggunakan nada tinggi kepada anaknya. Sejak kecil, Luna tidak pernah mendapatkan perlakuan kasar dari kedua orang tuanya. Ketika Luna salah atau nakal, ayah dan ibunya hanya memberikan peringatan dan penjelasan dengan lembut, serta memberikan hukuman yang bersifat mendidik. Tidak pernah sekalipun ada bentakan yang keluar dari mulut Tuan dan Nyonya Johannes. Maka dari itu, Tuan Johannes pun terkejut dengan Luna yang tiba-tiba bisa melontarkan kalimat pedas kepadanya. "Luna, kalau seperti ini terus, Ayah gak tahu lagi harus bersikap seperti apa terhadap Luna. Terserah, Luna mau makan atau gak makan, mau masak atau gak masak, mau pulang atau gak pulang, terserah!" Tuan Johannes pun kembali membentak Luna, sebelum kemudian meninggalkan gadis malang itu sendiri. Setelah Tuan Johannes membalikkan badan, Luna segera membanting pintu dengan keras. Kemudian ia berbalik. Perlahan, badannya merosot, seiring dengan isak tangis yang mulai terdengar darinya. Rasa sakit yang ia terima akibat bentakan sang ayah, menusuk hingga menembus hati yang terdalam. "Kenapa sih, Yah, Ayah gak pernah ngerti gimana perasaan Luna? Luna tuh capek! Luna gak mau menanggung semua ini! Ada banyak hal yang Luna gak bisa ngomong ke Ayah sejak dulu, kepala Luna sakit setiap kali pikiran buruk tentang Ayah muncul!" Luna memegang kepala menggunakan kedua belah tangan, lalu menjambak rambutnya dengan kasar, membuat wajah ayunya tampak berantakan. "Ibu … kenapa Ibu harus pergi? Kenapa harus secepat ini? Luna gak sanggup kalau harus menghadapi rasa takut ini sendirian!" Suara Luna terdengar sangat bergetar dan lirih. Tampak beban yang ikut gugur bersama air mata yang menetes. Matahari mulai mengucapkan selamat malam kepada para warga desa, digantikan oleh rembulan dengan cahaya lembut yang meneduhkan. Luna yang dari tadi hanya berdiam diri di kamar, memandangi sinar rembulan sambil meratapi nasib. Mungkin jika ada orang luar yang melihat kehidupan Luna secara sekilas, apa yang Luna pikirkan adalah sesuatu yang tidak masuk akal. Apa hal yang membuat takut? Apakah Luna takut gelap? Sepertinya tidak, karena sejak kecil Luna terbiasa tidur sendiri. Apakah Luna takut ketika sendirian? Tidak juga. Luna adalah seorang gadis yang bahkan berani berada di kebun seorang diri. Lalu apa? Sebenarnya, Keluarga Johannes yang dipandang sempurna oleh masyarakat, memiliki sisi yang tidak diketahui oleh orang banyak. Sama seperti keluarga lainnya, Keluarga Johannes juga memiliki aib yang tersimpan rapat. Sayangnya, Luna adalah satu-satunya orang yang mengetahui aib tersebut dan membungkam mulutnya hingga hari ini. Suara serangga malam seperti jangkrik dan burung hantu, menemani langkah Tuan Johannes yang sejak bersitegang dengan Luna tidak pulang ke rumah. Pria paruh baya itu menyusuri jalanan desa, hingga tiba di salah satu rumah warga. Dengan lembut, Tuan Johannes mengetuk pintu rumah tersebut sambil memanggil nama sang pemilik rumah. "Iya, sebentar!" sahut pemilik rumah dari dalam. Suara wanita yang menjawab panggilan Tuan Johannes dari dalam rumah, terdengar lembut dan meneduhkan. Tetapi hal itu tidak bisa mengembalikan suasana hati Tuan Johannes yang sudah hancur karena pertengkaran dengan anak semata wayangnya. Sesaat kemudian, terdengar suara gagang pintu yang diputar perlahan. Ketika pintu setengah terbuka, perempuan yang muncul dari baliknya terbelalak melihat Tuan Johannes yang berdiri di luar rumahnya. "Tuan?!" serunya pelan. "Tuan ngapain malem-malem ke sini? Nanti warga ngira yang enggak-enggak!" lanjut perempuan itu. "Bu Jeanne, tolong, saya udah bingung harus gimana lagi ngadepin Luna!" jawab Tuan Johannes lirih. Jeanne, perempuan yang didatangi oleh Tuan Johannes malam ini, jelas saja merasa panik. Tuan Johannes, seorang duda kaya raya yang baru satu tahun ditinggal istrinya, mendatangi Jeanne yang merupakan janda cantik di desa. Jika ada orang yang melihat pertemuan ini, pasti mereka sudah berpikiran yang tidak-tidak. Seketika Jeanne menengok ke luar rumah, melihat ke kanan dan kiri memeriksa apakah ada orang lain yang melihat pertemuan dua orang tua tunggal tersebut. Setelah dirasa aman, "masuk aja, Tuan!" pinta Jeanne sambil sedikit menarik tangan Tuan Johannes. Pria paruh baya itu kemudian segera masuk dan duduk di ruang tamu. Jeanne sengaja menutup pintu, karena tidak ingin ada orang lain yang tiba-tiba lewat dan melihat pemandangan yang tidak sepantasnya ada ini. Jeanne kemudian meminta izin ke belakang. Tuan Johannes berdiam di ruang tamu. Beberapa saat kemudian, Jeanne kembali ke ruang tamu dengan membawa satu gelas minuman hangat. "Diminum dulu, Tuan, buat ngurangin dingin," ucap Jeanne lembut. Tuan Johannes hanya tersenyum, tanpa menyentuh minuman yang disajikan oleh Jeanne. "Tuan tadi udah ngobrol sama Luna? Lalu gimana? Apa yang terjadi?" tanya Jeanne penasaran. Cara Jeanne menatap Tuan Johannes, menunjukkan jika wanita itu benar-benar peduli kepada keadaan Keluarga Johannes. "Ya … gitu lah, Bu Jeanne. Saya udah coba ngobrol, tapi Luna sepertinya keras banget. Saya gak pernah lihat dia kayak gitu seumur-umur. Luna itu anak yang penurut dulunya. Entah sejak kapan dia jadi keras kepala gitu." Tuan Johannes bercerita sambil memegangi kepalanya yang terasa pening. Jeanne hanya menghela nafas mendengar apa yang dikatakan oleh Tuan Johannes. Saat ini, mungkin bapak satu anak tersebut hanya meminta untuk didengar. Bibir Jeanne bergetar, ingin rasanya mengatakan kepada Tuan Johannes, "sabar ya, Tuan …," tapi ia tidak sanggup mengatakannya. Karena Jeanne berpikir, kalimat tersebut tidak terlalu memiliki arti untuk meredakan kesedihan yang dirasakan oleh Tuan Johannes. "Ya– yang sabar, Tuan … mungkin Luna masih merasa kehilangan ibunya," ucap Jeanne tiba-tiba. "Ad–duh," batin Jeanne yang merasa keceplosan. Ia sebenarnya berusaha menahan kalimat klise itu keluar dari mulutnya, namun kata-kata di bibir Jeanne rasanya meluncur tanpa bisa dikendalikan. Sehingga Jeanne hanya menutup mata sambil memalingkan wajah dari Tuan Johannes yang duduk di depannya, takut jika atasannya tersebut menganggap apa yang dikatakannya hanya sekadar basa basi. Mendengar ucapan Jeanne, Tuan Johannes menghela nafas sambil memejamkan mata dan merebahkan punggungnya di sandaran kursi. "Mungkin Bu Jeanne emang bener, Luna merasa sangat kehilangan ibunya. Tapi, emang gejala itu bisa sampai setahun lebih ya?" Tuan Johannes kembali menegakkan posisi duduknya. "Bisa aja, Tuan, kita gak pernah tahu seberapa trauma dan kehilangan yang dialami Luna. Mungkin Luna emang butuh sosok seorang ibu," sahut Jeanne. "Seorang ibu, ya?" jawab Tuan Johannes singkat. Setelah itu, suasana menjadi hening. Jeanne pun merasa bingung harus berkata apa lagi. Rasanya, kalimat klise yang diucapkannya justru berhasil membuat tenang pria yang sedang gundah di depannya. Setelah beberapa saat saling diam, Tuan Johannes tiba-tiba menyeletuk, "Bu Jeanne, saya bisa minta tolong besok ke rumah gak? Tolong Bu Jeanne ngobrol sama Luna." "Ha? Saya, Tuan?" sahut Jeanne serasa tidak percaya. "Kenapa harus saya, Tuan?" "Terus siapa lagi kalau bukan Bu Jeanne?" jawab Tuan Johannes sambil menatap lekat wajah Jeanne dengan senyum tipis yang terukir di wajahnya. Jeanne menangkap senyum itu. Meski hanya satu detik, namun perubahan wajah dari tertekan menjadi tersenyum itu mampu membuat pandangan Jeanne terhadap Tuan Johannes berubah. Tatapan hormat yang ia tujukan sebelumnya, berubah menjadi tatapan malu-malu mau. Jeanne tersipu dengan senyum tipis yang terukir di wajah Tuan Johannes. Setelahnya, Tuan Johannes keluar dari pintu belakang rumah sederhana milik Jeanne di mana suasana di sana tampak lebih gelap sehingga tidak akan ada orang yang sadar jika ada orang yang lewat. Keesokan harinya, suasana di rumah Tuan Johannes masih terasa dingin dan suram, meski Luna sudah mau mengerjakan pekerjaan rumah seperti sebelumnya. Tapi, tidak ada lagi kegiatan makan bersama, seperti yang biasa dilakukan Keluarga Johannes ketika Nyonya Johannes masih hidup. Selepas mengerjakan pekerjaan rumah, Luna langsung naik ke kamar. Hanya seperti itu kegiatan Luna setiap hari. Ia tidak pernah lagi terlihat berkeliaran seperti sebelumnya. Setelah seharian lelah menyinari desa, akhirnya matahari pun berpamitan untuk beristirahat. Senja di ufuk barat, tampak sangat indah dipandang dari jendela kamar Luna. Gadis itu tampak sangat menikmati momen-momen tenggelamnya matahari. Ia selalu ingin hari cepat berganti, agar semakin dekat kepada ajal. Meski Luna tidak sampai melakukan sesuatu yang berbahaya, namun keinginan untuk segera menyusul ibunya ke alam kematian masih melekat. Di saat Luna sedang asyik menikmati senja, sayup-sayup ia mendengar suara perempuan sedang berbincang dengan ayahnya di bawah. Luna mengernyitkan dahi, penasaran dengan orang yang diajak berbincang oleh Tuan Johannes. Pelan-pelan, Luna melangkah keluar dari kamar dan turun ke lantai bawah. Suara perempuan dan lelaki yang sedang berbincang, semakin terdengar jelas. "Kita ada permintaan ekspor, daun teh kering, Tuan, mereka pengen barang dari petani langsung, biar dapet harga murah katanya. Menurut Tuan gimana?" Itulah kalimat yang terdengar di telinga Luna. Kalimat yang diucapkan oleh wanita yang berbincang dengan Tuan Johannes itu, memang tidak tampak aneh sama sekali. Namun menurut Luna, tidak biasanya ayahnya mengajak orang lain ke rumah, sehingga Luna merasa tidak salah jika ia menaruh rasa curiga. Luna mengendap-endap hingga ia berada di balik pintu samping, tepat di sebelah ruang makan. Perlahan, Luna mengintip ke luar dari sela pintu. Tampak di sana ayahnya sedang benar-benar asyik berbincang dengan perempuan. Sesaat kemudian, Luna dapat melihat dengan jelas jika Tuan Johannes sedang berjalan ke arahnya. Luna seketika berlari sambil berjinjit agar tidak menimbulkan suara, kembali ke kamarnya. "Luna!" ucap Tuan Johannes sambil memutar gagang pintu. Luna yang sudah kembali berada di dalam kamar, sengaja pura-pura tidak mendengar panggilan dari ayahnya. "Luna, sini turun dulu, makan! Bu Jeanne bawain kita makanan enak hari ini!" seru Tuan Johannes dari lantai bawah. Luna mendengus kesal saat mendengar kalimat yang dilontarkan oleh ayahnya. "Cih! Kenapa harus ada orang lain lagi sih?" gerutunya. Tidak lama kemudian, terdengar suara pintu kamar Luna yang diketuk pelan. "Luna … Ayah tahu kamu di dalam. Sini keluar dulu, ada tamu ini loh," ucap Tuan Johannes lembut. "Ngapain sih? Itu tamunya Ayah kan? Gak ada kepentingan juga sama Luna!" sahut Luna kasar. "Luna … Ibu sama Ayah selalu ngajarin kamu buat hargain orang lain. Ini Bu Jeanne udah capek-capek masakin buat kamu, keluar buat makan bentar aja loh," bujuk Tuan Johannes. Di luar kamar, Jeanne memperhatikan perbincangan ayah dan anak itu dari lantai bawah, tepat di bawah tangga. Sejenak, Tuan Johannes menoleh ke arah Jeanne. Wanita paruh baya tersebut memberikan isyarat kepada Tuan Johannes. Dalam diam, ia seakan berkata, "gimana?" Tuan Johannes menjawab isyarat itu dengan menunjukkan kelima jarinya kepada Jeanne yang berarti, "bentar." Beberapa saat kemudian, Tuan Johannes mendengar Luna memutar gagang pintu. Sontak ia langsung menoleh ke arah anaknya yang muncul dari balik pintu. "Luna, ke bawah dulu yuk … kita makan malam sama Bu Jeanne," ajak Tuan Johannes. Luna menatap ayahnya kesal, lalu ia memutar bola mata dan berjalan malas ke bawah. Ia berjalan melewati ayahnya, lalu terus menuruni anak tangga. Tuan Johannes yang mengikuti langkah Luna, merasa lega karena Luna bisa diajak berbicara. Ia sangat berharap, Jeanne mampu melunakkan kerasnya hati Luna semenjak ditinggal oleh Nyonya Johannes.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN