Bibirku tak berhenti mengucap istigfar, begitu juga dengan Sekar yang terus melafalkan dzikir di sampingku. Kami berusaha memegang tangan dan kaki bapak, sejak membuka mata kondisi beliau tambah tidak karuhan. Banyak sekali makhluk yang silih berganti memasuki raga bapak. Untung saja Pak Slamet segera menyusul lalu kemudian Mbah Kadiran yang ikut hadir di rumah sakit. Mamak menangis di pojok ruangan, beliau tak sanggup melihat kondisi bapak yang seperti ini. Aku dan Sekar memegang tangan beserta kaki bapak sebelah kiri, sedangkan Pak Slamet dan Mbah Kadiran berada di sebelah kanan. Wajah bapak berbeda dari biasanya, bola mata bapak tidak memancarkan aura sama sekali.
Teriakan demi teriakan memenuhi ruangan, tapi yang keluar bukan suara bapak. Setiap suara yang keluar selalu saja berbeda-beda, ada yang suara nenek-nenek, lalu perempuan, anak kecil, hingga suara berat yang mengisi raga bapak. Mbah Kadiran terlihat masih fokus mengobati bapak, bibirnya komat-kamit entah mengucap mantra apa. Pak Slamet pun tak jauh beda dengan aku dan Seka, merapalkan ayat suci dan dzikir. Semua yang aku bisa, aku lantunkan dalam hati.
“Koe podo ora iso njupuk aku soko awak iki! Saiki aku sing manggon enek awake bocah iki. Aku dipasrahi kanggo manggon enek awake. Koe kabeh ra iso opo-opo!” Mbah Kadiran mengarahkan tangannya ke depan wajah bapak, lalu gerakan tangannya terhenti dan seperti tengah menarik sesuatu dari dalam tubuh bapak. Setelah itu tubuh bapakk berangsur melemas. d**a Mbah Kadiran terlihat naik turun mengatur napasnya yang tak beraturan, Pak Slamet memapah tubuh Mbah Kadiran untuk duduk. (Kalian tidak bisa mengambil aku dari badan ini. Sekarang aku yang menempati di dalam tubuh orang ini. Aku diberi amanah untuk menetap di dalam tubuhnya. Kalian semua tidak bisa apa-apa!)
Setelah minum dan di rasa tenang, Mbah Kadiran mendekat kembali ke ranjang bapak. Beliau memegang tangan bapak lalu menganggukkan kepalanya ke arah aku dan Sekar. “Bapakmu sudah kembali, beliau masih tertidur. Banyak yang gantian mencoba masuk, jadi energinya banyak yang terbuang. Biarkan beliau istirahat, dua jam lagi pasti sudah kembali seperti semula.”
“Sebelumnya siapa yang datang kemari? Kecuali orang yang berada di ruangan ini? Lain kali jangan biarkan orang lain masuk,” lanjut Mbah Kadiran yang membuat dahiku mengerut tajam. Siapa yang dimaksud Mbah Kadiran dengan sebutan orang lain? Hanya Om Rino yang datang kemari, tapi beliau bukan orang lain bagi kami. Om Rino juga masih memiliki hubungan darah dengan bapak. Mbah Kadiran menatapku lalu tersenyum kecil.
Pak Slamet mengantarkan Mbah Kadiran ke depan, beliau berpamitan pada kami karena masih ada urusan yang mendadak. Sekar menyenggolku sambil mengerutkan dahinya, seolah meminta penjelas lebih dariku. Aku menggelengkan kepala sebagai pertanda tidak tau. Sekarang berganti mamak yang menjaga bapak, beliau setia duduk di samping ranjang tidur bapak.
“Maksud Mbah Kadiran itu Om Rino, Mas? Yang datang kan cuma Om Rino. Apa iya yang berbuat seperti ini Om Rino, Mas?” bisik Sekar lirih. Ia tak ingin orang lain mendengar pembicaraan terlalu sensitif seperti ini. Aku kembali menggelengkan kepalaku, belum ingin membahas permasalahan ini terlalu jauh lagi terlebih sampai menuduh. Mana mungkin Om Rino sampai tega pada bapak, sampai mengirim santet dan membuat bapak terkapar tidak berdaya.
“Hus, jangan menuduh. Kita nggak tau siapa pelakunya, Kar. Nunggu Mbah Kadiran aja dulu, jangan sampai kita menuduh, malah suudzon nanti jatuhnya. Udah jangan dipikirin dulu. Nanti kita cari tau aja bareng-bareng, jangan sampai cuma nebak-nebak doang. Nanti malah nuduh,” jawabku dengan suara sepelan mungkin. Kami berdua berjalan di belakang Pak Slamet dan Mbah Kadiran, tidak sopan jika terdengar sampai telinga Mbah Kadiran atau pu Pak Slamet. Sekar hanya menghela napas mendengar aku kurang tertarik dengan pertanyaannya.
“Saya pamit dulu ya, Pak Slamet. Kalau ada apa-apa langsung saja telpon. Mas Banyu dan Mbak Sekar, tetap jaga bapak ya di sini. Kondisinya masih rawan. Kalau ada orang asing pokoknya selain tenaga medis dan orang ini saja, jangan dibiarkan masuk. Yang tenang belum tentu sahabat,” ucap Mbah Kadiran, berjabat tangan dengan Pak Slamet lalu menepuk bahuku. Pak Slamet menganggukkan kepala, begitu juga dengan aku dan Sekar.
“Hati-hati ya, Mbah.” Beliau menganggukkan kepala lalu meninggalkan kami yang masih berdiri. Pak Slamet menoleh ke arahku lalu menghembuskan napasnya panjang, seperti ada sesuatu yang beliau lihat. Aku baru menyadari jika Pak Slamet memiliki kemampuan itu, kemampuan yang tidak semua orang bisa.
“Ada apa, Pak? Kok lemes banget kelihatannya,” tanyaku dengan merangkul bahu Pak Slamet, beliau menghembuskan napasnya perlahan. Lalu mengajak aku dan Sekar duduk di bangku depan, mungkin ada suatu hal yang ingin dibicarakan pada kami tanpa melibatkan mamak. Beliau pasti paham, mamakku orangnya panik sekali. Jadi lebih baik diberitau jika keadaan sudah mulai membaik, biar pikirannya tidak terlalu terbebani.
“Kamu tadi lihat nggak, Mas Banyu? Atau mungkin malah Mbak Sekar?” Beliau menatap kami berdua dengan tatapan serius, aku dan Sekar menggelengkan kepala bersamaan. Pak Slamet memijat pangkal hidungnya lalu menatap kami dengan senyuman kecil di bibirnya. Kami berdua sudah siap menunggu cerita dari Pak Slamet yang sepertinya sudah tidak tahan untuk membuka suara pada kami.
“Sebenarnya tadi itu nggak cuma satu, dua, tiga atau sepuluh yang mau masuk ke dalam tubuh Pak Soma, Mas. Tapi, ratusan. Ratusan, Mas. Kalau panjenengan punya kemampuan khusus, Mas, tadi pasti melihat ruangan yang kita tempati penuh sampai berasa sesak. Ibarat mereka terlihat nih, Mas, kita udah kehabisan napas. Nggak mungkin sampai tumpang tindih saking pengennya masuk ke dalam tubuh Pak Soma, semua rebutan pengen nyoba. Dan semua makhluk ghoib yang ada di sekitar sini itu pada datang, dari yang wajahnya masih mendingan sampai hancur nggak berbentuk.” Pak Slamet bergidik ngeri sambil mengusap lengannya, bulu kuduk kami berdiri. Aku rasa Pak Slamet pun juga merasakan hal yang sama. Seperti ada yang baru saja melewati kami bertiga. Mungkin ingin say hello pada kami.
Sekar merapatkan tubuhnya ke sampingku, dia sepertinya juga merasakan hal yang sama. Begitu dengan Pak Slamet yang mengusap lehernya. “Pokoknya di sini rawan banget, Mas. Ada seseorang yang sengaja membuka mata batin Pak Soma, jadi banyak makhluk lain yang tertarik sama beliau. Mungkin ini masih ada kaitannya dengan si penaruh santet itu, Mas Banyu. Kalau pun benar, kok tega banget orangnya ke Pak Soma. Padahal Pak Soma nggak pernah jahat ke orang lain loh, Mas. Tugas kita jangan sampai ada orang luar yang masuk ke dalam ruangan Pak Soma, pasti pihak musuh masih akan terus bergerak. Prinsip mereka sebelum balas dendamnya terwujudkan, mereka tidak akan berpuas hati. Pasti nunggu sampai Pak Soma tidak memiliki harapan hidup, Mas. Tapi semoga saja tidak seperti itu, Mas.”
Aku menganggukkan kepalaku. “Sepertinya dendam beliau itu sudah mendarah daging, Pak. Sampai tega melakukan ini ke bapak. Namanya manusia pasti ada aja yang iri, tapi kenapa sampai tega mengirim seperti ini? Iri biasa disaingi dengan cara yang baik-baik, nggak harus seperti ini.”
“Kita berdoa saja pada Allah, Mas, apa yang terbaik untuk Pak Soma. Kesembuhan Pak Soma menjadi hal terpenting sekarang. Kamu sama Sekar jangan sampai mikir yang macam-macam dulu ya. Kalau Pak Soma sudah bangun, nanti diajak ngobrol terus. Jangan biarkan beliau melamun atau sampai kosong pandangannya. Nanti bergantian jaga Pak Soma biar kita bisa istirahatnya juga bergantian.” Pak Slamet mengarahkan kami, beliau tidak memiliki hubungan darah dengan kami. Tapi aku merasa Pak Slamet sudah seperti keluarga kami, menjadi bagian dari kami. Ketimbang dengan Om Rino, aku lebih dekat dengan Pak Slamet. Tetangga rumah kami.
“Aamiin, Pak. Semoga saja bapak segera sembuh. Ndak tega lihat bapak seperti sekarang, Pak.” Aku menghela napasku. Pak Slamet menepuk pundakku perlahan, beliau berusaha menguatkanku. Masih ada Pak Slamet, Sekar, dan mamak yang membuatku menjadi lebih ikhlaas dan tegar menghadapi semua kenyataan ini.
“Udah, Mas, kita serahkan kepada Gusti Allah. Ndak ada yang ndak mungkin di tangan Gusti Allah, Mas Banyu. Jangan berkecil hati. Mau Mbah Kadiran bilang semua orang yang terkena santet banaspati nggak ada yang bisa selamat, tapi jika Allah pengen Pak Soma hidup lebih lama lagi ya pasti ada aja jalan buat kesembuhan beliau. Pokoknya Mas Banyu jangan terlalu memikirkan hal negatif ya, isi pikirannya dengan pikiran yang serba positif.” Lagi, lagi dan lagi Pak Slamet mencoba membesarkan hatiku. Tidak ada yang tidak mungkin di tangan Gusti Allah, benar ucapan Pak Slamet. Aku menghela napasku panjang dan mulai meneguhkan hatiku sendiri jika semua ini bisa aku hadapi. Kami semua bisa. Aku merangkul bahu Sekar, menyalurkan rasa hangat padanya.
***
Entah apa yang membuatku sampai tertidur pulas seperti ini, seingatku selepas kami duduk di depan sore tadi aku langsung masuk ke dalam ruangan bapak. Dan ya, aku mungkin ketiduran di kursi ini. Mamak tak terlihat di ruangan, begitu juga dengan Pak Slamet atau pun Sekar. Kemana semua orang di ruangan ini, kenapa nggak ada yang bangunin aku? Apa mungkin mereka lagi cari makan? Eh, tapi tidak mungkin. Tapi bisa saja iya. Aku menggelengkan kepalaku lalu mencoba meregangkan ototku, tapi kenapa aku tidak bisa menggerakkan tubuhku?
Sebentar, aku tidak bisa menggerakkan tubuhku. Ada apa yang terjadi? Astaga, semua anggota tubuhku tidak ada yang bisa ku gerakkan. Seperti ada yang membuatnya berat. Pandanganku tertuju pada seorang perempuan yang tiba-tiba berdiri di pojok ruangan, lebih tepatnya di sebelah ranjang tidur bapak. Dia menundukkan kepalanya, rambut panjangnya menutupi semua wajahnya. Bulu kudukku berdiri, meremang. Tiba-tiba atmosfer ruangan berubah menjadi terasa dingin sekali. Ada apa dengan ruangan ini? Siapa yang menurunkan suhu ruangan? Berani sekali. Bagaimana jika bapak kedinginan?
Perempuan itu mengangkat kepalanya, lalu menatapku lurus dan tajam. Wajahnya rusak parah. Matanya hilang satu sebelah kiri. Darah kental hitam mengalir di wajahnya, terlihat kepalanya sobek terlalu dalam sebelah kanan. Bahkan hidung dan pipinya sudah remuk, seperti hanya tersisa tulangnya saja. Bibirnya putih, pucat pasi. Bajunya pun juga putih sama dengan warna tembok rumah sakit ini, tapi ternodai oleh bercak darah. Sialnya dia berjalan mendekatiku.
Ingin sekali aku teriak memanggil nama mamak, Sekar, atau pun Pak Slamet tapi kenapa suaraku tidak keluar sama sekali. Tubuhku pun juga terasa terikat dengan kursi ini, sama sekali tidak bisa digerakkan. Dan perempuan itu terus mendekatiku dengan senyuman lebar menghiasi wajahnya. Bahkan aku merasakan bibirnya robek karena senyumannya yang terlalu lebar. Aku merasa dejavu dengan momen ini, seperti aku merasakan beberapa kali hal janggal saat melihat lukisan dan foto. Tapi ini bukan benda mati, bukan dua dimensi. Dia benda hidup dan tiga dimensi. Itu artinya dia memiliki bentuk yang sama dengan kami, kaum manusia.
Aku mendengarkan suara Sekar dan Pak Slamet di luar, aku berusaha berteriak sekuat tenagaku tapi hasilnya tetap saja nihil. Suaraku tidak ada yang keluar, bibirku hanya mangap-mangap seperti ikan kekurangan air. Aku hanya mampu memejamkan mataku dan merapalkan doa yang aku bisa di dalam hati. Menangis pun percuma, tidak ada air mata yang keluar. Perempuan itu sudah sampai di depanku. Aku mencium bau wangi melati menyengat di hidungku, ini pasti wangi parfum si mbak. Perlahan ku buka mata. Oh tidak, lihatlah dia menatapku dengan tatapan mengejek. Bahkan bibirnya yang retak sudah kembali seperti semula. Kini si mbak melantunkan tawanya yang memenuhi gendang telingaku.
Ini mimpi, tapi aku merasakan kejadian nyata. Tawa si mbak mirip sekali dengan film horror yang sering ku lihat bersama teman-teman. Hanya saja ini lebih nyata daripada yang berada di layar bioskop. Dia memajukan wajahnya hingga tersisa jarak tiga jengkal dengan wajahku, aku merasakan darah kentalnya menetesi pipiku. Oh damn! Bau melati tersebut kini berubah menjadi anyir darah, bahkan kepalaku sampai pusing menahan bau yang masuk ke dalam hidungku. Dia semakin tertawa hebat melihat aku tersiksa. Ini adalah tujuannya dan dia berhasil mengemban tugasnya dengan baik.
Tawanya kembali terdengar nyaring, dia bahkan merubah wajahnya menjadi lebih buruk rupa dari sebelumnya. Seluruh wajahnya hancur lebur, bahkan aku tidak mengenali apakah ini wajah dari seorang manusia pada umumnya. Baju putihnya sekarang sudah belumuran darah yang terus mengalir dari kepalanya, seisi ruangan berbau anyir. Dadaku pun terasa sesak mencium bau ini. Aku sudah tidak kuat terlalu lama, tapi tidak ada yang tau jika aku terjebak dalam kondisi seperti sekarang. Pasti mereka mengira aku hanya tidur biasa.
Samar-samar terdengar suara Pak Slamet yang memanggilku, aku terus mencari keberadaan Pak Slamet berharap sekali beliau bisa menolongku dan membawaku pergi dari alam antah-berantah ini. Perlahan tubuh si mbak berangsur menghilang. Aku merasakan tubuhku diguncang hebat oleh gempa berskala besar.
“MAS BANYU!” teriakan Pak Slamet akhirnya bisa menarikku kembali ke alam yang semestinya. Aku membuka mataku dengan napas yang tak beraturan seperti habis dikejar anjing saja. Pak Slamet menyodorkan satu botol minuman, aku menenggaknya hingga tersisa setengah botol. Beliau duduk di sampingku sambil mengusap wajahnya kasar. Sekar dan mamak menatapku khawatir. Sepertinya mimpiku tadi adalah kenyataan.
“Mas Banyu, lain kali kalau mau magrib jangan tidur ya. Mau ngantuk banget sampai nggak bisa ditahan, tapi tolong banget tahan sampai setelah magrib. Nggak baik tidur pas peralihan waktu dari siang ke malam. Banyak makhluk yang usil pada bermunculan. Untung aja saya tadi melihat si mbak mendekat ke sini. Jadi saya pikir dia lagi ganggu tidur Mas Banyu.” Pak Slamet memijat tengkukku. Beliau juga mengusap bekas tetesan darah si mbak yang berada di pipiku. Aku ikutan menyentuhnya, oh tidak, membekas.
Tetesan darah tadi membekas menjadi seperti bekas luka, pipiku sekarang seperti memiliki tompel. Beliau membacakan sebuah surat lalu meniupkan ke ubun-ubunku. Setelah itu aku memutuskan untuk mandi, badanku terasa lengket dan pegal-pegal seperti habis dipukuli orang satu kampung. Aku terkejut melihat banyak bercak darah berada di lantai dekat ranjang bapak, tempatnya persis si mbak berdiri tadi waktu pertama kali menampakkan dirinya. Kepalaku menoleh ke arah Pak Slamet, beliau menggelengkan kepalanya seolah memberiku aba-aba untuk tetap diam dan melanjutkan aktivitasku. Aku harus segera membersihkan tubuhku, kamar mandi ini pun terasa lembab dan pengap. Bulu kudukku kembali berdiri. Perasaan takut menyelimuti hatiku. Berani tak berani, aku harus berani.