LIKM 01
Kisah sepasang keturunan Adam. Valentina dan Keano, dua manusia berbeda gender. Yang memiliki tingkat keegoisan terlampau tinggi, terikat dalam hubungan sakral pernikahan. Dengan cinta sebelah pihak.
---
"Kenapa kau selalu membuat Papa dan Mama dalam masalah, Keano!!!"
Teriakkan menggelar itu mengisi seluruh ruangan megah di sana. Tak ada yang berani mengambil suara, semua hanya diam membisu. Hanya ada suara isakan pilu dari sosok gadis di sana-Valentina.
Sosok pemuda yang bernama Keano hanya diam menunduk, ia tak tahu harus berucap apa. Apa yang terjadi memang benar adanya. Walau jujur, ia tak sengaja melakukan semua itu.
"Maafkan aku, Pa. Aku tidak sengaja." lirihnya.
PLAKK!!!
Satu tamparan mendarat di pipi tirusnya. Keano hanya diam, menerima tamparan keras dari sang ayah. Meski sudut bibirnya terasa perih, mengalir darah segar.
"Apa kau bilang??!! Tidak sengaja? Omong kosong!" bentaknya, ingin melayangkan pukulannya kembali. Jika saja sang istri tak menghalanginya.
"Pa, hentikan. Jangan tampar Keano!" marahnya.
"Kau selalu saja membela putra manja mu ini! Lihat akibatnya! Dia menjadi lelaki b******k!"
Sang istri hanya bisa membekap mulutnya, menahan isakan tangis yang tak dapat lagi ia tahan.
Keano berdiri dari tempat duduknya. Berjalan cepat menuju ke arah toilet. Mengabaikan teriakan murka dari sang ayah.
"Lihat dia! Dia tak punya sopan santun!" emosi sang ayah. "Cepat atau lambat pernikahan Keano dan Valentina akan di selenggarakan!" putusnya kemudian.
Sedang di dalam toilet.
Keano tengah kebingungan, ia mencoba mengehentikan pendarahan dari dalam hidungnya. Kepalanya terasa pening hingga membuatnya tak lagi bisa mengingat apapun.
***
Sebelum kejadian skandal.
Di saat usia Keano masih menginjak ke-3 tahun. Anak kecil itu mengalami sakit yang lumayan serius. Hingga kedua orang tuanya memutuskan untuk membawa putra keduanya tersebut ke luar negeri. Menjalani pengobatan di sana. Dan meninggalkan putra pertamanya di Jakarta sendirian, hanya ditemani beberapa pelayan.
"Sean, Papa harap, kau bisa menjaga dirimu sendiri. Sebentar lagi kau akan menduduki bangku SD. Papa akan sering pulang menjengukmu." ujar sang ayah, mengelus pucuk rambut putra pertamanya yang kini menginjak umur ke-6 tahun.
"Adik cepatlah sembuh, Kakak akan selalu menunggu kepulanganmu." lesunya, mengelus rambut sang adik, yang terlihat berbadan kurus itu.
Sang adik hanya mengangguk, terlalu lemah menjawab penuturan sang kakak.
Beberapa hari telah berlalu.
Keano menjalani hari-harinya dengan melakukan sejumlah pengobatan rutin.
"Papa, kenapa aku tidak boleh pulang? Aku ingin sekolah bersama kakak."
"Sayang, kamu tidak boleh sekolah dahulu. Dokter belum mengijinkan kamu pulang," lembut sang ibu.
"Tapi, Ma. Aku ingin sekolah." bersikeras si kecil.
Sang ibu hanya menghela napas lelahnya, terpaksa ia harus mencari jalan keluar dari keinginan sang putra. Dengan cara menyewa guru privat untuk putranya tersebut.
"Ma ... kenapa aku harus belajar di rumah? Aku lelah harus minum obat dan dijaga dokter setiap waktu. Sebenarnya aku sakit apa? Kata Mama, aku hanya demam."
Sang ibu tak kuasa untuk menahan isakan setiap kali sang putra menanyakan perihal sakit yang dideritanya.
"Sudah, jangan bertanya lagi. Keano ingin cepat sembuh, kan? Jadi, Keano harus mengikuti ucapan dokter, ok."
Keano hanya mengangguk dan melanjutkan belajarnya kembali.
12 Tahun telah berlalu.
Keadaan Keano sudah berangsur membaik. Kini anak itu sudah beranjak dewasa. Kedua orang tuanya memutuskan untuk mengajak kembali putranya tersebut ke tanah air.
Sesampainya di Jakarta.
Keano memutuskan untuk melanjutkan pendidikannya di salah satu sekolah SMA dekat dengan universitas sang kakak. Agar kakaknya-Sean bisa menjaga adiknya tersebut.
Keano terlihat begitu tampan, namun sayangnya dia tak seaktif teman-teman sebayanya. Ia lebih terlihat pendiam, lagipula kedua orang tuanya juga melarang dirinya. Agar tak mengikuti ekskul di sekolahnya, demi menghindari cidera luka pada tubuhnya.
Yah, Keano menderita penyakit Hemofilia. Di mana penyakit itu belum diketemukan obatnya. Keano akan sulit mengehentikan pendarahan jika ia sampai terluka. Maka dari itu, kedua orang tuanya melarang keras dirinya untuk mengikuti ekskul.
"Kean, kamu liat apaan sih?" tanya sang sahabat, Calvin.
Keano hanya tersenyum, menatap sosok gadis yang berjalan riang bersama teman-temannya di kejauhan sana.
"Kamu suka sama Valentina? Buang perasaan kamu jauh-jauh deh. Dia itu idola kelas, dan lagi ... bad girl. Cowoknya banyak," ucap remaja itu.
Keano membalas ucapan sahabatnya itu dengan senyuman. "Aku nggak akan mengungkapkan perasaanku. Aku hanya senang melihat dia dari jauh."
Calvin hanya menggeleng.
"Hah, selalu saja menyiksa dirimu sendiri."
"Valentina sangatlah sempurna, dia tak akan tertarik dengan lelaki introvert seperti diriku."
"Sudah, jangan pikirkan dia. Lupakan saja," timbal Calvin selanjutnya.
Selepas lulus dari pendidikan SMA. Keano memutuskan untuk belajar bisnis di luar negeri. Menjalankan bisnis sang ayah di sana. Ditemani sahabatnya-Calvin. Mereka memutuskan untuk tak melanjutkan pendidikan mereka, dengan memfokuskan pada dunia bisnis. Calvin menjadi sekretaris pribadi Keano.
Berbeda dengan Sean, yang justru memilih melanjutkan pendidikannya, demi menempuh cita-citanya sebagai dokter. Dia tak berminat menjalankan bisnis sang ayah. Lagipula sudah ada sang adik yang akan menjadi penerus ayahnya.
"Keano, aku dengar ... kakakmu akan segera menikah."
Keano yang tengah sibuk menatap layar laptopnya sontak mengehentikan kegiatannya.
"Aku dengar juga begitu. Tapi aku belum tau, siapa kekasih kak Sean. Setahuku dia bukan tipe lelaki yang suka mengutamakan pacaran."
"Mungkin mereka dijodohkan," tebak Calvin.
"Mungkin saja, kakak pasti akan langsung menyetujui permintaan mama dan papa. Hah, dia terlalu penurut."
Calvin hanya menggeleng kecil.
"Apa kau akan pulang? Ke Indonesia?"
"Iya, aku ingin menghadiri acara pertunangan kakak." sahut Keano kemudian.
"Kean, apa kau baik-baik saja?" tanya Calvin tiba-tiba.
Keano menatap bingung kearah sahabatnya tersebut. "Kenapa?"
"Aku tahu, kedua orang tuamu memperlakukan dirimu dengan kakakmu secara berbeda. Apa kau baik-baik saja? Kau tidak merasa sakit hati?"
Keano lagi-lagi hanya tersenyum, entah pemuda itu mempunyai kelebihan kebahagiaan atau bagaimana. Hampir setiap waktu ia hanya tersenyum. Tanpa merasakan emosi sedikitpun.
"Aku tidak masalah. Aku percaya, mama dan papa juga menyayangiku. Jika mereka tidak menyayangiku, mana mungkin mereka mengantarkan aku berobat ke luar negeri. Bisa saja mereka membiarkanku dan mungkin aku tidak ada lagi di dunia ini." ucap Keano, berusaha tetap tersenyum. Meski dadanya terasa sakit. Ia tau, jika sang ayah hanya menganggap dirinya sebagai beban keluarga. Ia lemah, tidak seperti sang kakak. Ini salah satu alasan Keano memilih melanjutkan bisnis sang ayah. Ia berjanji akan membalas kebaikan ayahnya, tak ingin lagi menyusahkan kehidupan mereka.
"Aku bangga memiliki sahabat seperti dirimu." Calvin menepuk pundak sang sahabat.
Beberapa hari kemudian. Calvin dan Keano memutuskan untuk kembali ke tanah air mereka. Sampai menjelang hari pernikahan Sean dan kekasihnya terlaksana.
Sean yang hari ini tak sabar ingin segera bertemu dengan adik kesayangannya, sengaja menjemput kehadiran sang adik di bandara. Ditemani kekasih cantiknya.
"Kau terlihat sangat bahagia." ucap sang kekasih, yang senantiasa bergelayut manja di lengan kokohnya.
"Sudah lama sekali rasanya, aku tak bertemu dengan Keano. Pasti sekarang dia sangatlah tampan. Awas saja jika sampai kau berpaling dengannya." kekeh Sean, menggoda sang kekasih.
Sang kekasih sontak cemberut dan mencubit pinggang sang pemuda.
"Mana mungkin aku berpaling darimu, kau sangat sempurna bagiku."
Sean tersenyum dan mengecup pucuk kepala sang kekasih.
Tak lama sosok yang mereka tunggu pun akhirnya datang.
Sean melambaikan tangannya ke arah sang adik.
Keano mengehentikan langkahnya, menatap tak percaya pada sosok sang kakak dikejauhan sana. Tidak, bukan pada sang kakak. Melainkan terfokus pada sosok gadis yang terlihat tengah bergelayut di lengan kakaknya tersebut.
Calvin menaikan sebelah alisnya, menoleh ke arah sang sahabat yang tiba-tiba tak ada pergerakan. Kemudian mengedarkan pandangannya ke arah tatapan fokus Keano. Kedua bola matanya seketika membelalak lebar. Saat melihat sosok yang sedari tadi mengejutkan sahabatnya.
"Dia ... bukankah dia Valentina?" Calvin membekap mulutnya. Tak menyangka jika dunia begitu sempit. Sampai-sampai sosok yang akan menjadi kakak ipar Keano adalah sosok gadis yang dicintai pemuda tersebut.
"Kean, hei! Jangan terlalu terkejut. Nanti kakakmu curiga." bisik Calvin.
Keano segera menetralkan ekspresinya dan melanjutkan perjalanannya. Berusaha menampilkan senyuman merekah ke arah sang kakak tercinta.
"Keano! Kakak sangat merindukanmu!" teriak Sean, langsung menubruk kan tubuhnya ke arah sang adik.
"Aku juga sangat merindukanmu, Kak," sahut sang adik. Melepaskan pelukannya dari tubuh sang kakak.
"Oh, iya. Kenalkan, dia calon kakak iparmu, Valentina." ucap Sean kemudian. Merengkuh pinggang sang kekasih.
Valentina tersenyum dan mengulurkan tangannya ke arah Keano. Keano ikut tersenyum dan membalas uluran tangan gadis tersebut.
"Keano." ucapnya, dengan senyuman lembut. Telapak tangannya mendadak dingin, saat bersentuhan langsung dengan telapak tangan sosok gadis yang menjadi cinta pertamanya hingga detik ini.
Calvin mengikut lengan Keano, mengingatkan pemuda itu agar melepas genggaman tangannya dari tangan Velentina.
Keano segera menarik tangannya, tersenyum canggung.
"Ayo kita pulang. Ah, sebelum itu, bagaimana kalau kita mampir ke restauran sebentar. Kau pasti sangat lapar." imbuh Sean kemudian, merengkuh pundak sang adik.
Keano hanya mengangguk dan menuruti keinginan sang kakak.
Sesampainya di sebuah restauran tak jauh dari bandara. Mereka berempat langsung memesan makanan.
"Sayang, kenapa hanya memesan minuman?" tanya Sean pada sang kekasih.
Valentina tersenyum lembut. "Aku sedang diet, tak lucu bukan, jika di hari pernikahan kita nanti aku terlihat gemuk. Aku hanya ingin terlihat sempurna saat berdampingan denganmu."
Sean hanya mengangguk singkat, seakan tak peduli dengan keinginan sang kekasih.
Keano yang tak suka dengan sikap sang kakak pada Valentina, sontak berucap.
"Nanti perutmu sakit jika tidak makan dengan benar."
Ucapan Keano seketika memancing atensi dari ketiga orang di sana.
Calvin menginjak kecil ujung sepatu Keano, memberinya kode jika Sean menatap heran ke arahnya.
"Ah, bukan begitu. Maksudku, hanya khawatir pada calon kakak ipar. Bagaimana jika saat hari pernikahan kalian, tiba-tiba saja Kak Valent sakit? Tidak lucu bukan?" ucapnya canggung.
Sean mengangguk membenarkan ucapan sang adik.
Hah! Akhirnya Keano bisa bernapas lega, setidaknya sang kakak tidak curiga kepadanya.
# "Jangan berani bicara pada siapapun tentang apa yang terjadi pada kita! Jika sampai kau berani membocorkan rahasia kita. Siap-siap hidupmu akan menderita!" emosi Valentina.