Juna
Kalau kalian bertanya tempat manakah yang paling tidak ingin aku kunjungi, maka dengan cepat aku akan menjawab kalau itu adalah rumah sakit. Tempat dengan segala bau obat-obatan bercampur jadi satu. Belum lagi, masakan yang disajikan sama sekali tidak membangkitkan selera makan.
Hari ini aku diperbolehkan pulang setelah kurang lebih delapan hari aku di rawat di rumah sakit,. Aku sangat bersyukur karena tidak ada bekas luka di bagian wajah. Meski ada bebebrapa bagian yang harus dijahit, aku bersyukur karena dokter bilang itu baik-baik saja dan akan segera sembuh.
“Mas Juna, beneran nggak papa kalau pulang sendiri?” untuk kelima kalinya, Dek Risa menanyakan hal yang sama.
“Mobilnya udah di anter kan?” aku balik bertanya, yang justru dibalas geraman pelan oleh Dek Risa.
“Jawab dulu. Beneran nggak papa kalau pulang sendiri? Kepalanya masih suka pusing nggak?”
“Enggak dek, enggak. Aku udah baik-baik aja. Buktinya dokter udah ngebolehin aku pulang.” Aku mengambil jaket yang tersampir di sofa, lalu segera memakainya.
“Tapi wajahmu masih pucet loh, Mas. Atau pulangnya nunggu aku selesai? Biar aku yang nyetir.” tampaknya Risa masih ingin mengkhawatirkanku
“Nggak. Aku udah nggak betah kalau lebih lama di sini. Bau obatnya bikin mau muntah.”
“Mas Juna ini bener-bener kaya mama. Anti banget sama obat.”
Aku terkekeh pelan, “Namanya juga ibu dan anak. Udah ya dek, aku pulang dulu. Mana, kunci mobilnya? ”
“Coba aja papa sama mama nggak lagi ada acara di Semarang, pasti Mas Juna nggak bakal pulang sendiri kaya gini,” Risa mulai ngedumal, tetapi dia tetap menyerahkan kunci mobil padaku.
“Ssst! Berisik mulu dari tadi. Udah ya, aku pulang dulu.”
“Ya udah. Ati-ati, Mas.”
Dek Risa mengantarkanku sampai parkiran, tempat mobilku berada. Dia langsung melambaikan tangan begitu aku masuk dan menyalakan mesin.
“Ati-ati loh, mas!”
“Ya!”
Aku bernapas lega begitu keluar dari gerbang. Tempat pertama yang akan aku tuju setelah pulang dari rumah sakit adalah kantor Om Danu. Gara-gara aku mengalami kecelakaan, janjiku pada beliau belum sempat aku tepai.
Aku mengendarai mobil dengan kecepatan lebih agar cepat sampai. Aku tersenyum begitu tiba di kantor dan melihat Om Danu ternyata sedang ada di luar bersama beberapa karyawannya.
“Om!” panggilku agak keras begitu turun dari mobil.
“Loh, Juna!” Om Danu tampak terkejut melihatku. “Kok disini? Kepala kamu gimana?” tanya Om Danu kemudian.
“Baik-baik aja kok, Om. Ya masih agak nyeri dikit. Tapi kata dokter nggak papa.”
“Bagus kalau nggak papa. Ayok masuk.” Om Danu merangkulku dan mengajakku masuk ke kantornya.
“Tante Rara mana om?” tanyaku begitu kami masuk lift.
“Lagi nganter si bontot beli tas sama sepatu baru. Ngambek kemarin, gara-gara kakaknya dibeliin hape baru tapi dia enggak. Ya Om mana boleh lah, orang hape masih bagus minta ganti baru kaya punya kakaknya. Punya kakaknya kan nyebur di kolam renang, terus mati. Makanya Om beliin yang baru.”
“Haha! Aku bisa bayangin gimana kalau si bontot lagi ngambek.”
“Ya gitu Jun.” Om Danu mengedikkan bahu sembari menggeleng pelan.
“Jadi gimana Om, proyek kemarin berjalan lancar?” tanyaku lagi, begitu kami sampai di ruang kerja Om Danu.
“Diundur. Mereka maunya kamu juga ikut.” Om Danu langsung mengambilkanku air putih dari dispenser yang ada di sudut ruangan dan menyerahkannya padaku yang saat ini duduk di sofa dekat meja kerja beliau.
“Oh gitu, jadi mereka maunya kapan?”
“Ikut kamu katanya. Mereka tau kalau kamu habis kecelakaan.”
“Oke. Ngomong-ngomong makasih loh, Om.”
Aku meringis, yang langsung dibalas dengan anggukan. “Santai aja. Kaya sama siapa.”
Sementara Om Danu tampak sibuk dengan beberapa berkas di meja, aku kembali berdiri dan melihat –lihat ruang kerja Om Danu. Meski aku lumayan sering kesini, tapi aku hampir tidak pernah melihat-lihat isi ruangan.
Aku berjalan ke sudut ruangan dimana terdapat beberapa foto di sana. Mataku menyipit begitu melihat ada foto yang cukup menarik perhatianku. Aku mengambil figura itu dan mengamati foto yang ada di dalamnya.
“Om, ini foto Om Danu sama Tante Rara waktu muda ya?” tanyaku sambil membawa figura itu ke meja Om Danu.
“Iya, itu waktu Om seumuran kamu kayaknya.”
“Jadi bener ya, waktu mama bilang kalau aku mirip sama Om Danu muda?” aku melihat ke foto itu sekali lagi.
“Ya gimana enggak, mama kamu itu waktu hamil hampir tiap hari ngerusuh di kantor Om.”
“Ngerusuh gimana?”
“Ya pokoknya pengennya liat wajah Om terus. Bahkan papamu sampe nggak habis pikir. Ngomong-ngomong, waktu bayi kamu itu kaya duplikat papamu. Tapi nggak tahu kok pas gedenya malah mirip Om.” Om Danu tertawa di ujung kalimatnya.
“Nggak papa, deh, Om Danu keren banget waktu muda. Tante Raranya juga cantik.”
“Papa kamu kan juga keren waktu muda. Banyak digandrungi mahasiswanya.”
“Tapi style papa bukan style-ku, Om, masih keren Om Danu.” Aku tertawa di ujung kalimat.
“Papa kamu kan dosen. Ya style dia rapi. Kemana pun dia pergi, penampilannya hampir selalu rapi.”
“Iya om. Papa mah orangnya lurus ya. Nggak neko-neko.”
“Jadi secara nggak langsung kamu bilang kalau om neko-neko, gitu?” Mendengar pertanyaan itu, seketika aku menggeleng.
“Enggak, Om. Maksudku, style Om Danu tuh lebih fleksibel aja.” Sekali lagi aku memperhatikan foto itu, dan untuk ke sekian kalinya aku akan mengakui kalau Om Danu dan Tante Rara itu memang pasangan yang serasi.
“Ini foto dimana sih om? Kok kayanya bukan di Indonesia.”
“Itu di Korea. Namsan Tower.”
“Wow! Bulan madu?”
“Berlibur sih, lebih tepatnya.” Tiba-tiba saja, aku melihat ada perubahan ekpresi pada wajah Om Danu. Ada tatapan sendu untuk beberapa saat.
Akhirnya, aku meletakkan figura itu di tempat semula. Tidak berselang lama kemudian, aku pamit pulang setelah mendapat berkas proyek, juga tiba-tiba saja Eyang menelfonku untuk segera ke rumah beliau.
***
“Duh, macet!” Aku memukul pelan kemudi karena sadaraku sudah terjebak macet. Sudah macet, udara juga sangat panas. Benar-benar sangat tidak nyaman.
Aku membuka sedikit kaca mobil dan melihat ke luar jendela. Mataku menyipit begitu melihat ada perempuan duduk melamun di pinggir jalan, dengan mata menatap kosong ke depan. Meski terdapat banyak orang di sekitarnya, perempuan itu tampak tidak peduli. Bahkan sepertinya dia tidak terusik dengan suara klakson mobil yang mulai bersahut-sahutan.
Drrt!
Ponselku tiba-tiba saja bergetar. Aku tersenyum begitu melihat nama Eyang tertera disana.
“Hallo, Eyang. Iya, Juna lagi di perjalanan menuju ke rumah Eyang, tapi ini macet. Apa? Oh iya, Eyang. Nggak papa. Iya, Juna baik-baik aja, kok. Siap Eyang.” Aku kembali meletakkan ponselku setelah panggilan terputus.
Namun, ketika aku kembali menoleh ke luar jendela, aku dibuat terkejut karena perempuan yang tadi aku lihat sedang melamun si pinggir jalan, kini sudah berdiri tepat di samping mobilku. Wajahnya tampak gusar. Aku diam saja dan menunggunya berbicara lebih dulu.
“Ada apa mbak, berdiri di situ?” tanyaku akhirnya, setelah sekian lama aku hanya melihat perempuan itu diam saja. Aku sempat melihat ke arah depan dan sepertinya belum ada tanda-tanda mobil di depanku akan jalan. Suara klakson yang tadi sangat berisik juga mulai tenang.
“Mbak? Hallo?”
“Eee iya, itu... itu...”
“Itu?”
“Mas, saya boleh pinjem hapenya?” akhirnya perempuan itu mengutarakan maksud kenapa dia terus berdiri di sebelah mobilku.
“Untuk?”
“Saya habis kecopetan, Mas. Dompet dan hape saya dibawa kabur. Saya nggak punya uang buat pulang. Saya mau menghubungi adik saya supaya jemput saya disini.” Mendengar itu, praktis aku melihat ke belakang.
“Yakin minta jemput dengan keadaan macet berat begini?”
“Saya nggak ada pilihan lain. Saya nggak kuat berjalan lebih jauh lagi.” Aku terdiam beberapa saat, mengamatai perempuan itu dari atas sampa bawah.
“Memang tadi jalan dari mana?”
“XX Mall.”
“XX Mall? Sampai sini?” Aku menganga tak percaya. Perempuan ini berarti sudah berjalan hampir lima kilo meter di bawah terik matahari yang bagitu panas.
“Boleh ya, Mas? Saya bersumpah kalau saya bukan orang jahat. Karena dompet saya kecopetan, saya cuma punya ini buat tanda pengenal.” Perempuan itu merogoh saku celananya dan memberiku sebuah kartu nama kecil yang sudah lusuh. Seperti bekas kena cuci. Aku menerima uluran kartu nama itu dan membacanya.
“Nabila Arshita Malik?”
“Itu di bawah ada nomor telfon rumah sama hape saya. Kalau saya sampai macam-macam, Masnya boleh laporin saya atau hubungin nomor rumah itu.” Melihat ekspresi perempuan itu yang begitu serius, aku yakin kalau sepertinya perempuan ini bukan orang jahat.
“Kenapa minta bantuan saya, Mbak?”
“Siapa lagi, Mas? Dari tadi saya minta bantuan, orang-orang pada pura-pura sibuk. Dan dari sekian mobil yang ada di sekitar sini, cuma mobil Masnya ini yang jendelanya dibuka. Please mas, bantu saya.” Perempuan itu menangkupkan kedua tangannya di depan wajah. Aku berpikir sejenak sebelum akhirnya mengambil ponsel dan memberikannya kepada perempuan itu.
“Makasih, mas!” Perempuan itu tampak senang dan segera menelfon seseorang. Namun belum sempat perempuan itu menyapa hallo, tiba-tiba saja, suara klakson mulai bersahutan lagi. Ternyata mobil di depanku mulai jalan.
“Duh, Mas, mobilnya udah pada jalan. Ini adik saya belum angkat telfon juga. Duh, gimna?” Perempuan itu tampak semakin panik.
Tin! Tin!
Suara klakson mulai bersahutan nggak karuan.
“Ya udah, mbaknya ikut mobil saya saja. Nanti saya turunkan di pinggir jalan kalau sudah selesai telfon,” ucapku akhirnya. Mau bagaimana lagi, aku sudah tidak tahan dengan suara klakson mobil di belakangku.
“Tapi—”
“Kalau nggak mau, cepet hape saya bawa sini. Saya mau pergi.”
“Iya deh, iya. Saya ikutan.” Perempuan itu langsung membuka pintu mobil bagian belakang.
“Depan, Mbak. Saya bukan supir.”
“Iya, maaf.” Perempuan itu berlari mengitari mobil dan duduk di sampingku. Perempuan itu meringis dan tersenyum samar. Mungkin dia merasa tidak enak karena sudah merepotkan.
“Hallo Rel, kamu dimana? Masih kuliah? Aku habis kecopetan. Hape dan dompet diambil....”
Aku tidak begitu mendengarkan apa saja yang perempuan itu bicarakan dengan adiknya. Yang aku tahu, dia langsung berterimakasih begitu menutup telfon.
“Jadi minta jemput dimana?” tanyaku setelah memasukkan ponselku ke saku celana.
“Itu, Mas, halte depan kampus.”
“Kampus setelah rumah sakit ini?”
Perempuan itu mengangguk. “Oke.”
Aku melihat ke arah rumah sakit tempat aku dirawat delapan hari terakhir. Memang, kalau dari kantor Om Danu menuju rumah Eyang, aku haru putar balik dan melewati rumah sakit ini lagi. Dan tidak jauh dari rumah sakit itu, berdiri kampus swasta yang cukup elit.
“Halte depan itu ya?” tanyaku begitu melihat ada halte di dekat gerbang kampus.
“Iya, Mas, bener. Nah yang pakai jaket jeans itu adik saya. Pokoknya makasih banyak, Mas.”
“Sama-sama.”
Aku berhenti tepat di depan anak laki-laki yang memakai jaket jeans dan tas punggung berwarna hitam. Perempuan itu keluar, dan berterimakasih sekali lagi. Dia juga sempat minta maaf karena sudah merepotkan. Aku mengangguk sambil tersenyum tipis sebagai jawaban, sebelum akhirnya pergi dari hadapan mereka.
Oh iya, sekedar informasi saja, perempuan itu cantik. Cantik sekali. Siapa tadi, namanya? Nabila, bukan?
***