"Berhenti menjerit. Kau ini. Seakan di mulutmu itu terpasang pengeras suara. Berisik!"
Caleb masih berdiri menjulang di hadapan gadis itu. Sangat dekat hingga gadis itu menelan ludahnya dengan suara yang sangat jelas.
"Tunjukkan." Caleb berbisik.
Gadis itu menggeleng. Matanya bahkan masih terpaku pada d**a Caleb yang begitu dekat dengannya. Juga pada perutnya. Juga bulu halus...dan...
Caleb berdeham, membuat gadis itu sontak mendongak. Matanya mengerjap lucu. Bi Nengah bahkan sudah menyeka wajahnya dengan air hangat hingga Caleb dapat melihat tampilan sesungguhnya gadis itu. Kulit wajah yang terang. Alis hitam lebat alami. Kelopak mata besar dengan bulu mata yang tak terlalu lentik. Hidung gadis itu khas gadis Indonesia umumnya. Tak pesek juga tak terlalu mancung. Rambut gadis itu hitam ke coklatan, lurus dan panjang. Kontur nya jatuh, mengkilap dan terlihat lembut. Dan...jerawat kecil menghiasi dagu nya. Caleb tertawa dalam hati...
"Tidurlah dan segera pulang sebelum aku bangun nanti." Caleb berbalik sesaat setelah menyentil hidung gadis yang terbengong di hadapannya itu. Gadis itu mengerjap. Menatap Caleb yang dengan santai memakai outfit--nya dan melenggang keluar dari dalam kamar.
"Keren." Gadis itu mendesis dan limbung. Dia berjalan sempoyongan ke ranjang dan merebahkan tubuhnya. Dia mengantuk dan...lapar. Kombinasi keadaan yang membuatnya tak akan bisa tidur. Tapi, dia menahannya. Rasanya malu kalau harus meminta makan juga pada pria tampan itu sementara dia sudah menyelamatkannya dari jalanan. Alhasil gadis itu tidur dengan membolak-balikkan badan dengan gelisah hingga pagi menjelang. Dan dia tak pernah benar-benar bisa terlelap.
Kokok ayam jantan di kejauhan juga anjing yang menyalak bersahutan membuat gadis itu bangun dan beranjak dari posisi tidurnya. Sejenak dia mengucek matanya, menguap dan akhirnya menggerakkan badannya agar sedikit rileks.
Gadis itu turun dari ranjang menuju kamar mandi. Sejenak termangu dan akhirnya memutuskan untuk menyiapkan air untuk berendam. Satu keputusan yang bahkan tak di setujui oleh hatinya karena terlihat sangat lancang, tapi sungguh. Dia merasa sangat pegal dan sedikit kotor. Gadis itu membuka seluruh bajunya dan setelahnya masuk ke dalam bathtub. Bersandar pada kepala bathtub akhirnya gadis itu memejamkan matanya. Menikmati sensasi hangat yang merasuk dalam porinya dan wangi aroma therapy yang membuatnya menjadi rileks.
Suara deheman membuat gadis itu sontak membuka mata dan berpikir, berapa lama dia sudah berendam? Dan...matanya menangkap sosok pria penolongnya berdiri tegak sambil bersedekap di sampingnya. Reflek gadis itu mengangkat tubuhnya. Sejenak dia merasa pria yang tengah menatapnya dengan kesal itu terkesiap. Bahkan pria itu tak mengalihkan pandangan matanya dari...dadanya! Gadis itu menurunkan lagi tubuhnya. Membawa tubuhnya terutama dadanya yang sempat mencuat kembali tertutup busa sabun. Pria itu masih terdiam namun akhirnya melangkah menuju jendela dan menyibak tirainya. Gadis itu menoleh dan mengerjapkan matanya, sedikit terkesiap dengan pemandangan di luar. Sangat indah, tapi...bukan itu fokus utamanya. Fokusnya tertuju pada...betapa sudah teriknya hari ini!
Pria itu berbalik lagi. "Selesaikan mandimu cepat dan pulanglah ke rumahmu segera." Ucapannya terdengar lebih dingin. Gadis itu mendengus pelan. Baiklah dia salah, tapi apakah harus sedingin itu nada bicara pria itu padanya? Gadis itu menatap punggung bidang milik pria yang telah menolongnya itu melangkah keluar dari kamar mandi dan menutup pintu. Secepat kilat gadis itu mandi dengan benar dan memakai bajunya...yang ternyata bukan baju yang dia pakai kemarin.
Gadis itu mengendap keluar dari kamar setelah menyambar tas selempang nya yang ada di atas nakas. Sejenak dia sedikit bingung dengan rumah berlantai dua yang sangat luas ini. Perlahan dia menuruni tangga dan akhirnya bertemu dengan ruangan yang dia pikir adalah ruang tamu. Gadis itu berjalan dengan setengah merunduk. Dia memandangi ruangan dan dengan cepat mengagumi interior serta pemilihan warna pada ruangan ini. Hitam dan abu-abu. Dengan sedikit nuansa cokelat kayu. Semua warna favorit nya. Gelap. Terasa dingin dan...mewakili perasaannya.
Gadis itu melangkah lagi dan membuka pintu penghubung. Ternyata sebuah dapur dan ruang makan dengan nuansa sama. Abu-abu dan cokelat kayu.
Gadis itu melirik meja makan dan menelan ludahnya. Semangkok besar nasi, sup ayam, ayam goreng dan sepiring penuh tumis brokoli dengan udang menyapa indera penglihatannya yang langsung membuat koneksi tak terbantah dengan lambungnya.
Sumpah....dia sangat lapar!
Bahu gadis itu luruh dan dia hampir saja menangis mengingat betapa dia tidak makan sejak kemarin sore. Dia baru saja hendak berbalik ketika seseorang menyapanya.
"Non, sudah bangun? Sudah mandi?"
Gadis itu menoleh. Mendapati wanita separuh baya dengan wajah ramah tersenyum padanya. Wanita itu menariknya pelan. Melintas ruang tamu menuju sebuah kamar. Dia hanya bisa mengikuti.
"Sebaiknya ganti baju dulu. Baju Non yang kemarin sudah saya cuci. Besok biar dikirim ke rumah. Sekarang pakai baju Non Summer dulu." Gadis itu terlihat bingung namun memilih menurut pada wanita itu. Dia menatap sekeliling. Ternyata ini ruang khusus baju, sepatu dan aksesoris.
"Panggil saya Bi Nengah." Wanita paruh baya itu membuka salah satu lemari dan memilih sejenak sebelum akhirnya mengambil gaun terusan berwarna peach dan mengulurkannya pada gadis itu. Bahkan Bi Nengah mengeluarkan dalaman berupa bra dan celana dalam baru dari sebuah laci.
"Aku Amelia, Bi." Gadis itu bersuara.
"Amelia. Nama yang cantik. Secantik orangnya."
Amelia, gadis itu tersipu. Melepas baju yang dipakainya dan menggantinya dengan baju yang diberikan oleh Bi Nengah.
"Nah, kan lebih cantik seperti ini. Ayo, sekarang makan dulu. Tuan muda...ah namanya Caleb Leandro. Menyuruh Bibi mengurusmu dengan baik."
Amelia mematung. Perutnya kembali terasa lapar saat Bi Nengah menyebutkan kata makan. Mereka kembali ke ruang makan dan Bi Nengah menarik sebuah kursi, mempersilahkan Amelia duduk. Amelia duduk dengan canggung. Tapi...dia lapar. Sungguh! Bi Nengah menuju dapur dan kembali ke meja makan dengan membawa seteko air. Dia membalikkan piring di depan Amelia dan menyendokkan nasi dengan porsi banyak. Mengambil sepotong ayam goreng dan menyendok tumis brokoli.
"Ayo, dimakan." Bi Nengah melangkah kembali ke dapur. Kembali dengan semangkok...entah lah apa namanya. Macam-macam buah dijadikan satu. Semacam salad buah tapi ini terlihat di hancurkan.
Bi Nengah meletakkannya di ujung meja. Amelia merasa heran sebab Bi Nengah bahkan tidak memakannya. Malah dia duduk di sisi lain meja, persis menghadap ke Amelia yang sedang menyuap nasi nya dengan canggung.
"Bagaimana, enak?"
Amelia mengangguk. Masakan Bi Nengah sangat enak dan bersih. Baru saja Amelia akan membuka mulut, ketika sebuah deheman terdengar dan terlihat pria dingin itu melesakkan b****g nya yang menurut Amelia sangat seksi itu ke kursi makan.
"Tuan muda mau sayur bayam nya sekarang?" Pria itu menggeleng. Lalu mulai membuka koran paginya. Tangan kanannya mulai menyuapkan buah-buahan ke mulutnya.
"Siapa namamu?" Pria itu mendongak dan bertanya kepada Amelia. Amelia tersentak. Menelan nasi nya cepat dan membasahi bibirnya dengan sapuan lidahnya gugup.
"Amelia, Sir. Terima kasih sudah mengijinkan saya makan." Pria itu yang kata Bi Nengah bernama Caleb Leandro menghela napasnya pelan.
"Aku hanya tidak mau dibilang kejam. Bahkan suara cacing dalam perutmu itu terdengar hingga keluar kamar ku." Bi Nengah tertawa dan Amelia kembali membasahi bibirnya yang sukses membuat Caleb kembali merutuk dalam hati. Bibir gadis bernama Amelia itu...
Amelia menyelesaikan makannya dan membantu Bi Nengah membereskan meja makan. Setidaknya dia merasa dia harus berbuat baik demi berterima kasih. Amelia kembali ke ruang makan dan berdiri canggung untuk berpamitan.
"Hmm..Sir. Saya mohon pamit. Terima kasih sudah menolong saya. Dan..." Caleb melipat koran paginya dan mendorong mangkuk bekas buahnya yang segera dibawa Bi Nengah ke dapur. Lalu terdengar suara piring di cuci dan air menyala. Caleb menatap Amelia tajam. Amelia balas menatapnya namun segera menunduk saat mendapati mata Caleb yang sehitam malam menatapnya begitu tajam.
"Pulang dengan resiko, pria bernama Johan itu menyiksamu lagi? Menyuruhmu bekerja tanpa henti, tanpa makan dan kau akan terkapar tak bernyawa di jalanan dalam waktu dekat?" Amelia tersentak. Bagaimana mungkin Caleb Leandro mengetahui semuanya? Hidupnya...Amelia menoleh. Seorang pria dengan postur tubuh tegap melangkah masuk menghampiri Caleb. Menyerahkan sebuah map merah dan melangkah lagi keluar ruang makan. Suasana mencekam. Setidaknya untuk Amelia. Siapa pria bernama Caleb Leandro ini? Apa jabatan atau pekerjaannya hingga dia mempunyai power begitu kuat dan dalam semalam mampu mengetahui siapa dirinya?
"Amelia Winter Nismara. Dua puluh satu tahun. Lulusan Universitas Udayana jurusan Ilmu Komunikasi. Putri dari pasangan almarhum Aldirch Winter dan almarhum Ida Ayu Devi Pertiwi. Pernah bekerja di sebuah perusahaan pertelevisian dan keluar untuk sebab yang aku ketahui..." Sejenak Caleb menghentikan bacaannya di lembar kertas dalam map yang baru saja diterimanya. Amelia bergidik ngeri saat Caleb kembali menatapnya.
"Lalu bekerja menjadi penyanyi dari kafe ke kafe...untuk sebab yang juga aku ketahui..."
Amelia mulai merasa mual dan berkunang-kunang. Caleb mulai meneruskan bacaannya. Lengkap bahkan hingga ke ukuran baju, sepatu dan....dalaman! Amelia mendongak. Menatap Caleb dengan pandangan ngeri yang teramat sangat. Pria ini...sangat kuat dan berkuasa.
"Jadi...kau masih ingin pulang? Dengan resiko kau dikejar penagih hutang dan...terkapar tak bernyawa di jalanan dalam beberapa hari lagi?" Amelia terdiam. Matanya mengerjap tak percaya.
"Kau...mengerikan." Amelia berbisik lirih.
"Masuk ke kamar sekarang." Suara Caleb terdengar sangat dingin dan serius.
"Tapi aku..." Amelia tersentak saat Caleb berdiri dan menarik lengannya lembut menuju ruang tamu. Amelia mengerjap. Di ruang tamu sudah ada tiga orang berperawakan besar dengan wajah yang terlihat sangar. Amelia hafal siapa mereka. Juga pria yang tadi menyerahkan map kepada Caleb. Dia juga ada di ruang tamu itu sambil bawa amplop coklat yang sangat tebal.
"Masuk ke kamar atau kau memilih berakhir ditangan mereka?" Amelia beringsut. Bersembunyi di balik badan Caleb yang bersedekap.
"Terima kasih atas kerjasama nya Tuan. Sekarang hutang gadis itu lunas. Kami akan melepaskannya". Pria bertato bunga di lengan kanannya berujar sambil mengangguk. Pria pengantar map menyerahkan amplop tebal di tangannya kepada pria bertato itu. Caleb balas mengangguk dan ketiga pria itu keluar diantar pria pembawa map. Caleb berbalik membuat Amelia tersentak. Tangannya terlepas dari pinggang kemeja Caleb yang sedari tadi dipegangnya.
"Bagaimana bisa?" Suara Amelia mencicit.
"Lima ratus juta untuk hutang almarhum Ayahmu. Cukupkah itu membuatmu menurut perkataanku dan masuk ke kamar yang kau tempati semalam?"
"Iya...ta...tapi...kenapa?" Amelia tergagap. Caleb meraih pinggang Amelia dan mendaratkan bibirnya di bibir Amelia. Mata gadis itu jelas terbelalak hingga Caleb mengusap nya dan membuatnya terpejam. Bibir hangat Caleb bergerak, menyentak kesadaran Amelia yang terpaku karena kaget.
"Istirahatlah. Kita bicara lagi nanti." Caleb melepaskan ciuman nya. Melepaskan pelukan nya dan Amelia melangkah dengan pikiran kosong sambil menautkan jemari tangannya gelisah, menaiki tangga menuju kamar Caleb yang ditempatinya semalam. Di ujung tangga Amelia berhenti. Mengusap bibirnya bingung dan menoleh ke bawah. Caleb masih berdiri di sana. Memasukkan kedua tangannya di saku celananya. Pemandangan terindah yang pernah Amelia lihat seumur dia hidup.
Dan rasanya Amelia ingin...menjerit!
---------------------------------