13. Pinjaman Dari Himsa.

1584 Kata
"Mami, celana sekolah Andi sobek. Tadi waktu main perosotan di sekolah. Temen andi narik celana andi, karena mau jatuh. Jadinya celana Andi rusak. Maafin andi ya?" Bocah berumur lima tahun itu terlihat merasa bersalah. Tatapan polosnya mengundang sang Mamah untuk mengusap puncak kepalanya penuh sayang. "Enggak apa apa sayang. Nanti mamah coba jahit ya?" ujar Jani lembut. "Tapi mami enggak marah kan sama Andi?" Jani perlahan mendorong tubuh mungil itu dan menatapnya lembut. Membingkai kedua sisi wajahnya dengan penuh sayang. "Enggak dong, sayang. Kan bisa mami jait lagi." "Tapi sobeknya panjang. Nanti Mami capek kalau harus jaitin malam malam. Kan Mami baru pulang kerja?" sangat pengertian sekali putranya ini. Membuat kedua matanya terasa hangat. Bagaimana bisa Fajar meninggalkan anak sehebat Andi. "Enggak apa apa sayang. Kamu punya PR enggak?" Anjani akhir akhir ini sibuk sekali. Ia jadi jarang mengecek buku sekolahnya Andi. Meski masih TK, biasanya ada pekerjaan rumah yang diberikan Guru untuknya. Seperti menggambar dan menghapalkan doa. "Ada, mih. Andi harus hapalin doa makan sama doa tidur. " celoteh Andi. "Kalau gitu dihapalin ya. Nanti kalau udah hapal, coba nanti Mami Tes ya?" "Siap, Mami. Kalau gitu, Andi ke kamar dulu, ya. Andi mau hapalin." putra sulungnya itu pergi ke kamar satu satunya, yang di tempati mereka bertiga. Anjani menghela napas lega. ia melihat putranya bungsungnya yang saat ini masih tertidur di ayunan bayi. Mendekat dan mengusap keningnya lembut, lalu diciumnya bersamaan dengan kedua matanya yang tiba tiba basah. Anjani ikhlas ini terjadi, ia sudah tidak mengharapkan Fajar untuk kembali lagi padanya. Tapi melihat Katar yang selalu menantikan papahnya, dengan menatap ke arah pintu, seolah bayi kecil itu sedang merindukan sesosoknya. Seolah Katar sudah terbiasa kalau sang Papah akan pulang lalu memeluknya. Seolah Katar rindu akan peluk dan cium papahnya. Seolah .... Anjani memejamkan erat kedua matanya menahan air mata yang semakin kerap berjatuhan. Menghela napas berkali kali agar bisa menahan segala sesaknya. Masih terlelap rasa sesak di d**a, Anjani di kagetkan oleh sebuah panggilan telpon. Lalu perempuan itu pun mengangkatnya. "Halo!" "Nak, mamah kamu pingsan! Papah enggak tahu harus gimana? ke sini, Nak!" "Iya, Pah. Nanti Jani ke sana!" perempuan itu segera menutup ponselnya. Namun bagaimana dengan kedua anaknya. Apakah ia akan membawa kedua putranya ke rumah sakit? Anjani tidak punya siapapun di sana selain kedua orang tuanya itu. Dia tidak mungkin menitipkan kedua putranya pada tetangga atau pun pemilik kontrakannya. Alhasil, membawa kedua putranya itu adalah pilihan terakhir. Ia segera menggendong Katar, dan mengajak Andi pergi ke rumah orang tuanya. Sampai di sana Mamahnya Anjani masih tidak sadarkan diri. Anjani meletakan Katar di atas stroller, kemudian mengambil kayu putih, lalu di oleskan sedikit ke hidung mamahnya itu. Namun tetap saja, Mamahnya Anjani masih juga belum sadar. Lalu pada akhirnya Jani dan Ayah sambungnya membawa ibunya itu ke rumah sakit. "Mami Andi ngantuk banget. Kita mau ke mana?" Andi bertanya dengan mengusap kedua matanya yang berair karena mengantuk. Anjani mengusap puncak kepalanya lembut penuh kasih. "Nenek sakit, kita ke rumah sakit ya. Sebentar lagi ambulan datang." Andi terlihat mengangguk dengan tatapan sayu kantuknya. Jani juga menatap pada Katar yang terlelap di gendongannya. "Jani ada apa?" Tiba tiba Ali datang, karena melihat ambulan menepi di pekarangannya rumah Mamahnya Jani. "Mamah pingsan, dan masih belum sadar." jawab Jani, perempuan itu terlihat panik. Ali melihat Katar dan Andi dengan iba. Katar terlihat lelap dan sepertinya tidak baik kalau bayi itu harus ikut ke rumah sakit. "Kamu mau bawa mereka berdua ke rumah sakit?" Pertanyaan Ali menghadirkan anggukan pelan dari Jani. "Iya, kan mana mungkin aku tinggalin mereka juga. Andi pasti nanti nyariin aku, dan Katar pasti nangis kalau enggak liat aku kan?" "Bagaimana kalau Andi di titipkan di rumah aku saja? kasian dia butuh istirahat." Ali berkata lagi. "Tapi nanti dia repotin, Bang Ali." Andi itu sangat aktif dan suka memegang apapun yang ia liat dan memainkannya. "Enggak apa apa. Emak sama Abah pasti suka, dia di rumah. Emak sudah lama merindukan anak kecil. Kamu tahu kan kalau anak emak sama abah cuma aku aja?" kedua orang tuanya sangat senang kalau melihat anak kecil tetangga. Mereka akan bermain dan memberikannya jajan. "Terima kasih, Bang ali. Kalau gitu, saya titip Andi ya? karena kalau Katar enggak mungkin saya tingggal." Lalu Anjani menatap sang putra. "Andi enggak apa apa ya mami tinggal di rumahnya Bang ali? Andi bubu saja di sana, nanti mami jemput kalau udah pulang dari rumah sakit?" "Iya, Mami. Mami hati hati ya?" ujarnya dengan memeluk mamahnya manja. Andi ini sangat penurut, dan Jani amat bersyukur memilikinya. "Ya, udah. Kamu ikut bang Ali ya? Mami sama kakek ke rumah sakit dulu." Jani beralih menatap Ali. "Bang, titip ya?" ujarnya. "Iya, kamu hati hati ya. Kalau butuh bantuan aku, segera telpon aku ya?" ujarnya. *** Dokter melakukan pemeriksaan dengan ketat, di dalam ruang UDG sana. Sementara Jani mengusap dan memberikan Katar asi, karena bayi kecilnya itu mulai rewel, mungkin tidak nyaman dengan suasana di rumah sakit. "Jani, mending kamu pulang aja. Kasihan Katar, dia kayanya enggak betah di sini." ujar Papah sambungnya. "Tapi Jani mau nunggu kabar dari Dokter dulu, Pah." "Nanti papah kabarin." "Enggak, Pah. Jani mau nunggu dulu di sini." Jani pun duduk, karena Katar sudah kembali tidur di gendongannya. Setengah jam kemudian, Dokter keluar. "Keluarganya Bu Remi!" "Saya Dok!" Jani mendekat. "Begini, Mbak. Pasien mengalami penyumbatan jantung, dan kami harus segera melakukan operasi. Jadi silahkan untuk segera menandatangani surat ini dan memgurusnya ke bagian andministrasi!" Jani melihat onformed konsen dengan tangannya yang bergetar. Melihat biaya yang tertera di sana. Di mana Jani harus mendapatkan uang sebanyak itu. "Pah, liat ini." Anjani memperlihatkan surat persetujuan operasi itu. Seperti Jani, Papahnya pun sama. Ia terlihat mematung dengan seretan angka yang banyak itu. "Papah hanya punya setengahnya Nak. Papah enggak tahu harus nyari ke mana setengahnya lagi." Saat suasana membingungkan itu, tiba tiba Anjani melihat mantan suami dan istrinya baru dua minggu lalu menikah. Lelaki itu melihatnya, dan menghampiri. "Jani, kamu di sini?" tanya nya. "Iya, Mas. Ibu mau operasi." jawab Jani. "Loh, memangnya ibu kenapa?" "Ibu mengalami penyempitan jantung. Mas boleh enggak Jani pinjam uang buat nambahin mamah operasi, Mas. Jani bener bener butuh." Fajar terlihat menatap istrinya untuk meminta persetujuan. "Bagaimana Indira, apa boleh Mas pinjamkan uang pada Jani?" istrinya Fajar terlihat menghela napas. "Mas, kita ini mau punya anak. Dan perutku lagi sakit. Kita juga butuh uang loh." "Tapi tabungan kita lagi cukup, sayang." "Enggak! aku enggak mau! Jani bukan lagi istri kamu! Kalau aku enggak ijinin, ya udah, enggak usah!" Indira segera menarik tangannya Fajar untuk menjauh. Jangan sampai mantan istrinya kembali menggoda miliknya. Indira harus hati hati. Apalagi saat ini ia sedang hamil dua bulan. Ya, Indira dan Fajar melakukan hubungan terlarang itu, bahkan sebelum mereka menikah. Jani hanya bisa menghela napas futus asa. Bagaimana kalau ia tidak bisa memberikan perawatan yang terbaik untuk Mamahnya. Lalu terdengar tangisan Katar, mungkin bayinya itu merasakan kehadiran sang ayah. Jani kembali mengusapnya penuh sayang, ia berusaha menenangkan putra bungsunya itu. Namun entah kenapa Katar sepertinya tidak mau diam. Sampai langkah seseorang yang hendak keluar dari rumah sakit itu terhenti. "Jani?" lelaki itu mendekat. "Katar kenapa? kamu sedang apa di sini?" tanya nya beruntun. "Pak, Himsa? Mamah saya sakit, mamah butuh operasi secepatnya. Tapi saya ada kendala dananya. Pak, apa boleh saya pinjam uang? nanti bayarnya dipotong gajih saya saja. Pak, saya mohon, saya enggak punya cara lain lagi." Himsa terlihat menatap bayi yang menangis itu, juga Jani yang terlihat kacau. Wajah cantiknya terlihat pucat. Lalu rambutnya juga tidak beraturan. Himsa sungguh tidak tega melihat. "Baiklah. Saya ke bagian administrasi sekarang." "Pak, bapak tidak usah bayar semuanya. Saya punya setengahnya." Anjani memperlihatkan kartu miliknya. "Tidak apa apa Jani. Uang yang ada, kamu simpan saja. Dibayar dalam satu kartu lebih cepat kan?" Himsa hanya ingin membantunya agar lebih cepat diproses saja. Tidak lebih. "Baik, Pak. Terima kasih sekali. Pokoknya setiap bulannya gajih saya dipotong saja, ya Pak." Himsa mengangguk pelan. "Baiklah, Jani. Itu gampang sekali. Kalau gitu, sini surat suratnya. Biar saya segera ke administrasi." Jani memberikan lembaran itu pada Himsa. Sepeninggal Himsa, Jani kembali duduk sambil mengusap putra bungsunya. Dia terjaga dan menatap padanya dengan begitu polos. "Kenapa kamu bangun sayang?" tanya nya, dan Jani hanya mendapatkan balasan tatapan polos itu saja. Lalu tiba tiba seorang perempuan mendekat dan berdiri di depannya. "Kamu jangan coba coba merayu suami orang, Jani!" Jani menatap orang itu dengan tidak habis pikir. Indira terlihat begitu ketakutan saat melihatnya. "Maksud kamu apa?" tanya Jani. "Kamu jangan meminta bantuan apapun pada suami saya. Karena kamu sendiri kan yang mau cerai!?" Jani mau menjawab, namun Katar tiba tiba menangis. Jani menenangkannya. Dan bersamaan dengan itu Fajar datang. "Katar kenapa?" ia cemas dan hendak menggendong putra bungsunya itu. Namun Indira menariknya. Sehingga Katar yang awalnya mau berhenti menangis pun kembali histeris. Sepertinya bayi itu merindukan ayahnya. "Kita pulang, Mas!" perintah Indira. Fajar tidak berdaya, ia hanya bisa menatap Katar yang sedang histeris itu. Ia sungguh ingin menggendongnya. Anjani merasa tidak tahan dengan tangisan putranya itu. Hingga ia memilih membawa putranya itu menjauh dari Fajar dan istrinya. Dan kebetulan sekali bertemu dengan Himsa yang baru kembali dari bagian administrasi. Pria itu melihat Katar dengan lembut. "Wah, nangis terus. Sini, om gendong." Himsa dengan lembut menggendong Katar. "Cup, cup, cup. Katarkan jagoan. Katar enggak boleh nakal." terus menenangkan bayi itu, membuat Anjani mematung di tempatnya. Entah kenapa perasaannya jadi campur aduk. Ia melirik Fajar yang pergi menggandeng Indira, lalu kembali menatap Himsa yang berusaha menenangkan putranya dengan lembut. Hatinya patah dan menghangat dalam waktu yang bersamaan. Jani tersenyum seraya mengusap kedua matanya yang basah.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN