3. Pergi

1016 Kata
"Kamu kan udah bisa nyari uang sendiri! cobalah bantu suami kamu bayarin kuliah! Masa itu saja kamu enggak bisa. Kalau suami kamu selesai kuliah. Yang untung kan kamu juga. Bukan ibu. Ibumah udah tua, palingan itu pergi duluan dari kalian!" Mertuaku berkata. Seperti biasa dia akan menceramahiku. Menyuruhku untuk membantu membayar kuliahnya Mas Fajar. Sungguh sama sekali tidak memikirkan kedua anaku. Katar dan Andi semuanya adalah tanggung jawabnya Mas Fajar. Namun setelah dia kuliah, Mas Fajar seolah lupa dengan semua tanggung jawabnya itu. Dia bahkan sudah tidak lagi makan di rumah. Datang hanya ganti baju, lalu kembali pergi. Aku mulai berpikir, apakah dia masih mengakui kami adalah keluarganya? "Kamu denger Mamah enggak Anjani?" tanya mamah mertua dengan nada memaksa. "Mamah pikir gajih Anjani besar ya? sehingga Mamah bisa berkata kaya gitu? atau Mamah lupa ya, kalau katar dan andi juga perlu makan dan jajan. Listrik, gas, sama kebutuhan lainnya. Siapa yang tanggung jawab? Mamah? iya, Mamah mau tanggung jawab?" Maaf, bukannya aku tidak sopan. Aku hanya merasa jengah dan lelah. Tidak ada yang membelaku sama sekali. Mamah mertua hanya memerhatikan anaknya saja. Tapi dia lupa, padaku dan kedua cucunya. "Mah, Andi dan Katar itu tanggung jawabnya Mas Fajar. Tapi setelah ia mulai kuliah. Ia bahkan sudah tidak lagi memerhatikan kami. Aku bingung sama pikiran Mamah dan Mas Fajar. Aturan kalau memang masih mau kuliah. Kenapa Mas Fajar dulu melamarku. Kenapa enggak kuliah aja dulu? kenapa sekarang setelah punya anak, dia kekeh mau kuliah?" "Itu karena kamu yang maksa Fajar buat nikahin dia, iyakan? kamu sih, makanya kalau jadi perempuan udah ngerasa harus nikah. Kamu jangan maksa anak orang buat nikahin kamu dong! Kamu cari laki laki yang lain, yang mau nikahin kamu. Atau jangan jangan Andi bukan anaknya Fajar ya! Kamu hamil anak dari laki laki lain. Dan karena laki laki itu enggak tanggung jawab. Sehingga kamu maksa fajar buat nikahin kamu! iyakan?" Astagfirullah! Aku terdiam dibuatnya. Aku sungguh tidak habis pikir Mamah akan mengatakan ini. Dituduh seperti ini rasanya sakit sekali. Apalagi yang nuduh adalah mertua sendiri. "Kalian ini buru buru nikah, seolah kamu udah hamil duluan! kenapa sih enggak kaya kobar, dia kuliah dulu sampe S2, dan sekarang dia sukses. Yang enak siapa? istrinya lah! bukan Mamah." Mamah mulai membandingkan Mas Fajar dengan Kobar Adiknya. "Dia sama Jonah dua sepasang serasi. Jonah jadi Guru, dan Kobar kerja di kantor. Kobar sudah punya motor besar, dan banyak kontrakan di kota. Lah, kalian apa? kamu hanya di rumah dengan pengahasilan sedikit juga malah sombong! Dan Fajar hanya pegawai buruh yang melelahkan. Apa kamu tega lihat dia kepanasan setiap hari! kehujanan setiap hari! Kamu tega sekali ya nyiksa anak saya! hanya gara gara harus nikah sama kamu. Mamah nyesel nikahin kalian berdua! Kamu istri yang susah rizkinya!" Aku kembali terdiam dengan hatiku yang semakin gondok sekali. Mau melawan malah kesannya jadi menantu durhaka. Biarkan saja dia puas hina aku. "Dari pada kamu terus terusan nyiksa anak Saya! mending kamu pergi dan bawa kedua anak kamu itu! Tinggalkan rumah ini. Kalian di sini hanya membuat anak saya lelah saja!" luruh lah air mata ini. Sakitnya bukan kepalang. Dia bahkan sama sekali tidak peduli pada kedua cucunya. Tuhan.... aku sudah tidak kuat lagi. Aku pun segera masuk ke dalam kamar, karena Katar tiba tiba menangis. "Kamu kenapa sayang?" ku usap pelan penuh sayang. Bayiku mencari makanannya di dadaku. Lalu aku pun memberikannya dengan air mata yang terus saja berjatuhan. "Mamih, kenapa menangis?" Andi bertanya. Putra sulungku sepertinya pulang dari TK. Karena dekat, aku tidak mengantar jemputnya. Aku menggeleng dan mengusap kepalanya. "Enggak apa apa sayang. Andi makan yaa. Mamah udah siapin di meja." ujarku. "Iya, Mah." dia hendak pergi. Namun dia kembali menoleh padaku. "Mamih, tadi Andi mau salim ke Nenek tapi Nenek enggak mau. Kenapa ya Mamih?" dia bertanya dengan nada yang begitu sedih. Aku pun tidak bisa menjawab itu. Ku peluk dia dan ku cium keningnya. "Enggak kenapa napa sayang. Enggak usah di pikirin. Mending kamu makan yaaa. Nanti setelah makan kita jalan jalan ya ..., Aa mau kan?" Dia mengangguk lembut. "Mau Mah. Ya udah, Andi makan dulu ya Mah." Kemudian putra sulungku itu pun pergi ke dapur. Aku sudah menyiapkan makan siang untuknya di meja. Sehingga dia hanya tinggal makan saja. Katar kembali tidur. Dan aku mulai menyiapkan semua pakaian kedua anaku. Ku masukan ke dalam koper besar miliku. Aku bawa semua pakaian katar dan Andi. Kebetulan keduanya memang tidak terlalu memiliki banyak baju. Maklum, aku hanya membelikannya disaat aku gajihan saja. Sedangkan suamiku malah sibuk dengan kuliah dan perempuannya itu. Ah, sudahlah. Aku tidak perlu lagi memikirkannya. Aku akan pergi ke sebuah kontrakan yang dekat dengan Mamahku. Aku tidak mau satu rumah dengan Mamahku. Aku tidak mau merepotkannya. Aku masih bisa mengurus kedua anaku. Karena pekerjaan ku sebagai penulis hanya perlu nulis di rumah saja. Tanpa harus keluar. "Kita mau ke mana Mah?" tanya Andi. Aku berjongkok dan menatap wajahnya yang imut. Ah, anaku. Mamah akan melakukan apapun untuk melindungi kalian berdua. Tidak terasa air mata ini luruh lagi. "Sayang. Kita pindah ke rumah deket Nenek ya?" "Mamahnya Mamah?" "Iya sayang." "Kenapa?" "Karena rumah ini bukan milik kita lagi." "Lalu Papah?" dia terlihat cemas. Sehingga ku harus menahan rasa sesak ini sekuat mungkin. "Papah pasti nyusul nanti yaa. " Dia mengangguk. "Asik, berarti Andi bakal sering ketemu sama Mamahnya Mamah ya!" dia terlihat begitu girang. "Iya sayang. Yuk kopernya di dorong keluar yaa. Mamah udah pesan taksi." Lalu putra sulungku itu mendorong koper miliknya. Sedangkan aku menggendong Katar dengan sangat hati hati, karena ia sedang tidur. Lalu aku pun membawa koper besar miliku dan Katar. Sebelum pergi, ku tatap sekali lagi kamar ku ini. Kamar saksi bisu atas lahirnya kedua putraku di sini. Mas Fajar tidak mau membawaku ke rumah sakit. Dengan alasan agar bayarannya tidak mahal. Padahal setiap lahiran pun, aku yang selalu mengeluarkan uang. Dia hanya terlihat sok perhatian dengan sikap lembutnya. Yang ternyata dia hanya mengincar uangku saja. Dia benar benar jahat dan tidak punya hati. Ku tutup pintu kamar ini dengan isakan pelan tertahan. Sakit sekali karena harus meninggalkan rumah ini. Tolong Tuhan aku tidak kuat dengan rasa sakit ini.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN