Meski fokus dengan kemudinya, Morgam juga sempat berpikir lain saat dia melihat wajah Raya dengan jarak yang sangat dekat tadi. Apalagi bulu mata dannjuga bibir Raya, nampak jelas di hadapannya. Morgan merutuki pikirannya dan tetap fokus dengan kemudinya.
Seorang pria tanpa wanita selama bertahun-tahun seperti dirinya, memang kerap tidak lagi ingin mengerti tentang seorang wanita. Tapi tidak dengan seorang Raya, gadis di sampingnya memiliki daya tarik sendiri untuknya dan Morgan belum menyadari akan hal itu.
Sepanjang perjalanan tidak ada perbincangan, tapi mereka seakan mengerti satu sama lain. Ketika Raya berharap berhenti di tempat yang tidak terlihat oleh orang lain, terutama teman satu pekerjaannya. Dia menoleh menyukai Morgan yang paham akan situasinya.
"Aku akan mengurusnya! Kau cukup fokus dengan pekerjaanmu!" tegas Morgan.
"Ya, aku percaya padamu Tuan. Kalau begitu aku turun, dan terimakasih," angguk Raya.
Meski tidak ada jawaban dari Morgan, Raya tersenyum dan keluar dari mobil tidak jauh dari perusahaan. Berjalan kaki sebentar saja, Raya sudah bisa sampai di perusahaan.
"Kau temui aku di tempat yang sama saat aku menurunkanmu!" seru Morgam pergi begitu saja tanpa mencoba menunggu jawaban Raya.
"Apa-apaan pria ini, kenapa dia terus-terusan memerintahku?" geeutu Raya.
Raya menghampiri Nadira yang sedang mengcopy berkas tidak jauh dari ruang kerjanya.
"Ra, kamu ...."
Nadira menghentikan ucapannya saat melihat dan menyapa Morgan yang lewat bersama dengan sekretarisnya.
Raya mengangkat sebelah alisnya, dia mengangguk, tahu bagaimana cara Morgan bersikap biasa saja meski bertemu di luar kebersamaan mereka.
"Kenapa?" tanya Nadira.
"Entah, aku sampe lupa mau bicara apa," jawab Raya.
"Itu dialogku, Ra!" seru Nadira.
"Ya, memang aku sedang mengatakan isi kepalamu," angguk Raya.
Raya pergi setelah berbicara kepada Nadira yang terdiam penuh tanda tanya. Saat mendapati Raya mengejek dirinya hingga dia menyelesaikan pekerjaannya dan berjalan mengikuti kemana Raya pergi dan masuk ke dalam ruangan bekerja bersama-sama.
"Ra, aku mau bertanya kepadamu tentang kebenaran dari sesuatu?" tanya Nadira.
"Kebenaran apalagi, tentang aku memiliki seorang anak?" balas Raya.
Nadira tertegun, dia tidak tahu harus berbicara apa lagi namun tidak memungkiri bahwa semua orang sudah tahu tentang hal itu.
"Dia memang putriku dan aku tidak akan memungkirinya. Memangnya apa salahnya memiliki seorang putri cantik seperti dia," jelas Ra.
"Aku tahu, tapi mau sampai kapan kau menyendiri seperti ini?" balas Nadira.
"Maksudmu menyendiri?" tanya Raya.
"Seperti apa ya ... wanita gak peka ini benar-benar tidak memahami ucapanku atau kau memang berpura-pura untuk mengerti maksud dari perkataanku?" gerutu Nadira.
"Aku memang tidak memahami ucapanmu, ada apa?" tanya Raya.
"Di usia mu seperti ini, seharusnya Kau memang sudah memiliki seorang anak. Apakah kau tidak pernah terpikirkan untuk menikah dengan seorang pria?" jelas Nadira.
"Lalu, apakah wanita yang ada di hadapanku membicarakan tentang pernikahan. Apakah Kau juga sudah memikirkannya?" balas Raya.
"Kau selalu paling bisa untuk memutar balikkan pertanyaan. Aku hanya tidak mau aku menikah lebih dulu darimu dan membiarkan dirimu seorang diri," protes Nadira.
"Siapa bilang aku seorang diri? Bukankah aku memiliki Princess untuk apa aku menikahi seorang pria jika dia tidak mau menerima Princess di dalam kehidupanku," ucap Raya.
"Apakah kau akan menanggung segala resiko, untuk seorang anak yang bukan darah dagingmu?" tanya Nadira.
"Kau mempertanyakan hal itu seakan-akan esok hari akan pergi begitu saja?" balas Raya, temannya hanya diam menanggapinya.
"Nadira ... Sebuah kehidupan bukanlah hanya sekedar kita berada di dunia mengejar harta dan cinta. Tapi juga harus mengikuti segala hal yang terjadi, termasuk arus takdir kehidupan. Memang, kita bisa merubah nasib sesuai apa yang kita tentukan. Tetapi kita tidak bisa merubah takdir, di mana aku memang sudah memiliki takdir bersama dengan Princess, jika tidak. Mungkin semua tidak akan terjadi selama 2 tahun ini."
Mendengar ucapan dan perkataan Raya, membuat Nadira terdiam. Dia tidak pernah terpikirkan tentang Raya yang memiliki cara pikir dengan baik mengenai kehidupannya.
"Asal kamu tahu, tumbuh besar di sebuah Panti Asuhan. Aku mengetahui begitu banyak orang-orang dengan sifat sikap yang berbeda, tapi semua orang-orang di Panti Asuhan memilih untuk tetap bertahan dan mengikuti segala hal yang terjadi kepada diri mereka tanpa mencoba untuk menunjukkan keluh kesah mereka. Apakah Kau pikir, aku akan menyesali kehidupan ini?" tanya Raya.
Raya tersenyum melanjutkan ucapannya. "Tidak, aku justru akan mengikuti arusnya, tanpa mencoba untuk mencari tahu bagaimana caraku menggapai sebuah kehidupan dan juga kebahagiaan. Tapi Tuhan sendiri yang akan menunjukkan dan memberikan kebahagiaan itu sendiri kepadaku."
"Aku membicarakan tentang sebuah pernikahan kepadamu, tapi kau menceramahiku tentang sebuah kehidupan. Benar-benar, Kau adalah seorang ibu yang sangat baik dan pengertian hingga membuat gadis kecil seperti Princess begitu tidak mau berada jauh darimu!" seru Nadira.
Rayanya tersenyum tipis, dia memilih untuk fokus dengan pekerjaan yang belum sempat dia selesaikan kemarin. Dia tidak menyadari jika seseorang mendengar pembicaraan antara dia dengan Nadira. Saat Morgan hendak masuk ke ruangan Raya, dengan alasan hanya sekedar lewat dari sana, dia tersenyum tipis mendengar penuturan Raya tentang sebuah kehidupan dan pernikahan.
"Aku penasaran pernikahan, seperti apa yang kau inginkan," gumam batin Morgan, dia pergi dari senam tanpa mencoba untuk melanjutkan niatnya untuk bertemu dengan Raya.
Di dalam ruangan Morgan terpikirkan tentang pembicaraan antara Raya dengan temannya. Namun seketika dia mengerutkan dahinya saat mendapati ponselnya berbunyi dan nampak sangat jelas sebuah nama yang yang membuatnya tersenyum tipis hingga mengangkat panggilan telepon itu.
"Apakah kau berniat untuk menghindari ku dalam waktu yang sangat lama, hingga aku mati?" pertanyaan dari seorang wanita tua terdengar begitu lantang memarahi Morgan.
"Sayang, bukankah sudah kukatakan aku tidak pernah menghindarimu dan aku akan datang setelah aku menemukan wanita yang kau inginkan lagi pula, aku disini ini bukankah memiliki tugas yang sangat kita nantikan selama ini. Berikan aku waktu dan bersabarlah," balas Morgan.
"Aku tidak ingin mengungkit nya, tapi jika memang tidak bisa menemukannya lagi setidaknya ... Bisakah kau memberikanku cucu kecil lagi untukku menikah dengan wanita pilihanku mungkin kau bisa mengabulkan keinginanku untuk yang terakhir kalinya," ucap nenek Morgan kali ini tampak bersungguh-sungguh berbicara.
"Tahan dulu usiamu, Aku akan segera datang bersama dengan segala hal yang kau inginkan," balas Morgan.
"Baiklah, pulang dengan cepat dan aku tidak bisa menunggu terlalu lama," tegas nenek Morgan dibalas anggukan dan senyuman oleh Morgan, hingga panggilan telepon itu ditutup begitu saja oleh neneknya. Morgan terdiam dia tidak pernah bisa menghindari segala permintaan dari nenek kesayangannya itu.
Morgan terdiam membisu memikirkan tentang wanita kesayangan nya yang rentan di usia tua kali ini. Ketukan di balik pintu membuyarkan lamunannya hingga seorang wanita masuk ke dalam ruangannya, membuat Morgan tersenyum tipis mendapati wanita itu datang di waktu yang sangat cepat sehingga memberi harapan bagi Morgan.