Takdir Allah 6 - Family?

2361 Kata
‘Bagi perempuan mungkin lebih baik dicintai dari pada mencintai.’ -Tere Liye Aisyah sedang mempresentasikan hasil kerjanya selama enam bulan di depan para petinggi perusahaan. Ia bergerak sangat santai, tampak tidak gugup sama sekali dan terlihat sangat percaya diri. Di bagian terakhir, ia mengutarakan pendapatnya agar perusahaan lebih perhatian kepada para penggemar. “Dalam satu bulan terakhir, saya mendapatkan lebih dari 10 ribu email. Baik itu laporan ataupun saran dari pada penggemar. Aku pikir kita sangat perlu memperhatikan ini karena penggemar sangat penting bagi seorang penyanyi, kita harus memilah masukan dari mereka dan melakukan yang terbaik.” Terang Aisyah. “Laporan setiap idola sangat tinggi akhir-akhir ini. Aku juga sangat kewalahan dengan laporan penggemar, kita harus mengambil tindakan atau mereka kecewa.” Salah seorang pria yang berprofesi sama dengan Aisyah mengangkat tangan dan mengutarakan pendapatnya. Direktur menganggukkan kepala, “Baiklah ini akan menjadi salah satu proyek yang akan kita kerjakan. Apa saja yang mereka keluhkan?” Aisyah membuka Ipadnya, “Ada beberapa hal, tentang server aplikasi penggemar yang baru saja diluncurkan itu mengalami banyak masalah dan seringnya server down karena banyaknya aktifitas yang dilakukan oleh penyanyi kita. Acara fansign yang harus lebih diperketat untuk keamanan penyanyi dan penggemar, kita harus  tahu yang mana penggemar dan yang mana seorang stalker (penguntit).” Aisyah menjeda ucapannya lalu menggulir Ipadnya ke bawah. “Penggemar menduga ada orang dalam yang bekerja sama dengan stalker untuk memberikan foto/video/jadwal artis secara ilegal/pakaian, serta kita harus memperhatikan aplikasi ketiga tempat kita menaruh MV, penggemar mengeluhkan kecurangan dengan penghapusan views.” ucap Aisyah. Ia mengerutkan kening, ternyata keluhan penggemar cukup banyak dan ia hanya membaca keluhan yang ia anggap penting. Empat keluhan itu menjadi yang terbanyak bulan ini. “Kita harus benar-benar menyelesaikan permasalahan ini hingga tuntas. Aku juga sudah lelah dengan orang dalam yang membocorkan informasi. Kita harus membuat tim untuk mengurus permasalahan itu, untuk masalah fansign aku serahkan ke tim keamanan, aku yakin mereka bisa mengurusnya dengan baik.” Direktur mencatat bagian penting di dalam laptopnya. “Untuk keluhan terakhir, itu cukup sulit. Perusahaan tidak mungkin meminta secara pribadi untuk melihat jumlah hasil streaming dari penggemar, mereka tidak bisa dipercaya. Aku akan menugaskan orang di bagian komunkasi dan server untuk memantaunya, jika telah mendapat informasi dan keluhan itu ternyata benar, kita akan mengajukan pelaporan kepada aplikasi pihak ketiga.” Aisyah tersenyum senang, pendapatnya diterima oleh para petinggi. Ia akhirnya mengakhiri presentasinya dan kembali duduk sembari menunggu tim lain untuk gentian melaporkan hasil pekerjaan mereka. Aisyah memperhatikan dan sesekali mencatat bagian yang penting, pertemuan itu berakhir tiga jam kemudian. Aisyah merapikan barang-barangnya lalu keluar dari ruang pertemuan. Ia berjalan sembari memijit pundaknya pelan. Aisyah cukup lelah karena kurang tidur, bukan karena pekerjaan tetapi karena tadi malam ia melakukan drama maraton. Aisyah melemaskan leherya begitu tiba di ruangannya, ia mengambil dompet dan tanda pengenal lalu berjalan ke arah lift kantor. Aisyah memutuskan makan siang di luar. Agar lebih cepat, Aisyah menaiki taksi. Ia memilih pergi ke restoran Indonesia, hari ini ia tiba-tiba rindu dengan masakan negaranya. Sejak semalam ia tidak berhenti memikirkan bakso dan segala jenis masakan membuatnya berkali-kali menelan ludah. Restoran itu berada di daerah Ansan, bernama Warung Barokah. Ia segera memesan bakso, lalapan, soto ayam dengan es teh. “Eh, orang Indonesia?” tanya seorang pelayan berlogat jawa. Aisyah mengangguk pelan, “Iya, saya orang Indonesia.” “Kerja atau kuliah, Neng?” tanya pelayan itu lagi. Aisyah tersenyum, “Kerja, udah sekitar tiga tahun tapi tinggal di sini sudah lama. Sejak kuliah.” Pelayan itu mengangguk pelan, “Ada lagi pesananannya?” “Ini saja dulu, nanti saya nggak kuat ngabisin.” Jawab Aisyah. Aisyah melihat sekitar, ia melihat banyak barang-barang berasal dari Indonesia yang terpajang di situ. Ada juga tanda tangan artis yang dibingkai cantik, tanda jika restoran ini sudah dikunjungi oleh mereka. “Terimakasih.” Ucap Aisyah pelan ketika pelayan itu selesai menyajikan makanan. Aisyah mencoba kuah bakso dan seketika ia takjub, rasa kuahnya sangat mirip dengan yang pernah ia makan di Indonesia. Ia makan dengan perlahan, berusaha agar tidak terlihat seperti orang kelaparan. Lima belas menit kemudian, Aisyah kembali memanggil pelayan untuk menambah porsi bakso. “Ada yang isian telur?” tanya Aisyah. Pelayan itu mengangguk. “Oke, saya pesan bakso, coto makassar, es the terus martabaknya dibungkus buat di bawa pulang.” Pelayan itu mencatat pesanan Aisyah, ia pergi diiringi dengan senyum kecil. Aisyah hanysa bisa menunduk dan menutup matany malu, ia seperti orang yang tidak makan satu minggu. Lima menit kemudian, dua orang pelayan kembali dengan membawa mangkuk berisi coto makassar serta lima buah ketupat kecil, satu porsi bakso dengan telur serta es teh. “Selamat menikmati.” Aisyah sangat menikmati makanan Indonesia yang ia makan. Ia seperti kembali ke Indonesia menggunakan pintu ajaib. Di tengah makan siangnya, ponsel Aisyah berbunyi. Nama orang tuanya berkedip-kedip di layar ponselnya, Aisyah langsung menjawab panggilan video itu. “Halo, Ayah.” Sapa Aisyah ketika sambungan video terhubung. Aisyah memasang earpods di telinganya. Ia meletakkan ponselnya dengan kotak tisu sebagai sanggahan. “Eh, kenapa baru makan jam segini?” tanya Zakaria, ayah Aisyah. Aisyah tersenyum, “Kan beda 1 jam, Yah. Kok lupa lagi?” “Oh iya, Ayah lupa. Ya, sudah ini Bunda yang mau bicara. Kangen katanya, anak perempuannya nggak pernah nelpon kalau nggak di telepon.” Protes Zakaria. Aisyah hanya mengerucutkan bibir, dengan pekerjaan yang bertumpuk tiap hari ia memang sangat jarang menghubungi keluarganya yang berada di Indonesia. Aisyah menatap Ayahnya yang memakai baju kokoh lengkap dengan sarung dan kopiah. Ia melirik jam, di Indonesia baru saja jam satu siang. Itu berarti baru saja memasuki waktu Duhur. “Aisyah, Nak.” Panggil Atiqah, Ibu Aisyah. Aisyah tersadar dari lamunannya, ternayta ponsel itu sudah berpindah ke tangan Ibunya. “Iya, Bunda.” Atiqah memperhatikan wajah anaknya lekat-lekat, ia memperhatikan wajah lelah Aisyah. Tampaknya anak perempuannya itu jarang tidur hinggawajahnya tampak lesu dan kurang bersemangat. “Kapan pulang? Ini sudah tahun kedua kau tidak pulang ke rumah. Bunda kangen, Nak.” Ucap Atiqah pelan. Aisyah sekejap melihat wajah ibunya berkaca-kaca tetapi lenyap begitu saja ketika beliau mengedipkan matanya. Aisyah terdiam, ia tidak tahu harus mengatakan apa, ia hanya menatap wajah Ibunya yang juga sedang menatapnya. Tiba-tiba sambungan menampilkan pandangan yang lebih luas, Aisyah menduga Ayahnya telah mengalihkan panggilan video dari ponsel ke tv. Aisyah melihat ibunya tampak sangat keibuan dengan memakai daster panjang berwarna hijau dengan jilbab senada. “Nanti, Bun. Aisyah belum dapat cuti panjang. Nanti, Aisyah ajuin kalau pas balik ke kantor. Siapa tau dapat cuti, biar bisa pulang ketemu Ayah sama Bunda.” Jawab Aisyah setelah terdiam lama. Mereka berbincang lama sampai makanan Aisyah habis. “Jangan kesehatan, Nak. Jangan terlalu banyak bekerja, Bunda lihat wajahmu lesu karena jarang tidur.” Pesan Ibunya. Ayahnya tidak ketinggalan, “Pesan Ayah. Jaga diri, jangan terbawa budaya di sana, Nak. Kau tahu, budaya kita dengan budara orang di sana sangat berbeda. Jangan minum!” Aisyah menggigit bibirnya pelan, ia menggangguk mengiyakan semua pesan dari kedua orang tuanya. Lima menit kemudian panggilan itu berakhir, menyisakan rasa sesak di d**a Aisyah. Sebagaian pesannya dari kedua orang tuanya telah ia abaikan, tidak terhitung jumlahnya ia sudah meminum minuman beralkohol serta pergi ke kelab malam. Aisyah menghela napas pelan lalu beranjak untuk membayar makanannya di kasir. Ketika sedang melakukan transaksi, ia melihat kue berbentuk bundar. “Permisi, Bu. Apa ini kue bolu?” tanya Aisyah. Kebetulan yang melayaninya sekarang sebagai kasir adalah pemilik restoran itu. “Benar, Nak. Ini kue bolu sarang semut. Tinggal satu buah, baru dibuat tadi pagi.” Aisyah melebarkan matanya terkejut, “Saya mau, Bu. Semuanya.” Ibu pemilik restoran itu terkekeh pelan mendengar Aisyah sangat antusias. Aisyah menjilat bibirnya ketika melihat kue itu dibungkus. Ia tidak sabar membawanya pulang ke rumah untuk dimakan. Jika dihitung-hitung, sudah lama sekali ia tidak menemukan kue bolu sarang semut. Itu adalah kue bolu kesukaannya, bahkan jarang ia dapatkan di Indonesia sekalipun. Aisyah berjalan dengan bahagia keluar dari restoran itu, tidak lupa ia meminta nomor yang bisa dihubungi jika saja ada kue bolu lagi. Ia akan membelinya dengan senang hati, kira-kira uang yang dihabiskan Aisyah untuk makan di situ sekitar 50 ribu won. Harganya yang cukup mahal jika dibandingkan dengan harga di Indonesia tetapi itu cukup untuk menghilangkan rasa rindunya pada makanan negaranya dan ia juga membawa pulang satu kotak martabak dan kue bolu. Di perjalanan kembali ke kantor, Aisyah singgah di supermarket untuk membeli toples dan beberapa alat dapur untuk dibawa pulang. …. Aisyah melemaskan badannya, lalu melirik jam yang sudah menunjukkan pukul tiga pagi. Ia tidak sadar waktu berlalu sangat cepat, ia merasa sekarang baru jam 11 atau 12 malam. Aisyah asyik menonton drama yang sudah ia kumpulkan sejak beberapa bulan yang lalu, menunggu drama itu hingga tamat lalu menontonnya. Aisyah turun dari tempat tidur lalu menyalakan lampu. Lagi-lagi melemaskan otot-ototnya yang kaku karena terlalu lama berbaring. Ketika ingin ke kamar mandi tiba-tiba ponselnya bordering. “Halo, Daeng (Panggilan kakak dalam Bahasa bugis).” Sapa Aisyah. Abimanyu berdecak pelan, “Harusnya Assalamualaikum. Kenapa jadi, Halo? Biasakan itu, Aisyah. Apalagi saat menjawab telepon Ayah sama Bunda.” Protes Abimanyu. Abimanyu Zakaria, kakak Aisyah yang berumur terpaut empat tahun lebih tua darinya. Ponsel Aisyah berbunyi pelan, tanda jika kakaknya itu sedang meminta panggilan video. Aisyah menerimanya begitu saja tanpa protes. “Astagfirullah al Adzim!” ucap Abimanyu lalu menutup mata. Aisyah ikut kaget, ia menoleh ke belakang tetapi tidak melihat apapun yang aneh. Ia pikir kakaknya baru saja melihat sesuatu yang seram, Aisyah mendadak pucat. “Ih! Apa Kak? Jangan bikin kaget!” protes Aisyah setelah memastikan tidak ada yang aneh di sekitarnya. Aisyah menatap kakaknya tajam, memastikan lelaki itu memang tidak melihat hal yang aneh. Sekarang, gantian Abimanyu yang menatap Aisyah sama tajamnya.  Kakaknya itu hampir melotot membuat Aisyah seperti telah berbuat kesalahan. “Apa?” tanya Aisyah spontan karena di tatap begitu. Abimanyu menghela napas panjang, “Astaga, Dek! Masih belum sadar?” Aisyah hanya menggeleng, ia merasa tidak melakukan apapun yang salah. “Kau-hanya-menggunakan-bra.” Ucap Abimanyu tetap menatap adiknya tajam. Asiyah menatap kakaknya malas, “Astaga! Aku kirain apa. Cuma bra ini!” “Aurat itu, Dek! Gimana kalau ada orang yang nelpon kamu dalam keadaan begitu?” “Aku nggak bakalan angkat sebelum pakai baju!” jawab Aisyah spontan. Abimanyu berpindah tempat, ia sebelumnya berada di kursi kerja pindah berbaring di atas sofa. “Nah, kenapa nggak pakai baju pas kakak telepon?” tanya Abimanyu. Aisyah masuk ke kamar mandi lalu meletakkan ponselnya di cermin, ponselnya memiliki alat perekat yang bisa menempen di cermin. “Yang nelpon kan Kakak, ngapain pakai baju? Dulu juga biasa kakak liat nggak pakai baju sema sekali?” Aisyah membasuh wajahnya lalu memakai sabun wajah. Abimanyu menepuk keningnya pelan. “Tapi kakak tetep laki-laki, Dek!” Aisyah menghentikan kegiatannya mencuci muka, menatap ponsel dimana wajah kakaknya terlihat jelas. “Lah, jadi kakak nafsu gitu? Pas liat Aisyah pake ginian aja?” “Ya, nggak gitu juga dek! Pokoknya habis selesai cuci muka kamu pake baju! Nanti kakak telepon lagi!” Seketika layar ponselnya menjadi gelap, Aisyah mengangkat bahu tak acuh lalu melanjutkan kegiatannya mencuci muka lalu menyikat gigi dan mandi air hangat. Setengah jam kemudian, Aisyah sudah berbaring di atas tempat tidur menggunakan piyama kebesaran. Ia menonton tv, menunggu kakaknya untuk menghubunginya kembali. Lima belas menit kemudian, kakaknya kembali menghubunginya lagi-lagi dengan video call. Aisyah mengangkat panggilan itu, ia tersenyum menatap kakaknya. Abimanyu masih berada di tempat yang sama ketika terakhir menghubunginya beberapa menit yang lalu. Kakaknya bekerja sebagai seorang arsitektur di sebuah perusahaan cukup besar di Indonesia. Mereka awalnya bercerita kabar dan pekerjaan masing-masing, bercerita kepada kakaknya membuatnya lega. Seolah ia berbagi beban dengan kakaknya padahal Abimanyu juga melakukan hal yang sama. “Jadi, bagaiamana dengan masalahmu yang kemarin?” tanya Abimanyu. Aisyah tiba-tiba mengingat kejadian tiga bulan yang lalu. Kejadian yang tidak mungkin pernah ia lupakan seumur hidupnya. “Bukankah aku sudah menceritakan semuanya? Kenapa sekarang kakak bertanya lagi?” Abimanyu menatap adiknya, tiga bulan yang lalu ia hampir jantungan ketika Aisyah menghubunginya dengan keadaan luka-luka. Ia hampir saja terbang ke Seoul saat itu juga jika Aisyah tidak menahannya dan mengatakan jikaia kaan mengurus masalahnya hingga tuntas. “Tetap saja, aku masih khawatir. Kapan dia akan bebas dari penjara?” Aisyah tampak mengingat-ingat, “Mungkin tahun depan. Aku lupa kapan tepatnya.” Pelaku kekerasan terhadap Aisyah hanya di penjara 1 tahun setengah, pria itu menyewa pengacara senior dan akhirnya mendapat hukuman yang jauh lebih ringan dari pada hukuman awal. Aisyah yang berstatus sebagai pendatang dan bukan warga korea hanya bisa menerima keputusan itu. Lagipula ia tidak bisa menuntut banyak, melihat pria itu dihukum sudah membuatnya sangat puas karena menerima balasan atas perlakuannya walaupun tidak setimpal. “Lain kali kau harus selektif untuk memilih kekasih. Jangan dekat dengan sembarangan orang, Aisyah! Kenali mereka terlebih dahulu sebelum berpacaran!” peringat Abimanyu. Aisyah mengangguk pelan, “Kasus kemarin, aku yang menyukainya duluan, Kak. Aku juga tidak tahu dia sebenarny suka berperilaku kasar, selama ini hubungan kami baik-baik saja, hingga dia kelepasan dan memukulku. Ketika aku memutuskan untuk mengakhiri hubungan kami, yah… setelahnya kakak tahu aku berarkhir seperti apa.” “Makanya, takdir perempuan itu untuk dicintai oleh pria.” Ucap Abimanyu. Aisyah tertawa pelan. Merkea kembali bertukar cerita satu sama lain, membahas hal konyol lalu tertawa bersama, cara ini sangat membantu untuk meredakan stres dan juga beban. “Dek, nggak ada niat untuk pulang? Bekerja disini?” tanya Abimanyu. Aisyah seketika terdiam, “Aku belum ada rencana kak, lagipula aku harus bekerja apa kalau pindah  kesana? Belum tentu langsung dapat pekerjaan, kerjaanku disini sudah membantu banyak kak, apalagi gajinya tinggi dibandingkan jika aku bekerja di sana.” “Ayah dan Bunda tidak butuh materi, Aisyah. Mereka butuh kehadiranmu, mereka memang tidak bilang. Tetapi, aku tahu mereka merindukanmu. Apa kau tahu, akhir-akhir ini Bunda sering sekali mengusap bingkai fotomu saat wisuda? Hampir setiap hari beliau mengusapnya.” Terang Abimanyu. “…rumah sangat sepi apalagi aku jarang pulang ke rumah karena harus lembur menyelesaikan proyek baru.” Aisyah menunduk, lalu menggigit bibir. “Akan ku pikirkan, Kak. Tapi mungkin akan butuh sedikit waktu. Aku sangat menikmati pekerjaanku saat ini.” Jawab Aisyah. “Iya, Dek. Pikirkan matang-matang, karena kau juga sudah dewasa sekarang.” Aisyah mengangguk lalu tersenyum ke arah Abimanyu. Waktu sudah menunjukkan pukul setengah lima pagi tetapi mereka masih asyik mengobrol. “Dek?” panggil Abimanyu. Aisyah hanya menjawabnya dengan gumaman, ia merasa akan terlelap jika kakaknya tidak memanggilnya. “Kakak mau tanya, tetapi kau harus jawab yang jujur.” Aisyah membuka matanya, kantuknya hilang karena ucapan serius dari Abimanyu. Kemudian menjawab iya tanpa suara. “Masih pergi ke kelab malam?” Aisyah menaikkan satu alisnya, menghela napas panjang lalu mengangguk. “Masih  minum alkohol?” Kali ini, Abimanyu memperhatikan lekat wajah Aisyah. Memastikan apakah gadis itu menjawab dengan jujur. Aisyah menatap Abimanyu, menjilat bibirnya yang kering karena gugup. Sebenarnya ia tidak tahu jika Abimanyu akan bertanya hal ini lagi. “Iya, Kak. Masih.” Jawabnya pelan tanpa berani menatap mata Abimanyu. Abimanyu menghela napas panjang. Ternyata perbuatan itu masih dilakukan oleh Aisyah. Perbuatan yang sangat terlarang di dalam agama, tetapi ia hanya bisa menasehati dan melarang adiknya. Panggilan video itu berakhir ketika Aisyah tertidur, Abimanyu menatap adiknya yang sudah terlelap lalu membaca surah Al-Azhab 70-71. “Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kamu kepada Allah dan katakanlah perkataan yang benar. Niscaya Allah memperbaiki bagimu amalan-amalanmu dan mengampuni bagimu dosa-dosamu. Dan barangsiapa mentaati Allah dan Rasul-Nya, maka sesungguhnya ia telah mendapat kemenangan yang besar.” (QS. Al-Ahzab: 70-71). Setelah itu, Abimanyu memutuskan panggilan. Membiarkan Aisyah tertidur.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN