Tuduhan di Malam Pertama
Bab 4 : Nekad
Papa terlihat mengepalkan tangan dengan wajah yang merah padam, ia sangat marah saat ini atas perkataan Mama.
“Apa benar dugaanku ... kalau Zaki itu anak hasil selingkuhmu yang kamu bawa pulang ke rumah dengan berdalih anak sahabatmu yang kedua orangtuanya telah meninggal saat kecelakaan. Jujur saja, Malik! Makanya kamu tak berani menikahkan Vaulin dan Zaki, walau kehamilan putri kita memang perbuatan Zaki!” Mama menatap Papa dengan berapi-api, ia juga sudah menyebut nama asli papa.
Aku memegangi kepala, masalah ini semakin merembet saja, bukannya menemui penyelesaian tapi masalah lain malah berdatangan.
***
“Zaki, apa benar kalau kamu yang telah menghamili Vaulin?!” Papa menatap tajam ke arah Kak Zaki, anak angkatnya yang kini sudah berusia 28 tahun itu.
Kini semua mata tertuju kepada pria berkemeja cokelat itu, yang kesehariannya bekerja di kantor Papa. Raut wajahnya terlihat menegang, apa benar Kak Zaki yang telah menghamiliku? Aku menanti jawaban dari mulutnya dengan jantung yang berdebar kencang.
“Kalau Mama dan Papa mau saya menikahi Vaulin, saya bersedia,” jawabnya dengan menatap ke arah Mama dan Papa.
“Nah, kan, akhirnya mengaku juga!” Mama bangkit dari tempat duduknya dan memukul wajah Kak Zaki dengan geram.
“Demi Allah, Ma, bukan Zaki yang menghamili Vaulin tapi Zaki bersedia menikahi Vaulin nanti ... jika urusan cerainya dengan Yuta telah beres,” jawab Kak Zaki yang membuat tuduhan Mama luntur seketika.
“Jangan bohong kamu! Mengaku saja!” hardik Mama lagi dengan mendaratkan pukulan keduanya di wajah kakak angkatku itu.
“Maaf, Tuan, Nyonya, ada Mas Yuta dan kedua orangtuanya di ruang tamu ....” Bik Ijah berbicara dengan takut-takut kepada Papa.
Papa mengangguk dan menyuruh Bik Ijah untuk pergi.
“Aku mau menemui keluarga Hardinata, apa kamu mau ikut ke ruang tamu atau tetap di sini dengan menuduh Zaki atas hal yang tak dilakukannya?” Papa melirik tajam Mama lalu melangkah menuju ruang tamu.
Mama terlihat menghela napas panjang, lalu mengekor di belakang Papa. Sedangkan aku memilih untuk naik ke kamarku karena masalah ini takkan bisa terselesaikan jika Mama dan Papa malah bertengkar hal yang lainnya.
Dengan setengah berlari aku menaiki anak tangga, Mas Yuta datang ke sini pasti dengan membawa surat cerai. Aku telah resmi dicampakkan di malam pertama pernikahan. Takdir ini sungguh gila, ditambah juga dengan kenyataan kehamilan ini. Hanya satu cara jalan penyelesaian dari semua yaitu membuat nama Vaulina tiada. Dari pada hidup hanya menanggung masalah akan kesalahan yang tak pernah kulakukan, lebih baik kuakhiri saja hidup.
Dengan cepat, segera kucari pisau cutter di laci, sebagai alat untuk mengakhiri hidup ini. Selamat tinggal semuanya, selamat tinggal masalah juga beban hidup. Aku memilih mati dari pada terus tersiksa akan semua derita.
“Jangan, Dek!” Kak Zaki tiba-tiba sudah berada di kamar, dia merebut pisau cutter yang sudah siap kubenamkan ke pergelangan tangan.
“Kak!” teriakku marah dengan menatap nanar kepadanya.
“Jangan lakukan ini, Vaulin, jangan mengakhiri hidupmu dengan cara begini!” Kak Zaki memelukku.
Tangisku kembali pecah di pelukan Kak Zaki sambil memukuli dadanya karena ulahnya yang telah menggagalkan cara penyelesaian masalahku.
“Jangan melakukan hal nekat seperti ini lagi! Kak Zaki akan ikutan bunuh diri juga kalau kamu mati. Masalah ini akan kita selesaikan bersama, Kakak akan menikahimu. Kita akan selalu bersama sampai kapan pun,” ujarnya yang membuatku melepaskan diri dari pelukannya dan menatapnya marah.
“Kenapa Kak Zaki mau menikahiku? Kita ini saudara, dan sudah sama-sama sejak kecil,” tanyaku menyelidik.
“Karena Kakak sayang sama kamu, Dek,” jawab sambil tersenyum.
“Apakah anak yang sedang kukandung ini ... benih Kak Zaki?” Kutatap tajam matanya, ini pertanyaan kedua setelah Mama tadi.
Kak Zaki menggeleng.
“Anggap saja ... anak yang sedang kamu kandung itu adalah pemberian Tuhan yang harus kita jaga, dan Kakak akan siap mendampingimu untuk menjaganya.” Kak Zaki meraih tanganku.
“Tidak, aku tak mau seperti itu. Aku tak mau anak ini, aku juga tak mau menikah dengan siapa pun lagi!” teriakku dengan menjatuhkan barang-barang di kamar, aku mengamuk. Agar rasa sakit hati berlawanan.
“Vaulin, sudah! Jangan seperti ini!” Kak Zaki kembali memelukku dan berusaha menenangkan amukanku.
Tiba-tiba, terdengar derap langkah kaki memasuki kamar dan aku langsung menoleh dan melepaskan diri dari pelukan Kak Zaki.
“Maaf ... lanjutkan saja, saya hanya mau ambil ponsel juga pakaian yang tertinggal.” Mas Yuta sudah berdiri di kamarku dan melihat adegan peluk-pelukan kami.
“Mas, maafkan aku .... “ Aku kembali mendekat kepadanya.
“Jangan meminta maaf lagi, anggap saja tak pernah terjadi apa pun diantara kita!” jawabnya sambil melangkah menuju nakas dan mengambil ponselnya, lalu menuju lemari lalu mengambil koper kecilnya.
Aku duduk di tempat, sambil menyeka air mata yang terus saja berjatuhan. Semuanya memang takkan bisa kembali seperti dulu lagi, hubunganku dengan Mas Yuta benar-benar sudah berakhir dan semua terjadi karena janin gaib yang ada di dalam perutku ini.
Kupukuli perut yang diagnosa hamil 3 bulan ini, aku benar-benar tak tahu lagi harus berbuat apa. Masa depanku sudah hancur, kehidupan bahagia takkan kutemui lagi dan semua karena kehamilan tanpa kuketahui siapa pelakunya. Dengan cepat, aku berlari masuk ke dalam kamar mandi, aku harus bisa mengakhiri hidup bagaimana pun caranya.
“Vaulin, buka pintunya, Dek! Kamu jangan melakukan hal yang macam-macam!” Terdengar teriakan Kak Zaki dari depan pintu kamar mandi.
Tak kuperdulikan teriakan juga pintu yang digedor olehnya, mataku kini sibuk mencari sesuatu yang bisa kujadikan alat bunuh diri. Mata ini langsung menangkap cairan perbersih lantai di pojokan dan langsung kuraih dengan cepat.
Selamat tinggal dunia, aku memilih mati dari pada tersiksa! Kubuka tutup botol itu dengan tergesa-gesa dan langsung menenggak isinya. Tak kuhiraukan bau menyengat, aku terus saja menenggaknya hingga akhirnya tubuh ini ambruk ke lantai kamar mandi hingga akhirnya aku tak ingat lagi apa yang terjadi.
***
“Vaulin, bangun, Nak!”
“Ya Tuhan, anakku.”
“Dek, sadarlah, jangan tinggalin Kak Zaki!”
Terdengar ada banyak suara di dekatku, ada yang memanggil namaku juga ada yang menangis. Apakah aku sudah mati dan sedang dimakamkan? Aduh, sakit! Tapi mengapa aku masih merasakan sakit? Agghh ... tubuh ini terasa nyeri dari ujung rambut hingga ujung kaki. Apa kini aku sedang disiksa di neraka karena hamil tanpa suami?
“Dek, sadarlah!” Itu suara Kak Zaki, kakakku yang paling baik dan selalu mengutamakan kepentinganku.
Kutarik napas panjang, lalu membuka mata perlahan dan menatap satu persatu orang yang ada di ruangan ini. Ada Kak Zaki, Mama, Papa juga Mas Yuta yang berdiri paling belakang. Mau apa dia? Bukankan aku sudah ia ceraikan? Aku mendadak muak melihatnya.
Bersambung ....
Bersambung .....