Tekanan di pundak Anindira yang diberikan tangan si pemilik suara itu membuat Anindira takut untuk menoleh. Suara itu begitu familier di telinganya. Pemilik suara itu yang menyebabkan penderitaannya. Beberapa saat Anindira berdebat dengan dirinya sendiri untuk memutuskan. Akhirnya Anindira mengalah pada rasa penasarannya. Ia memutar tiga puluh derajat posisi duduknya hingga pandangannya bisa dengan jelas melihat si pemilik suara. "Kenan?" Anindira menepis tangan Kenan yang berada di bahunya dengan kasar. Tatapannya menajam dan berapi-api pada pria itu. “Mau apa kau?!” Kenan membisu. Pancaran emosi yang meluap-luap dari wajah Anindira seolah mematikan sistem kerja saraf-sarafnya. Badai penyesalan kembali menghantamnya. Anindira bergeser menjauh. Ia berusaha sekuat tenaga untuk berdiri da