Balasan setimpal

1069 Kata
Kanaya tidak punya pilihan lain. Di hari minggu yang harusnya dihabiskan di atas tempat tidur, malah disuruh kerja lagi. Joen Jung Man rupanya tipe ditaktor, egois dan tidak mau mengerti akan situasi. Semoga alasannya hanya itu, bukan karena insiden ciuman. Biarkan itu menjadi rahasia, selamanya. “Bersihkan seluruh penjuru dari sana sampai sana,” kata Jung Man di pintu masuk apartemen. Sebenarnya, sekelas bintang besar, hunian itu terlalu sederhana. Kanaya permah menemui selebriti dengan kehidupan lebih glamour padahal hanya punya bayaran kecil. Tapi syukurlah, ia tidak bekerja terlalu berat. Jung Man diam-diam tersenyum sinis. Ia sudah melihat rekaman cctv di ruang tamu dan berakhir tahu tentang kejadian semalam. Mau marah rasanya tidak tepat. Toh itu tidak sengaja, ditambah ia sendiri membalasnya. Tapi kalau masalah itu dibiarkan, malah jadi ganjalan. Mereka akan bertemu setiap hari, bicara dan berinteraksi. Lingkungan kerja akan tidak nyaman kalau segala sesuatunya dipendam. “Bersihkan juga deretan buku di ruangan paling pojok, urutkan sesuai abjad.” Jung Man mengambil rokok elektriknya lalu menunjuk tempat yang dimaksud. Ia perlu membuat Kanaya kapok dulu sebelum diinterogasi nanti. Prinsip Jung Man satu, ia boleh menyentuh tapi tidak boleh disentuh. Baginya, semua wanita terlalu biasa. Setingkat model saja, tidak bisa mendapatkan nomornya dengan mudah. Apalagi ini Kanaya, seorang pekerja yang notabene tidak punya apa-apa. Sesampainya di ruang buku, Kanaya pura-pura sibuk dengan penyedot juga lap kain. Padahal hatinya tengah kacau balau. Ia sadar kalau sikap Jung Man berbeda. Tatapannya begitu horor, tidak terkesan usil seperti biasanya. Apa yang akan aku lakukan kalau ketahuan? Batin Kanaya meringis kesal. Tidak mungkin juga ia mengundurkan diri. Kalau keluar dari masa magang, bisa-bisa rekam kerjanya akan dinilai buruk. Alhasil akan sulit mendapatkan pekerjaan lain. Tapi penampilannya lebih baik saat di rumah. Kaos juga celana pendek itu sangat santai sampai-sampai tadi Kanaya sempat terpana sebentar. Aura intim seorang laki-laki begitu terpancar saat topengnya terlepas semua. Jung Man pernah berpenampilan natural saat reality show, tapi karena ada kamera tetap saja stylish masih berperan di sana. Berbeda dengan sekarang, ia benar-benar pure dari urusan pekerjaan. Kalau pikiranku sudah gila, mungkin aku bisa saja mencuri beberapa fotonya lalu kujual secara daring, tapi aku tdiak sebrengsek itu, gumam Kanaya di antara kesibukannya menata buku. Sekarang daripada berkhayal, lebih baik ia menggunakan tenaganya untuk segera menyelesaikan pekerjaan. Adiknya pasti merengek kalau pulangnya tidak dibawakan burger. Namun niatannya itu tidak berjalan mulus. Setiap rak pertama selesai, Jung Man akan datang dan memintanya untuk mengulang pembersihan. “Sampul yang sudah rusak, sekalian saja diganti. “ Ia menunjuk setumpuk sampul baru di kiri nakas. Mendengar itu, Kanaya diam-diam keberatan. Menyampul memang pekerjaan mudah, tapi sangat menguras waktu dan kesabaran. Kalau buku sebanyak itu, butuh berjam-jam. “Kenapa? Tidak suka?” tegur Jung Man bersedekap. Jelas sekali kalau ia sengaja mencari masalah. Ruang baca itu sudah lama tidak digunakan. Beberapa raknya akan diambil dan disumbangkan ke perpustakaan kota. Jadi, sia-sia saja dibersihkan. Kanaya memilih untuk tidak menanggapinya. Pertanyaan itu bernada kesal, andai dilanjutkan pasti akan ada pertengkaran. Mood Jung Man benar-benar buruk, seperti singa yang menahan lapar sekian minggu. Diam-diam Kanaya menggidik, membayangkan kalau ia diteriaki. Lebih cepat pergi, lebih baik. Tapi sialnya, Jung Man terus ada di sana untuk mengawasi. Bahkan saat sudah dipunggungipun, bayangan tinggi lelaki itu begitu menganggu. “Kamu tidak memberitahu manager tentang mabukku, kan?” tanya Jung Man memecah hening. “Ti-tidak, saya bahkan tidak punya nomornya,” sahut Kanaya takut-takut. Dari sudut pandang Jung Man, Kanaya seperti penjahat yang takut ketahuan. Wajar, sentuhan level ciuman sudah di luar batasan. Sebagai idol, ia begitu hati-hati. Tidak suka bergaul dengan wanita selain teman lama atau keluarga. Tapi malah kecolongan dengan stylish magang. Jadi enaknya diapakan? “Jadi kamu langsung pulang? Bagaimana dengan supir penggantinya? Dia tidak mengambil gambar atau apapun, kan?” Jung Man masih mencoba bicara, menahan keinginannya untuk to the point saja. “Iya, saya langsung pulang.” Kanaya masih terus membersihkan sembari sesekali melirik lewat sudut matanya. Mana berani ia menatap langsung? Di belakangnya, berdiri lelaki tinggi memakai boxer, lebih dari itu. Itu Joen Jung Man. Idol yang siaran livenya begitu dinantikan jutaan wanita. Kira-kira bagaimana perasaan penggemarnya kalau situasi ini ketahuan? Ini adalah alasan kenapa staf para bintang harus dipilih dari kalangan non fans. “Dengar, mau lihat rekaman cctv?” Jung Man sudah hilang sabar. Ia mendekat, memasang badan tingginya tepat di hadapan Kanaya. Gadis itu terkesiap dan secara refleks mundur. Nyaris jantungnya meloncat lantaran kaget. Mata monoloid Jung Man melebar, menangkap sesuatu penuh kecurigaan. “Kamu terkejut karena di ruang tamu ada cctv, kan? Sisi kiri kepalaku sedikit lebam. Pasti kamu tahu kenapa bisa begitu. Tubuh idol aset, kalau sampai aku luka parah, siapa yang akan bertanggung jawab?” Kanaya menelan salivanya penuh kegugupan,”luka?” “Jangan berkilah, kamu yang mendorongku, kan?” Jung Man tersenyum masam, kembali mendekat dengan tatapan penuh intimidasi. “Jujur saja atau aku akan melaporkanmu pada Aera. Ayo katakan, apa yang terjadi sebenarnya semalam.” “Saya benar-benar tidak ingat…,” “Jadi, kamu lebih memilih melihat rekaman cctv? Yakin tidak malu?” Jung Man mulai terpancing emosi. Yang dibutuhkannya sekarang adalah penyesalan dari mulut Kanaya. Jadi di kemudian hari, tidak ada alasan untuk mengulangi. Jujur saja, idol juga laki-laki biasa. Melihat Kanaya yang berbeda dari kebanyakan wanita Korea, Jung Man sedikit banyak merasakan ketertarikan. Dalam hal ini, ia lebih suka warna kulit eksotis ketimbang putih pucat. Saat melihat Kanaya pertama kali, Jung Man langsung penasaran. “Saya minta maaf, tapi itu benar-benar tidak sengaja.” Akhirnya Kanaya mendongak, membalas tatapan Jung Man dengan hati yang tidak karuan. “Katakan dengan jelas, minta maaf soal apa.” Jung Man menantang, membuang rasa malu juga belas kasihan. Dicengkeramnya lengan kecil Kanaya hingga gadis berambut panjang itu tidak lagi punya ruang untuk melarikan diri. Namun alih-alih mengancam, Jung Man justru terpaku saat melihat Kanaya dari jarak dekat. Mata lebar dengan kelopak cantik itu membuat tubuhnya seketika kaku. Apa ini? Batin Jung Man menepis perasaannya sendiri. Di detik berikutnya, matanya beralih ke bawah, melihat bibir Kanaya yang digigit lantaran gugup. Bukankah balasannya harus setimpal? Mata dibalas mata, gigi dibalas gigi? Bisik alam bawah sadar Jung Man usil. Tidak ada salahnya menghujani Kanaya dengan ciuman lagi. Gadis itu kini ada di hadapannya, terkurung layaknya manusia yang punya hutang besar. Jung Man menelan salivanya lalu merangsek maju, memberikan sebuah kegilaan yang sama seperti yang Kanaya berikan padanya semalam. Inikah rasanya perempuan? Manis, penuh gairah sekaligus racunnya. Sekali menyesap, tubuh akan ketagihan selamanya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN