"Apa tidak berlebihan menjebloskan mereka ke penjara?"
Pras menatap kesal pada Sasmita, "Setelah apa yang mereka perbuat? Apa kamu tahu yang dilakukan Haryo dua puluh lima tahun ini di pabrik?"
Sasmita terdiam, tentu dia tahu apa yang dilakukan pria tua itu, sudah santer terdengar jika terkadang Haryo memangkas gaji pegawai di pabrik dengan berbagai alasan. Bonus yang setiap tahun diberikan perusahaan, malah masuk ke kantong pria itu.
Tentu saja itu sudah melanggar aturan dan Haryo pantas mendapatkan hukuman. "Ayo makan, makan malamnya sudah siap." Ujar Sarti memecah keheningan.
Pras lantas beranjak dari duduknya, dan memasuki rumah. Di teras Sarti mendekati putrinya dan berkata, "Kamu sudah ingatkan Nak Pras minum obatnya belum?"
"Belum, Bu."
"Ya wis, nanti setelah makan ingatkan Nak Pras."
**
Pras mencoba merenggangkan otot bahunya beberapa kali yang terasa kaku, sebelum melepas kemeja yang pria itu gunakan. Dia mendekati sebuah kaca yang ada di kamarnya dan membalikkan badan untuk melihat kondisi punggungnya.
Pras sedikit meringis ketika mendapati punggungnya berwarna keunguan dan rasa sakit itu mulai ia rasakan. Segera saja Pras mengambil es batu dan mengompres punggungnya. Dia sedikit kesusahan karena tangannya tak menjangkau beberapa titik luka keunguan di punggungnya.
Pras mendesah. Tidak mungkin ia meminta tolong pada keluarga Sasmita, karena hari sudah cukup malam, pasti mereka sudah tidur cukup lelap.
Pras memilih mengambil sebuah kaos dari dalam lemari dan memakainya pelan - pelan, sebelum pria itu merebahkan tubuhnya di atas ranjang. Lambat laun, karena terlalu lelah Pras sudah tertidur cukup pulas.
**
"Apa kita ndak bangunkan Nak Pras, Ta? Ini sudah jam sepuluh loh." Sarti berujar dengan nada penuh ke khawatiran. "Biar Saskia yang tengok Om Pras, Bu." Ujar gadis itu yang langsung melangkahkan kaki keluar rumah.
Sampai di depan pintu tempat tinggal Pras, Saskia beberapa kali mengetuk rumah itu, namun anehnya tidak ada sahutan dari dalam sana.
Saskia mulai berpikir, apakah Pras pergi? Tapi tidak mungkin, seharusnya jika Pras pergi, keluarganya pasti tahu.
Sekali lagi Saskia mengetuk pintu rumah Pras agak kencang, tapi yang Saskia dapati pintu rumah itu tiba - tiba saja terbuka dengan sendirinya. Saskia pun melongok kepalanya ke dalam, jika Pras pergi, harusnya lampu di rumah itu di matikan dan pintu rumahnya terkunci. Apa Pras lupa mengunci pintunya?
Saskia pun melangkahkan kaki bermaksud mematikan lampu - lampu di rumah itu. Ketika semua lampu sudah ia matikan, Saskia melihat dari celah - celah pintu ada dari salah satu kamar, terlihat lampu di sana masih menyala. Penasaran. Saskia membuka pintu itu dan terkejut melihat Pras tengah tidur tapi ia seperti gelisah.
Saskia lantas mendekat, ia bisa melihat butir - butir keringat berada di kening Pras. Refleks, Saskia menyentuh kening Pras dengan punggung tangannya yang sontak membuat pria itu terbangun. "Kamu kenapa di sini?" Tanya Pria itu dengan suara serak.
"Om sakit? Sebentar. Aku panggilkan Ibu dan Mbak Mita."
Belum sempat Pras berkata - kata, Saskia sudah berlari keluar dari kamarnya.
**
Masih segar diingatan Sasmita ketika adiknya tergopoh - gopoh memasuki rumah dan mengatakan jika Pras sakit. Sasmita, Sarti dan Saskia berlari tergopoh - gopoh menuju rumah Pras untuk melihat keadaan pria itu.
Sampai di sana, yang Sasmita lihat adalah Pras berbaring dengan peluh yang membasahi kening. "Tadi sudah Kia cek, panas sekali kening Om Pras, Mbak."
"Ambilkan termometer dan ponsel Mbak di rumah, Dek." Ujar Sasmita sembari membenarkan selimut yang menutupi tubuh Pras.
Tak seberapa lama, Sarti datang dengan membawa ember berisi air dan selembar kain. "Ini untuk mengompres Nak Pras. Ibu balik dulu ke rumah mau buatin Nak Pras bubur."
Sasmita mengangguk dan menerima ember itu. Diletakkannya ember itu di atas nakas, lalu ia membasahi kain itu dan meremasnya sebelum memasang di kening Pras.
Gerakan tangan Sasmita sontak terhenti ketika Pras menahan lengannya. "Jangan bawa saya ke puskesmas atau apapun itu." Guman Pria itu, entah tengah sadar atau tidak. "Itu bukan wewenang saya, Pak. Biar Dokter yang memutuskan."
"Mbak ini ponselnya." Sasmita melepas tangan Pras yang menyentuh lengannya ketika Saskia datang. Sasmita mengambil ponselnya yang di bawa Saskia dan berkata, "Tolong kamu periksa suhunya Pak Pras, biar Mbak hubungi dokter puskesmas."
**
Dokter menganjurkan Pras untuk rawat inap di rumah sakit, akan tetapi pria itu kekeuh ingin di rawat di rumah. Pada akhirnya, dokter melakukan tindakan menginfus Pras di rumah. "Saya tidak banyak membawa obat - obatan. Saya resepkan saja ya, ini nanti bisa di tebus di apotek."
"Untuk salepnya, nanti di oleskan di punggung yang memar ya. Kalau bisa sebelum di oleskan di kompres dulu dengan es batu."
"Iya, Dok."
"Kalau panasnya tidak turun, akan lebih baik diperiksakan ke puskesmas, biar ada penanganan lebih lanjut."
"Ah iya, Dok. Terima kasih."
"Saya pulang dulu, biar asisten saya menunggu di sini sampai cairan infusnya habis."
"Iya, Dok. Terima kasih."
Cairan infus itu habis sekitar dua jam kemudian. Perawat yang membantu juga sudah pulang dan obat - obatan yang Pras butuhkan sudah dibelikan Suwandi di apotek.
Kini Sasmita membantu Pras makan, walau hanya sekitar tiga suap saja, asalkan perut pria itu telah terisi. "Besok saja di kompres, Bapak bisa duduk membelakangi saya? Saya mau oleskan salep di punggung bapak."
Masih dengan keadaan lemas, di bantu Sasmita, Pras duduk membelakanginya.
Sasmita lalu menyingkap ke atas baju yang di pakai Pras, dan wanita itu meringis melihat punggung itu berwarna keunguan.
Perlahan Sasmita mulai mengoles salep itu di keseluruhan punggung Pras. "Apa sakit sekali, Pak?"
"Tidak."
"Maaf. Ini karena saya," Sesal Sasmita.
Pras menghela napas, dia menurunkan kaosnya, lalu berbalik menghadap Sasmita, "Bukan salah kamu."
Sasmita mendongak menatap mata Pras, saat itu Pras bisa melihat sorot mata itu yang tengah menatapnya dengan berkaca - kaca.
Pras tahu apa yang sudah dilewati Sasmita tidaklah mudah. Menjadi janda di usia muda di tambah lagi cercaan banyak orang. Untuk sampai titik ini dengan menahan tangis saja sudah cukup hebat.
Tanpa sadar, Pras menarik Sasmita ke dalam dekapannya, saat wajah Sasmita menyentuh d**a Pras, saat itulah tangis yang Sasmita bendung pecah sudah.
Sasmita terisak pilu dalam dekapan Pras sampai mereka tanpa sadar jatuh terlelap.
**
"Assalamualaikum-" Pagi - pagi sekali terdengar suara seseorang mengucap salam.
Suwandi yang tengah memberi makan ayam jago peliharaannya di samping rumah sontak menjawab salam itu dengan cepat. Dia melangkah ke halaman depan rumahnya dan terkejut ketika Kepala Desa datang dengan membawa isteri serta anaknya. "Astaga.. saya tidak tahu kalau bapak akan datang." Ujar Suwandi sembari mengusap telapak tangannya ke baju, sebelum mengulurkan tangan menyalami; Trisno Si Kepala Desa.
"Saya dengar Pak Prasetya sakit. Apa benar?"
"Oh benar - benar. Mari masuk, Nak Pras tinggalnya di rumah Siska."
"Kalau Pak Pras makan bagaimana?" Sahut Farida; Istri Kepala Desa. "Di rumah kami Bu Lurah."
"Ini Nak Prasnya berada di kamar. Mau langsung ke kamar apa duduk dulu?"
"Langsung saja ke kamar, Pak. Saya mau berbincang - bincang, sekalian memperkenalkan Zidan; anak saya." Ujar Trisno dengan bangganya.
Suwandi tentu mengangguk saja, dia mempersilahkan ketiga orang itu masuk dan langsung mengarahkan mereka menuju kamar yang di tempati Pras.
Sampai mereka berada di depan pintu kamar Pras, perlahan pintu itu Suwandi buka, dan Suwandi cukup terkejut melihat pemandangan di depan mereka. "ASTAGFIRULLAH! APA YANG KALIAN LAKUKAN?" Jerit Suwandi pada dua insan tanpa ikatan yang tengah berpelukan di atas ranjang sana.
**
"Mbok ya di pikir dulu to, Nduk, Nduk. Bagaimana bisa kamu tidur sama Nak Pras?"
"Kami tidak melakukan apa - apa, Pak."
"Meskipun kalian nggak melakukan apa - apa. Tapi apa pantas? Astagfirullah! Lalu bapak harus bagaimana Nduk? Kamu sudah mencoreng nama baik bapak!"
"Wes Pak, mereka memang nggak ngapa - ngapain to?"
"Tapi Pak Lurah sama Bu Lurah pasti dah berpikiran yang nggak - nggak, Buk. Pelukan mereka terlalu intim, orang yang melihat pun pasti mengira mereka kumpul kebo!"
"Lalu Mita harus bagaimana agar bapak tidak malu?" Tanya Sasmita putus asa. "Bapak nggak tahu. Bapak pusing!"
Suwandi memijat keningnya yang tampak pening. Tak seberapa lama, terdengar suara gaduh dari arah depan rumah. Sasmita sekeluarga lantas segera keluar rumah dan cukup terkejut melihat mantan Ibu mertua Sasmita datang bersama Bu Lurah dan beberapa saudara perempuan Agung.
Sasmita yang akan menyapa Ibu mertuanya, langsung terkesiap kaget, lantaran Nisa malah melayangkan sebuah tamparan tepat di pipi Sasmita, sampai meninggalkan bekas kemerahan. "Bu-"
"Dasar murahan! Belum enam bulan Agung pergi tapi kamu sudah berani sekali kumpul kebo!"
"Sejak awal kalau nggak karena Agung maksa buat aku merestui hubungan kalian. Mana sudi aku punya menantu murahan sepertimu? Melihat penampilanmu saja, aku sudah menduga kamu bukan wanita baik."
"Anda tidak bisa menghardik putri saya begitu!" Bela Sarti. "Buktinya sudah jelas. Bisa - bisanya Sasmita yang seorang janda menggoda Pak Pras yang sedang sakit? Itu karena dia memang haus akan belaian!" Sahut Bu Lurah.
"Astagfirullah." Suwandi dan Sarti beristigfar sembari mengusap d**a mereka. "Lebih baik Sasmita pergi saja dari kampung ini daripada mencoreng nama baik kampung ini!"
"Memang siapa kalian bisa mengusir Sasmita dari sini?" Suara itu terdengar lirih tapi menusuk.
Beberapa pasang mata yang berada di sana, mengalihkan pandangan mereka ke arah sumber suara dengan Pras yang berdiri sembari membawa cairan infus di tangannya. "Tapi Sasmita sudah tidak tahu malu memanfaatkan kelemahan bapak untuk menyalurkan kebutuhan biologisnya!" Ujar Farida membuat Pras mengernyit tidak suka mendengarnya.
"Menyalurkan kebutuhan biologis? ckck." Pras berdecak, dia melangkah mendekati Sasmita. "Lalu sangkut pautnya apa dengan kalian?"
"Ya sebagai Bu Lurah di sini, saya harus menjaga nama baik bapak dari janda kegatalan seperti Sasmita."
"Jaga ucapan Anda, Bu!" Desis Pras tertahan, langsung membuat Farida bungkam. "Kenapa yang saya pahami sejak tadi Anda selalu menyudutkan Sasmita? Kenapa kesalahan itu tidak Anda lemparkan ke saya? Bagaimana kalau ternyata saya lah yang menggoda Sasmita?"
Mereka semua bungkam. Tak terkecuali Sasmita yang kini merasa seluruh organ di tubuhnya tidak berfungsi lagi. "Tapi toh pada akhirnya dia mau - mau saja Anda ajak tidur. Bukankah Sasmita memang sama saja dengan janda yang haus-"
"Masa iddah kamu sudah berakhir kan?" Tanya Pras pada Sasmita, memotong ucapan mantan mertua Sasmita. "Sasmita?" Salah satu tangan Pras terulur menyentuh pipi Sasmita, hingga kini wanita itu yang awalnya tampak putus asa mengalihkan pandangan matanya, menatap Pras dengan sorot mata berkaca - kaca. "Masa iddah kamu sudah berakhir kan?" Ulang Pras dan langsung mendapatkan anggukan dari wanita itu.
Lantas, Pras melepaskan tangannya yang menyentuh pipi Sasmita, lalu menautkan jari memarinya di tangan Sasmita, sebelum menghadap Suwandi. "Saya mau membungkam mulut orang - orang di sini dengan mempertanggung jawabkan apa yang saya lakukan semalam, Pak. Saya mau minta restu menikahi Sasmita."
Semua orang terperangah tak percaya; tak terkecuali Sasmita.