Sebentar lagi hari sudah menjelang malam, namun hujan di luar sana tak kunjung reda dan malah semakin deras. Beberapa kali Pras mencoba mengecek pintu masuk rooftop dan tetap terkunci. Kini dia mulai kedinginan dan ketika Pras melirik Sasmita, tubuh wanita itu tampak menggigil kedinginan dengan kedua matanya terpejam.
Pras lantas mendekat, dia meraih telapak tangan Sasmita dan mendapati tangan itu terasa dingin. Panik. Pras mengangkat kepala Sasmita dengan kedua tangan dan yang ia dapat bibir Sasmita telah pucat. "Kamu kedingingan!"
Pras duduk bersila tepat di depan Sasmita, dia mencoba menggosok kedua tangannya, lalu menempelkan di kedua tangan Mita dan meniupnya beberapa kali. "Sasmita, hey!" Pras juga beberapa kali memanggil berharap wanita itu sadarkan diri.
"Sasmita, sadar, hey!"
"D—dingin.."
Tidak bisa begini, Pras tidak mau menjadi saksi seseorang mati di hadapannya. Dengan kesadaran penuh, Pras membuka kancing kemejanya hingga Pras bertelanjang d**a.
Pria itu memejamkan mata sebentar sebelum matanya tertuju pada kancing kemeja Sasmita, "Sasmita, saya harus melakukan ini. Bukan berarti saya mau memanfaatkan kelemahan kamu."
Pras memberanikan diri membuka satu persatu kemeja Sasmita.
Sasmita yang setengah sadar membuka matanya dan melihat Pras akan menelanjanginya, di sisa kekuatannya, Sasmita menahan tangan Pras, "Apa yang Anda lakukan, Pak?"
"Menolong kamu. Apa lagi?"
"T—tolong jangan.."
"Kamu mau mati kedinginan Sasmita?"
"Tapi—"
"Kalau kamu takut saya perkosa. Tidak akan. Saya berjanji. Saya hanya membantu agar kamu tidak menggigil kedinginan lagi."
Sasmita menatap manik mata Pras dan mencari kejujuran di sana. Pada akhirnya Sasmita mengangguk lirih, dia membiarkan Pras membuka satu persatu kemejanya, lalu membuka celana kain yang membalut tubuh bagian bawahnya.
Selanjutnya yang Pras lakukan adalah mengambil sebuah kardus yang tersimpan di pojok ruangan dan menjadikannya alas, sebelum pria itu mengangkat tubuh Sasmita, membaringkannya di atas kardus itu dan memeluk wanita itu sepanjang malam.
**
"Astagfirulloh."
Pras terkesiap. Di depan sana, ada seorang wanita berseragam office girl tengah membalikkan tubuh membelakangi Pras. "Ngg.. maaf mengganggu. Silahkan di lanjutkan."
"Hey! Ini tidak seperti yang kamu dug—" Tapi office girl itu segera berlalu tanpa mendengar Pras melanjutkan kata – katanya.
Pras lantas mengernyitkan dahi, karena sinar matahari segera menerobos masuk. Dia menatap ke arah Sasmita dan mengecek suhu tubuh Sasmita, lalu membandingkannya dengan suhu tubuh Pras.
Pras bisa bernapas lega ketika Sasmita tidak lagi demam dan kedinginan seperti tadi malam. Lantas pria itu harus membangunkan Sasmita dan meminta wanita itu segera memakai pakaiannya. "Sasmita, bangun." Pras menepuk pipinya beberapa kali.
Merasa ada yang membangunkannya, perlahan Sasmita membuka mata. Wanita itu pun melotot, melihat Pras hanya bertelanjang d**a.
Sasmita lantas menundukkan kepalanya, dia tentu tidak berani memandang sesuatu yang bukan miliknya. Namun saat itu barulah ia sadar keadaan dirinya juga tampak memalukan. "Tolong hadap belakang." Pinta Sasmita sembari menahan malu.
"Di mana baju aku?"
"Baju kamu masih lepek."
"Ada di sana." Lanjut Pras sembari menunjuk ke arah pakaian Sasmita yang teronggok di lantai, dengan posisi Pras yang membelakangi Sasmita.
Mengetahui bajunya berada di sudut ruangan, Sasmita segera memakai bajunya cepat, sesekali mengawasi Pras yang mungkin saja mengintipnya. "Tolong, jangan mengintip."
"Mengintip bagaimana? Aku sudah melihat semalaman."
"c***l!" Sasmita memukul punggung Pras menggunakan tasnya. "Sakit Sasmita!" Desis pria itu yang lantas berbalik dan menatap Sasmita kesal.
"Kamu memang pantas mendapatkan itu!"
Sasmita berdecih lirih, ia lalu beranjak dari sana dan meninggalkan Pras seorang diri.
Pras yang di tinggalkan begitu saja merasa jengkel, lantaran Sasmita tidak mengucap terima kasih setelah Pras semalam menolongnya. Jika tidak ada Pras, pasti sekarang Sasmita sudah menyusul suaminya di surga sana.
"Dasar janda tidak tahu terima kasih!" Gerutu Pras sembari memakai kemejanya kembali.
**
"Kamu darimana saja, Pras? Mengapa ponsel kamu tidak aktif?" Baru saja Pras menempelkan bokongnya ke kursi saat Siska tiba – tiba masuk tanpa mengetuk pintunya terlebih dulu. "Kamu sudah menemukan Sasmita kan? Di mana dia, Pras?"
Pras memijat pelipisnya yang terasa pening akibat pertanyaan beruntun yang terlontar dari bibir Siska. "Mungkin dia pulang ke apartemennya, Mbak."
"Tahu darimana kamu dia ada di apartemen?"
"Jadi kamu menemukan Mita tidak sih, Pras?"
"Iya menemukan. Tapi dia sepertinya pulang ke apartemennya."
"Lalu kenapa kamu tidak mengantarkannya?"
"Aku harus kerja Mbak. Waktuku akan habis jika terus mengurusi Sasmita. Lagipula dia sudah dewasa."
"Mbak nggak mau tahu, jemput Mita di apartemennya dan bawa Mita ke rumah Mbak."
"Astaga Mbak! Aku harus kerja."
"Oh jadi kamu mau Mbak mengadu ke Mas Cipto?"
**
Sasmita menurunkan koper dari ranjang yang berisi baju – baju yang akan ia bawa pulang ke kampung. Setelah pertimbangan panjang, ia memutuskan pulang kembali ke kampung halamannya tanpa membuat surat pengunduran diri secara resmi.
Dia tidak mungkin sanggup tetap bekerja di sana lagi.
Dijadikan sebagai barang taruhan cukup menyesakkan di hati. Dia tidak ingin semakin terluka dan tersakiti jika tetap memaksa kerja di sini.
Sasmita menggigit bibir bagian bawahnya agar air mata itu tidak tumpah. Jika mengingat kejadian kemarin, entah mengapa air matanya seolah tidak bisa di ajak kompromi.
Tapi dia tidak bisa cengeng seperti ini.
Buru – buru Sasmita mengusap air matanya yang menetes keluar, lantas segera berdiri memakai cardigan juga tas miliknya.
Saat dia keluar dari kamar, pintu apartemennya di gedor secara tidak sabaran. Sasmita mengernyitkan dahi merasa kesal pada orang di luar sana yang tidak tahu diri.
Dia meninggalkan kopernya begitu saja, dan segera membuka pintu karena tidak enak kepada tetangga sebelah. Saat Sasmita baru membuka pintu, ia dikejutkan oleh keberadaan Pras.
Ada apa lagi dengan pria ini?
"Apa lagi?"
"Kamu ikut saya ke rumah Mbak Siska." Dengan lancang, Pras meraih pergelangan tangan Sasmita. "Nggak saya mau pulang ke kampung halaman." Sasmita berusaha menarik lengannya yang di sentuh Pras.
"Pulang?"
Pras melotot. Dia menatap ke dalam apartemen Sasmita dan mendapati sebuah koper berukuran cukup besar berada di sana. "Kamu pikir perusahaan saya mainan?"
"Lepass!"
Sasmita menarik lengannya yang Pras cengkeram dengan cukup kuat. "Sakit, Bapak!"
"Kamu ikut saya!" Pras menyeretnya. "Nggak mau! Saya mau pulang!"
Kesal karena Sasmita terus menerus memberontak. Pras pada akhirnya mendorong tubuh Sasmita ke dinding dan mengimpitnya, "Turuti apa kata saya Sasmita atau saya berbuat cukup lancang kepada kamu." Desis Pras lirih.
Sasmita menggigit bibir bagian bawahnya, agar air matanya tidak tumpah. "Tunggu sebentar. Aku harus membawa koperku."
"Jangan sekali – sekali kamu mencoba kabur." Pras mundur beberapa langkah dan membiarkan Sasmita masuk ke dalam apartemennya untuk mengambil koper.
**
"Mita." Siska berlari dan langsung memeluk Sasmita cukup erat. "Bulik tidak tahu kamu berada di sini jika bukan karena ibumu menghubungi Bulik."
Sasmita tersenyum tipis pada Buliknya. "Mita mau balik ke kampung Bulik."
"Loh kenapa?" Siska mengajak Sasmita duduk di sofa. "Mita rasa lebih baik membantu Bapak Ibu di ladang."
Siska menghela napasnya, "Padahal Pras mau menjadikan kamu sekretarisnya."
"Sekretaris?"
"Iya, Sekretaris. Bulik sudah bicara dengan Pras, dan dia setuju. Iya kan Pras?"
Pras yang baru memasuki rumah mengernyitkan dahi, "Kamu sudah setuju menjadikan Mita sekretarismu kan, Pras?"
"Kapan Pras setu—"
Siska yang memelototinya membuat Pras kikuk, "Iya, kapan hari Pras setuju."
"Loh, Pras sudah setuju kamu jadi sekretarisnya, Ta. Kamu juga bisa tinggal di sini biar nanti kalau berangkat kerja bisa bareng Pras. Lagipula Bulik nggak tenang kalau kamu tinggal di apartemen sendirian."
"Mita bisa jaga diri, Bulik."
"No no. Bulik tetap tidak tenang. Kamu harus selalu ada dalam pengawasan Bulik."
**
Setelah makan malam, Pras mengajaknya duduk di teras dan membicarakan pekerjaannya. "Kamu bekerja bukan sebagai sekretaris saya, melainkan asisten."
"Asisten?"
"Iya asisten. Tugas kamu nanti adalah menyiapkan segala kebutuhan saya, mulai dari bangun tidur sampai saya mau tidur."
Sasmita menatap Pras dengan pandangan yang tidak biasa, "Memang Bapak seorang bayi?"
"Bayi? Bayi katamu?"
Dengan polosnya Sasmita mengangguk, "Seorang bayi memang segala kebutuhannya harus di siapkan Sang Ibu."
"Kamu—"
"Jangan memelototi saya seperti itu, Pak. Bapak tampak lebih tua sepuluh tahun dari umur bapak."
"Kamu—"
"Selamat malam. Sampai bertemu besok pagi, Pak."
Buru – buru Sasmita mengakhiri pembicaraannya. Dia beranjak dari teras rumah Siska memasuki rumah sebelum mendapat semprotan dari Pras.
**
"Loh ini masih setengah tujuh tapi kamu sudah rapi."
"Mita mau membangunkan Mas Pras, Bulik."
"Oh iya, kamu kan kerjanya ikut Pras sekarang. Tapi biasanya jam segini dia sudah bangun. Kalau memasuki rumahnya, jangan menunggu ada yang bukakan pintu, langsung masuk aja ke dalam."
"Iya Bulik."
Sasmita mengangguk. Ia segera keluar dari rumah menuju rumah Pras yang bersebelahan dengan rumah Siska.
Sampai depan pintu rumah Pras, rasanya tak elok jika Sasmita masuk begitu saja. Akan lebih baik jika Sasmita mengetuk pintu terlebih dulu sebelum masuk dan pintu rumah Pras tidak terkunci.
Sasmita di sambut dengan pemandangan ruang tamu Pras yang cukup rapi, meski hanya ditinggali seorang diri. Melangkah ke dalam, Sasmita di sambut dengan interior rumah Pras yang tampak hangat walau ditinggali seorang diri. Lalu pandangan Sasmita tertuju pada sebuah bingkai foto besar yang ada di ruang keluarga. Di mana di foto itu terdapat Cipto, Siska dan Pras yang tampak masih muda.
Jika melihat Pras di foto itu, Sasmita menduga jika sejak remaja memang Pras adalah seorang cassanova. Lihat saja tampangnya yang tengil itu..
Meski begitu, Sasmita tidak menampik jika Pras memang cukup tampan.
"Saya tahu saya tampan. Kamu tidak perlu memandang foto saya terlalu lama seperti itu."
Sasmita mengalihkan pandangannya bermaksud ingin mengelak, tapi melihat Pras membuat Sasmita berjungkit dan kembali membalikkan badannya. "Astagfirullah.."
"Kamu pikir saya setan?" Tanya Pras tersinggung. "B—bapak tidak pakai baju."
"Saya selesai berolahraga. Lagipula, saya masih memakai celana dan tidak telanjang bulat."
"Tapi tetap saja. Ini terlihat memalukan."
"Terserah kamu. Saya mau mandi. Buatkan saja saya kopi."
"Hmm.. baik, Pak."