“Aku tahu ….
Aku hanyalah tempat persinggahan baginya.
Bukan tempat untuknya pulang.
Aku tahu ....
Seharusnya aku mengubur asaku.
Berusaha lebih keras mengabaikan rasa.
Membatasi anganku.
Aku tahu harapanku tak akan berbalas.
Aku juga tahu, aku bukan siapa-siapa.”
CHANA POEM
⠀
Apa kamu tahu bagaimana rasanya menjadi wanita simpanan ...?
Ketika kehadiranmu tidak pernah menjadi prioritas utama. Kamu hanyalah sebuah rahasia yang tidak boleh terungkap.
Hidup seperti ini ... benar-benar sunyi.
Bahagia, marah, kecewa, sedih, bahkan cinta ..., tak perlu dirasa-rasa lagi. Semua cukup dibungkus senyuman. Air mata sama sekali tak berarti. Karena kamu hanyalah Barbie. Boneka yang sejak awal dibeli untuk hiburan di kala senggang. Dipermainkan sesuka hati.
Aku tak pernah menduga diriku akan berakhir seperti ini. Aku tak pernah minta jadi begini. Aku gadis baik-baik tadinya. Gadis yang bisa menjaga diri. Gadis yang punya banyak mimpi. Gadis yang punya harapan dan cita-cita yang begitu tinggi. Sayangnya aku lupa semua itu. Aku terlahir kembali dengan ingatan yang kosong.
So empty.
Lalu ... aku bertemu dengannya. Pria otoriter yang mendikteku dengan manis.
Terpikat padanya?
Ya, jelas!
Memangnya siapa yang tidak akan mengaguminya?
Dan aku jatuh, tertawan oleh pesonanya dengan begitu mudah.
Aku sudah terlanjur terjerumus.
Koreksi, aku terlanjur menjerumuskan diri dengan kesadaran total. Padahal dia memberiku pilihan dan tidak memaksakanku untuk melakukannya. Hanya saja, aku bukan orang yang senang berhutang budi pada siapa pun. Aku ingin membalas kebaikannya.
Benarkah?
Ataukah sesungguhnya aku memang sudah menyukainya sejak awal?
Inilah hidupku. Semua impianku kandas, seperti yang sebelum-sebelumnya. Diriku yang lama, pastinya begitu membenci diriku yang sekarang.
Aku wanita simpanan?
Iya.
Tapi aku BUKAN Pelakor.
Aku bukan wanita perebut suami orang.
Pria itu hanya seorang duda. Duda yang begitu mencintai mendiang istrinya. Tidak akan ada wanita mana pun lagi yang bisa mengetuk hatinya. Hatinya sudah beku. Begitu dingin seperti es abadi. Tidak ada konsep pernikahan ke dua dalam prinsipnya. Itu artinya, tidak ada masa depan untukku.
Dia menginginkanku, tanpa ikatan. Hanya untai rayuan, betapa aku berharga baginya dan ia tak bisa kehilanganku. Dulu ... kukira itu cinta. Tapi ternyata anganku terlalu tinggi. Hubungan kami sekadar kontrak simbiosis mutualisme yang saling menguntungkan.
Aku butuh perlindungan darinya dan dia membutuhkanku untuk ....
Ah ... sudahlah.
Semua sudah berakhir.
***
Chana menutup buku hariannya. Rasanya cuma segitu yang bisa ia tulis untuk penutup kisahnya.
Ia mendesah lelah. Menatap langit-langit kamar. Deburan ombak terdengar dari kejauhan. Mengingatkannya bahwa ia berada di tempat yang sangat terpencil saat ini. Menyendiri. Berpaling dari kehidupan lamanya yang memalukan.
Benarkah semuanya sudah berakhir?
Sungguh kisah cinta terpendam yang menyedihkan. Cinta yang bertepuk sebelah tangan. Cinta tak berbalas. Cinta antara sahaya dan raja. Mana mungkin cinta seperti ini berakhir bahagia.
Tragis.
Bad ending. Sad ending.
Poor Chana.
Ternyata begini saja kisah kasih Chana yang malang.
Chana sudah pergi sejauh ini. Lari dari kenyataan. Menghindar dari semua masalah yang mencekiknya. Bersembunyi dari siapa pun yang pernah ia kenal. Tetapi masih saja belum menemukan ketenangan.
Seandainya … amnesia bisa terjadi berulang kali.
Adakah nyata mantra atau jampi memori? Maka Chana lebih senang membuang semua ingatan menyakitkan ini.
Ia meraba perutnya yang kembali datar. Tidak ada denyutan apapun lagi di sana. Tak ada pula tendangan kuat atau tonjolan yang biasanya tiba-tiba bergerak. Pelipur laranya telah pergi.
Air matanya kembali merebak. Mengalir begitu deras. Ia terisak pilu.
Setelah sekian lama ia mencoba mengerti, menekan prinsip teguh yang ia pegang selama ini. Memberi waktu dan kesempatan. Namun … pria yang ia cintai rupanya tak punya cinta sebanyak yang ia beri. Bahkan ikatan yang nyata pun bukannya semakin mendekatkan mereka, tapi malah membuat jurang pemisah itu bertambah lebar dan semakin dalam saja. Hanya karena satu kesalahan yang bahkan tidak pernah ia inginkan. Lalu untuk apa lagi ia berada di sana? Mengharapkan hati yang telah mati.
Sudah cukup ia terluka.
Sekarang tak ada lagi yang tersisa darinya. Kembali Chana mengusap perutnya.
Ia sendirian lagi.
Tanpa harapan.
“Ya, Tuhan ….
Jangan biarkan aku berprasangka buruk pada-Mu.
Jangan biarkan aku berprasangka buruk pada-Mu.
Sudah cukup aku lari dari-Mu satu kali.
Jangan biarkan aku berprasangka buruk pada-Mu.”
Ucapan itu berkali-kali ia lafalkan dalam hati.
Chana mencoba mengingat-ingat kembali. Apa yang terjadi padanya adalah takdir. Sudah kehendak Yang Maha Kuasa ia harus melewati langkah demi langkah. Garis tangan yang telah lalu, jelas sudah tidak bisa ia rubah lagi. Tapi takdir masa depan, masih bisa ia tata kembali.
Sekarang, Chana yang kemarin sudah tiada.
Ia telah mengingat siapa dirinya yang sejati.
Ia harus mulai dari awal lagi.
⠀
Pintu kabinnya diketuk dari luar. Membuat Chana tersentak dari lamunan suram masa lalu.
Apakah pengantar bahan makanan sudah datang? pikirnya.
Chana menyeka air matanya. Menutup wajahnya dengan cadar. Ia tidak ingin ada yang mengenalinya di sini.
Ketukan di pintu semakin keras.
Siapa pun yang mengetuk pintu itu sepertinya bukanlah orang yang penyabar, batin Chana.
Kenapa ada kesan orang ini berniat mendobrak kabinnya?
Chana membuka pintu. Mengintip.
⠀
“Miss me?” Mata dengan irish cokelat kemerahan itu menatapnya tajam.
Jantung Chana seakan berhenti berdetak.
“Kamu kira, seberapa jauh kaki mungilmumu bisa lari dariku, Liliputku, hum …?”
Chana menelan ludah.
“Bukankah sudah kubilang, aku TIDAK akan pernah melepaskanmu!”
⠀
Pria itu ....