“Ini ‘kan surga.
Wajar saja bila ada bidadari yang asyik berenang di telaga.
Bersenandung merdu hingga iramanya menggetarkan jiwamu.
Dia cantik, ‘kan?
Kamu suka?
Jangan ragu ….
Dia memang penawar dahaga buatmu, Rajaku.”
Kirani – Poem dan Sketsa
⠀
Chana menghenyakkan pinggulnya ke atas batu cadas, lalu menceburkan kakinya ke dalam kolam halaman teras belakang mansion. Kolam dengan desain menyerupai telaga alami. Pepohonan dan tanam-tanaman hias menghiasi sekelilingnya. Pasir di dasar kolam begitu putih dan lembut ketika dipijak, serupa pasir pantai. Tampak begitu asri.
Bebatuan di dalam air berwarna-warni dalam berbagai ukuran. Ada yang berwarna hitam, putih bening, kecoklatan, ada juga seperti batu apung, coral, kerang-kerang kecil, bebatuan berkilau serupa safir. Semuanya bersinar ketika tertimpa pantulan cahaya mentari.
Batu-batu cadas besar ditaruh mengitari kolam, menyerupai relief tebing dan dibentuk bertingkat-tingkat. Sementara itu, di sela-sela bebatuan mengalir air terjun buatan. Di tepian kolam tertata apik beraneka ragam bunga dengan wangi semerbak. Sangat memesona. Tempat ini sungguh laksana surga! Mirip seperti lukisan yang Chana temukan di menara. Taman dan telaga para peri.
⠀
Chana tertawa gembira saat merasakan sejuknya air kolam. Air yang jernih membuat Chana bisa melihat dengan jelas ikan-ikan hias mungil yang menghampirinya. Sesekali mereka menyundul-nyundul kakinya, kemudian berenang memutari Chana dengan anggun.
"Hai … ikan cantik," sapa Chana pada makhluk mungil yang menghampiri jemarinya. Ikan kecil itu seolah merayunya untuk ikut terjun, berenang bersama mereka.
Chana berpikir sejenak. Sore ini begitu gerah dan kolam peri ini sangat menggoda kesejukannya. Apa sebaiknya ia berenang saja, ya? Lagi pula Chana sendirian di sini, tidak akan ada yang melihatnya.
Ia menggigit bibir, berpikir sejenak, kemudian menyerah. Lalu melepas pakaiannya, menaruhnya satu per satu di atas bebatuan cadas tepi kolam. Dengan perasaan gembira Chana menceburkan diri hingga ke dasar kolam.
Hah … kesejukannya sungguh mengejutkan pori-pori kulitnya. Chana tertawa saat kembali muncul ke permukaan, memercikkan air ke wajahnya. Penasaran, perlahan ia bergerak menuju tengah kolam. Ternyata permukaan air di sana sedikit lebih dalam dibanding di tepian, bahkan nyaris mencapai leher Chana.
Iseng ia membenamkan tubuhnya kembali ke dalam air. Rambutnya yang panjang mengambang di atas sana. Ia menahan napas selama beberapa saat, kemudian muncul kembali ke permukaan dengan tawa ceria. Sesekali Chana mencoba berenang. Tapi tidak bisa. Ia lupa, apakah ia memang tidak bisa berenang dari dulu atau baru sekarang saja? Jadi, Chana hanya berenang sambil melangkah. Ia tidak peduli, yang penting ia senang. Tawanya lagi-lagi mengisi kesunyian kebun belakang mansion itu. Gelak gembira dan kekanak-kanakan. Begitu lugu tanpa kepura-puraan.
Sesekali ia bersenandung, lagu yang ia dengar di dalam ponsel yang diberikan Dokter Alfaraz waktu itu.
⠀
“Dalam bias cahaya senja.
Alunan nada indah menggaung di telaga.
Seakan berada dalam gelembung sabun yang beterbangan.
Pecah di udara sambil melantunkan irama.
Menuntunku untuk terus berlari mencarinya.
Menemukannya.
Lalu … menjadikannya laguku.
Simfoni pembuka kisahku.
Akankah ceritaku berakhir bahagia?
Oh … kuharap akulah takdirmu.
Kuingin kita bahagia.
Selamanya bersama.
Menua hingga senja berganti malam.
Lalu berbaring berdekapan di peraduan.
Tersenyum dalam lelap kesunyian.
Damai bersamamu.
Kuingin kita ditakdirkan cinta selamanya.
Meski senja telah berganti malam.”
⠀
Chana memandangi langit di atas sana. Matanya dengan iris kelam itu berbinar riang.
Ngomong-ngomong soal Dokter Alfa, pria itu hanya mengabarinya sesaat sebelum Chana dijemput dari rumah Sakit. Cuma sekedar mengkonfirmasi bahwa sopir yang akan mengantarkan Chana sedang menuju ke ruangan di mana Chana dirawat. Lalu mengatakan kalau Chana sudah sampai di tujuan, tidak perlu sungkan dan anggap saja rumah sendiri. Lalu dokter itu menghilang tanpa kabar, padahal sudah hampir satu minggu lebih Chana tinggal di sini.
Ia tidak sendirian memang, tetapi bertiga dengan Mbok Sumi dan Pak Mansur, asisten rumah tangga di mansion ini. Mereka berdua menempati paviliun barat mansion ini.
Pasangan tua itu hanya muncul di pagi hari untuk membuatkan sarapan dan bersih-bersih rumah serta halaman depan dan belakang. Lalu di jam makan siang atau malam untuk menghidangkan menu sesuai dengan catatan yang telah ditinggalkan dokter Alfa, serta mengawasi Chana untuk meminum obatnya. Kemudian pasangan sepuh itu kembali ke peraduan mereka di sayap barat. Jadi, sore ini Chana merasa bebas di kolam ini.
Life is so easy here.
⠀
Saat pertama kali sampai di gerbang masuk tempat ini, Chana membaca gapura bertuliskan 'Nirvana Castle – Puri Nirwana'. Matanya menatap takjub semua bangunan yang ia lewati. Mungkin sopir yang mengantarnya bisa saja berpikir Chana teramat norak. Tapi siapa, sih, yang tidak akan terpesona menatap tempat dengan tingkat kemewahan luar biasa ini?
Cafe dan pertokoan, taman dengan spot olah raga, mall, belum lagi rumah-rumah mewah, gedung bertingkat yang mungkin saja apartemen atau entah apa. Semua bersolek dengan keglamoran tak terkira.
Chana sempat ragu ketika Pak Sukri menghentikan mobil persis di depan pagar rumah yang begitu megah.
“Bapak yakin saya disuruh tinggal di sini?" ucap Chana cemas.
"Iya, Non. Mas Daniyal yang suruh antar Non ke mansion ini."
Alis Chana bertaut. Namun belum sempat ia bertanya siapa itu Mas Daniyal, Pak Sukri sudah menghentikan mobil tepat di depan teras rumah. Membukakan pintu untuk Chana.
Bibir Chana ternganga lebar melihat bangunan di hadapannya. Pantas saja Pak Sukri menyebut rumah ini mansion. Sulit mengungkapkan bentuknya dalam untaian kata. Tapi, entah kenapa, Chana merasa tidak pantas berada di sini. Tempat ini terlalu megah. Ia kira, Dokter Alfa hanya mengontrakkan rumah sederhana untuk ia tempati sementara. Secara mereka ‘kan tidak punya hubungan apa-apa. Ternyata ....
Ia tinggal di sini laksana ratu saja. Chana hanya bersantai, makan, bersantai lagi. Sehari dua hari tak apa. Hari ketiga Chana mulai bingung, bosan dan ia ingin mengerjakan sesuatu. Sesuatu yang membuatnya sibuk, yang tidak membuatnya banyak berpikir tentang masa lalu yang hilang dan masa depan yang tak menentu.
Dokter Alfa juga tidak menelpon lagi atau bahkan menengok ke sini. Kalau memang katanya Chana akan tinggal bersama Dokter Alfa, sepertinya itu hanya candaan iseng untuk menakut-nakutinya.
⠀
Chana menyiram-nyiram badannya, menyelam, memandang ke bawah air, sesekali menjangkau bebatuan coral yang tersebar di dasar kolam.
Apa boleh ia mengambil beberapa untuk dibuat keterampilan, pigura foto mungkin atau hiasan dinding?
Chana begitu bersemangat ketika dihari ke tiga ia menjelajahi semua ruangan di mansion ini, ia menemukan menara yang penuh dengan semua bahan keterampilan. Sangat lengkap dan masih bisa berfungsi dengan baik. Entah punya siapa. Tapi melihat kondisi tempat itu yang sedikit berdebu, sepertinya sudah tidak ada yang menjamah ruangan itu lagi sejak lama. Rugi sekali kalau tidak dimanfaatkan.
Ia tidak bisa bertanya pada Mbok Sumi karena Mbok Sumi sepertinya tidak bisa bicara. Sejak awal Chana sampai di sini, Mbok Sumi hanya memberi bahasa isyarat tangan padanya. Dan pak Mansur, punya kesulitan mendengar. Jadi Chana mengizinkan dirinya sendiri menggunakan barang-barang di menara. Lagi pula Dokter Alfa bilang 'kan, 'Tidak perlu sungkan, anggap rumah sendiri'.
Chana menatap batu-batu mungil di telapak tangannya.
"Dokter Alfa tidak akan sadar kalau kamu hilang, 'kan?"
Nah, sekarang ia mulai bicara dengan batu!
***
Daniyal meregangkan tubuhnya setelah menutup pintu mobil. Ia baru saja sampai di rumah ini, lagi. Rasanya sungguh tidak sabar ingin bertemu Chana.
What?!
Daniyal melongo, menggelengkan kepala.
Ini pasti cuma karena ia khawatir pada kondisi kesehatan Chana. Gadis itu pasiennya, jelas dibawah tanggung jawabnya. Chana masih butuh perawatan lebih supaya bisa sembuh total. Besok mereka juga harus pergi terapi. Jadi mau tidak mau, suka tidak suka, Daniyal harus kembali menjejakkan kaki ke mansion ini lagi. Bertemu langsung dengan Chana.
Beberapa hari belakangan ia belum bisa menemui gadis itu karena banyaknya jadwal operasi, seminar dan laporan-laporan yang harus ia selesaikan di rumah sakit. Ia juga gengsi memberi kabar. Ia ingin Chana yang menelponnya duluan. Tetapi kenapa gadis itu tidak menelepon juga?! Tidak tahu terima kasih! Daniyal merengut.
Ia melangkah memasuki rumah. Pak Mansur dan Mbok Sumi pasti sudah di paviliun mereka sekarang. Daniyal melepas kancing kemejanya, mempertimbangkan mencari Chana atau ke kamarnya dulu. Mungkin lebih baik ke kamar dulu, ia harus mandi dan menyegarkan diri untuk menghilangkan penatnya. Badannya juga terasa gerah dan lengket.
Namun langkahnya terhenti begitu membuka pintu. Ia membeku. Menatap nanar pemandangan di dalam ruangan. Ia tidak salah tempat, ‘kan? Daniyal mengejapkan mata, melangkah mundur ke luar kamar. Meyakinkan diri bahwa ia memang memasuki kamar yang sama di mana ia tidur seminggu lalu. Daniyal luar biasa shock menyaksikan kamar ini ... HANCUR!
Berantakan!
Pakaian-pakaian Kirani bertebaran di atas ranjang, bahkan jubah mandi pun teronggok di sana. Beberapa buku menumpuk di berbagai tempat, selimut jatuh ke lantai. Ada banyak bungkus cemilan yang berserakan di mana-mana, piring kotor bekas kue di atas meja rias, minuman jus yang sedikit tumpah menodai taplak meja krem rajutan Kirani. Meninggalkan warna merah melebar di sana. Sofa santai ditimbun banyaknya kain-kain perca yang sepertinya berasal dari menara. Buku-buku keterampilan juga bertebaran di sana. Tapi di mana bidangan sulaman Kirani? Bukannya itu seharusnya di atas sofa?!
Daniyal menggeram.
Ini benar-benar keterlaluan!
Gadis itu diberi tumpangan di sini, tapi malah mengobrak-abrik kamar ini! Menjarah menara, merusak seluruh kenangan Kirani!
Daniyal melangkah murka keluar kamar. Meneriakkan nama Chana. Tapi gadis itu tidak ada di mana-mana.
Masih dengan rasa kesal yang memuncak, ia pergi ke ruang kerja, menghidupkan komputer, mencek CCTV. Tidak ada Chana di ruangan mana pun.
Di mana wanita itu? Mulai muncul sebersit rasa khawatir di hatinya. Apa jangan-jangan memang ada perampok yang masuk dan mengacak-acak kamar?
Dengan jantung berdebar kencang, Daniyal kembali mencek CCTV. Kali ini di teras dan pekarangan depan, samping dan belakang. Tidak ada yang mencurigakan. Atau di kamar mandi. Mana mungkin. Kalau Chana menggunakan kamar Kirani, tentu ia akan mandi di sana.
Daniyal mendesah berat. Ia duduk. Menarik napas, memejamkan mata, mencoba mengendalikan diri. Ia harus berpikir tenang. Gadis itu begitu kecil dan kurus. Dia bisa saja terselip di ruangan mana pun, di balik benda apa pun dan tidak akan ada yang lihat.
Yeah ... pasti begitu.
Netra coklat kemerahan itu menyipit, berkonsentrasi menatap monitor pengontrol CCTV. Kemudian melihat pergerakan air di kolam belakang.
Apa itu benda hitam yang bergerak di air?
Sepertinya ada yang mengambang di sana.
Seketika kesadaran menghantam Daniyal.
Ya Tuhan!
Gadis itu tenggelam di kolam!
Daniyal hampir meloncat pergi kalau saja tidak melihat rambut yang mengambang tadi mulai menampakkan pemiliknya. Kulit yang putih terpantul sinar mentari senja, pinggangnya begitu ramping dan gadis itu sedang tertawa entah karena apa. Menari dan memercikkan air ke mana-mana.
Daniyal terpana. Matanya bergerak ke atas dan ke bawah. Gadis itu tidak kurus-kurus amat. Pinggulnya juga bagus. Dan dia tidak mengenakan apapun!!!
Sial!
Daniyal menahan napas. Merasakan sesuatu dalam dirinya yang telah lama koma mulai bangkit dan menggeliat kembali.
Sial!
Sialan!!!
Ia memalingkan wajah. Keringatnya mulai membasahi pori-pori. Ia mengepalkan tangan kuat, menggigit bibir kesal. Rasanya ingin meledak, tapi Daniyal tahu itu bukan amarah. Ia menarik napas dalam-dalam. Menahan diri untuk tidak menengok layar CCTV lagi.
Hah! Gadis bodoh itu apa tidak takut dilihat orang?!
Dalam kondisi... naked pula...?!
Apa dia tidak takut diperkosa?
Bagaimana kalau ada penjahat yang tiba-tiba muncul di sini!
Amarah Daniyal kembali naik ke ubun-ubun, mematikan hasratnya yang baru saja lahir kembali. Ia melangkah murka menuju kolam.