CB 2. Mawar Putih Gugur — Fallen White Rose

1916 Kata
November 2011 “Ini pertama kalinya aku merasa tak berdaya. Tidak mampu memutar waktu. Tidak sanggup melawan takdir. Satu kesempatan saja dan aku akan mengubah segalanya. Aku mohon. Beri aku satu kesempatan saja. Dia hidupku, cintaku, segalanya bagiku ....” Daniyal – Andai Bisa Membalik Waktu ⠀ Mendung. Bayangan awan mulai memunculkan bercak-bercak di permukaan tanah. Gerimis di hari yang panas. Mata cokelat kemerahan itu menatap hampa, tanpa nyala kehidupan. Seolah telah kehilangan nyawanya. Perlahan, satu per satu para pelayat mulai berpamitan. Menyalaminya. Mengucapkan lantunan kata ‘sabar’, ‘tabah’, ‘ikhlas’, berulang-ulang silih berganti. Menepuk pundaknya, mengusap punggungnya. Hampir semua ucapan itu tidak terasa menghibur lagi efeknya baginya. Mereka semua bisa mengatakan hal itu, tapi belum tentu ikut merasakan perasaannya yang sesungguhnya. Kesedihan ini membuatnya ingin menjerit lepas. Menangis sekuat tenaga. Meraung, meratap-ratap, tapi ia tidak bisa. Ia bahkan tidak sanggup bersuara. Daniyal melirik ke arah keluarga besarnya yang mulai melangkah menjauhinya. Meninggalkannya di depan makam yang masih basah itu, sendirian. Dari tatapan mereka, Daniyal paham, mereka sengaja memberinya waktu untuk melepaskan kesedihan dan air mata. Membuang topeng tegar yang ia pasang. Menunjukkan sisi lemahnya tanpa terlihat oleh mata siapa pun. Bibir Daniyal bergetar, ia menatap sendu nama yang tertera di papan nisan. Mutiara Kirani. Istrinya. Wanita yang sangat ia cintai. Air mata yang telah lama ia tahan akhirnya bergulir teramat deras. Daniyal menepuk dadanya yang begitu sesak. Sakit ini sungguh tak terkira. Terkenang kembali betapa berat perjuangan yang mereka berdua lalui. Berapa lama restu akhirnya mereka dapatkan. Daniyal ingat bagaimana Bundanya pernah memperingatkannya tentang Kirani. Menolak wanita itu sebagai pendamping hidupnya. ⠀ “Wanita itu akan meninggalkanmu suatu saat nanti. Kamu akan tenggelam dalam duka. Aku tidak ingin putraku menderita!” ⠀ Daniyal tidak percaya. Ia menolak yakin dengan yang namanya sixth sense dan hal-hal di luar nalar. Buatnya, segala yang terjadi pasti punya penjelasan secara logika. Dan dugaan dari Bundanya sangat tidak berdasar. Ia tahu dan yakin, Kirani hanya mencintainya dan wanita itu setia padanya. Tapi ia sama sekali tidak menduga, Kirani benar-benar meninggalkannya sekarang. Menghadap Sang Pencipta. Kenapa harus takdir seperti ini yang ia terima? Apa Tuhan tidak lagi mengasihinya? Padahal ia sudah berusaha menjadi baik di mata-Nya. Ini sungguh tidak adil. Bagaimana bisa ini terjadi padanya?! Pernikahan yang mereka harap hingga tua nanti, telah kandas. Daniyal terpuruk di samping makam itu. Mengelus tanah cokelat yang membubung di atasnya. Tanah itu sudah dipenuhi kelopak bunga mawar putih. Bunga favorit Kirani. Sekarang istri tercintanya hanya berselimutkan tanah. Bagaimana bisa Daniyal hidup sekarang? Daniyal menggeram. Marah dan sedih secara bersamaan. Air mata tadi semakin membanjir deras. Betapa besar rasa penyesalan di hatinya. Betapa ingin ia memutar waktu dan mengubah segalanya. Andai ia mengabulkan pinta Kirani, semua ini tidak akan pernah terjadi. Ini memang salah Daniyal. Isak pelan tadi, semakin lama semakin berubah menjadi ratapan yang menyayat. Serupa raungan harimau yang terluka. *** “Jangan pergi … atau aku tak bisa lagi bernapas tanpamu di sini,” ucap wanita dengan kecantikan eksotis itu getir. Kirani memang suka sekali menggunakan kata-kata puitis yang kadang terdengar agak berlebihan. Daniyal tersenyum kecil, menatap mata istrinya yang sayu. Ia mendekati wanita kesayangannya itu. Mengusap wajah Kirani penuh kasih. Lalu mengelus calon bayi mereka yang masih dalam rahim wanita itu. Bayi yang kesekian kalinya, setelah mengalami dua kali keguguran. Tapi kali ini, harus lahir selamat dan sehat, tekad Daniyal. Bayi kecil mereka nanti akan tumbuh dengan limpahan cinta kasih, perhatian dan perlindungan dari mereka. Menjadi anak yang paling bahagia. Lalu dewasa, menikah, punya anak. Kemudian ia dan Kirani akan memiliki banyak cucu bahkan cicit dari putra putri mereka. Daniyal dan Kirani sudah sangat lama menanti kebahagiaan ini. Daniyal berjongkok mengecup perut Kirani. “Aku harus pergi. Seminar ini sangat penting. Paling cuma lima hari juga sudah pulang. Nggak apa-apa, ‘kan, hon?” Kirani merengut. “Gimana kalau aku tiba-tiba melahirkan …?” Daniyal terkekeh. “Masih terlalu dini untuk melahirkan. Ini bahkan belum delapan bulan, sayang ….” “Banyak ibu hamil yang melahirkan dalam usia tujuh bulan,” bantah Kirani seraya mengelus perutnya yang sudah membesar. Wanita itu berjalan menjauh, membelakangi Daniyal. Merajuk. “Dan aku sendirian di sini.” Daniyal mendesah. Menatap punggung Kirani. Mendekapnya dari belakang. Mengecup ubun-ubun istrinya. “Ada Mbok Sumi di rumah, ada Pak Mansur juga,” ucap Daniyal membicarakan asisten rumah tangga mereka. “Kamu juga boleh mengajak beberapa anak Panti ke rumah buat nemenin kamu.” Kirani membalikkan badan. Menatap Daniyal tajam. “Tapi aku butuh kamu, Mase …. Bukan mereka ….” Matanya mulai berkaca-kaca. Daniyal terenyuh. Ini pertama kalinya Kirani jadi agak kolokan ketika ia pamit ke luar kota. Biasanya, paling Kirani hanya minta oleh-oleh makanan sambil memberi wejangan hati-hati di jalan, jaga kesehatan, jangan sampai keletihan dan lainnya. Kalau bukan karena ia ditunjuk secara khusus untuk menghadiri Symposium Asia Pacific Cervival Spine Society Meeting untuk Dokter Bedah Saraf, tentu Daniyal lebih memilih bersama istrinya. Tapi ia seorang Dokter. Akan ada banyak hal yang bisa Daniyal dapat dari mengikuti symposium ini. Demi kepentingan masyarakat, pasiennya, Rumah Sakit tempat dirinya mengabdi dan negaranya nanti. Ia begitu bersemangat menerapkan keahliannya di masa depan. Benar-benar suatu kehormatan bagi Dokter Muda seperti dirinya menghadiri pertemuan semacam ini. “Sayang, aku janji. Paling Cuma lima hari saja. Please, Love ….” Ia memohon. “Aku takut.” Kirani merebahkan tubuhnya di tepi ranjang. “Kita sudah kehilangan dua bayi, aku nggak mau ini jadi yang ke tiga kalinya. Lebih baik aku yang mati daripada anakku.” Air mata wanita itu menetes. Kirani terisak. Daniyal terperanjat. Segera mengusap butiran bening di pipi wanita kesayangannya. Menepikan ikal rambut di wajah Kirani. Ia tidak mengira Kirani punya pikiran seburuk itu. “Love, kok ngomong gitu, sih …. Kita sudah berusaha. Kamu juga sudah banyak minum vitamin, buah, sayuran, s**u, semua makanan bergizi. Bunda juga sering kirim jamu penguat kandungan. Setiap kali kontrol juga bayi kita dan kamu sehat. Doakan yang bagus-bagus aja, ya .... Asalkan Bundanya tidak kecapean, tidak stress, tidak banyak pikiran, bayinya juga pasti kuat. Please, think positive, Honey …. Sugesti buruk bisa merusak kesehatan. You understand, right?” Daniyal menatap lamat-lamat Kirani. Berharap istrinya memercayai kata-katanya. Mengusir pikirin buruk dari benak wanita itu. Daniyal paham, Kirani pastinya trauma atas apa yang terjadi pada bayi-bayi mereka sebelumnya. Kandungan Kirani sejak awal memang sangat lemah. Wanita itu tidak boleh terlalu banyak beraktifitas selama kehamilannya. Hampir bisa dikatakan istirahat total. Untungnya, Kirani terbiasa di rumah sejak dulu dan sangat jarang jalan-jalan keluar rumah kalau tidak terlalu penting atau tidak bersama Daniyal. Daniyal akan mencukupi wanita itu dengan semua peralatan keterampilan yang disukai istrinya. Ia tahu Kirani tidak suka bermenung, sekedar membaca atau menulis saja. Kirani suka beraktifitas. Dan aktifitas paling ringan buatnya sekarang adalah menyulam. Patut disyukuri, Kirani sangat patuh terhadap semua larangan Daniyal. Wanita itu tahu, apa pun yang suaminya ucapkan atau larang, pasti demi kebaikan mereka. ⠀ “Kamu jangan naik turun tower dulu, ya. Kalau mau kerja, melukis atau menjahit, minta Pak Mansur aja tolong pindahkan barang-barangnya ke kamar. Gitu ya, sayang ….” Kirani tetap terdiam. Hatinya masih berdesir aneh. Seperti ada sesuatu yang salah. Sesuatu yang buruk. Ia menggigit bibirnya cemas. Menatap suaminya yang tampak penuh harap. Irish cokelat kemerahan itu sedikit terang pertanda Daniyal tidak menyukai sikapnya. Kirani menelan ludah. Semoga pikiran buruk tadi hanya khayalan yang terpengaruh dari trauma alam bawah sadarnya. Bukan suatu pertanda datangnya musibah. “Please … jangan melepas aku pergi dengan wajah begitu. Kalau bukan symposium ini sangat penting, aku juga nggak akan pergi, sayang ….” Daniyal mendesah berat. “Nanti kita akan sering teleponan. Setelah aku pulang, aku akan temani kamu sepanjang hari. Kita jalan-jalan atau apa pun yang kamu inginkan akan aku kabulkan. Okay, sweetie …,” bujuk Daniyal. Ia tidak bisa beranjak jika istri tercintanya belum tersenyum padanya. Jam sudah berdentang delapan kali. Mengingatkannya untuk segera berangkat atau ia bisa terlambat sampai bandara. Mata Daniyal melirik cemas ke arah jam dinding, lalu pada istrinya. Untuk membatalkan kepergiannya di saat genting seperti ini, jelas tidak mungkin. Ia perwakilan yang ditunjuk. Tidak segampang itu mengganti dirinya dengan dokter lain. Apalagi semua bahan symposium ada di tangannya. Lagipula Kirani mendadak aneh baru pagi ini. Sementara, kemarin Kirani masih bersikap biasa saja ketika Daniyal mengatakan ia akan ikut symposium. Daniyal memandang Kirani lagi, memohon pengertian wanitanya. “Oke,” Kirani mengalah. “Tapi janji, kamu harus mengabulkan apa pun keinginanku, Mase. Setuju …?” ucap Kirani sambil mengarahkan jari kelingkingnya. “Aku nggak suka pembohong.” Daniyal tersenyum lega. Ia balas menautkan kelingkingnya di jari Kirani. “Apa pun pintamu nanti, aku janji pasti akan aku penuhi. Dan aku bukan pembohong.” Daniyal mengecup panjang bibir manis istrinya. Ia akan sangat merindukan wanita ini beberapa hari ke depan. *** Dan janji itu adalah kesepakatan terakhir mereka. Kirani naik ke tower dua hari setelah Daniyal pergi. Wanita itu terpeleset di tangga dan mengalami pendarahan hebat. Daniyal yang masih mengikuti symposium segera pulang, meminta helikopter khusus milik keluarganya untuk menjemputnya. Untungnya Rumah Sakit tempatnya bekerja punya helipad – landasan helikopter. Daniyal berburu dengan waktu dan rasa takut tak terkira. Takut akan yang namanya kematian. Firasatnya semakin memburuk selama ia berlari kencang menuju ruang operasi istrinya. Seluruh keluarganya sudah menunggu di luar ruangan. Wajah mereka semua serupa. Pucat pasi. Bundanya menangis di pelukan Mama Aulia. Pikiran Daniyal semakin berkecamuk. Daniyal mengejar dokter – yang juga merupakan rekan kerjanya – yang saat ini menangani Kirani. Jantung Daniyal seolah diremas ketika ia harus menghadapi pilihan paling buruk dalam hidupnya. Ia hanya bisa memilih salah satu, selamatkan bayi atau selamatkan ibunya. Meskipun persentase keselamatan Kirani jauh lebih kecil dibanding si bayi karena kepala wanita itu sempat terbentur cukup keras ketika terguling di tangga menara. Daniyal merasakan tangan Kirani menjangkaunya. Mencengkeram jemarinya lemah. Wanita itu menyadari keberadaan Daniyal di sisinya. Mulutnya bergerak tanpa suara, mengucap ‘bayiku …’ dengan berurai air mata, sebelum kesadaran wanita itu sepenuhnya hilang. Dunia serasa jungkir balik menghimpitnya. Daniyal tahu, istrinya tidak akan pernah sama lagi jika kehilangan bayi mereka kembali. Dan ucapan Kirani terngiang-ngiang lagi di pikiran Daniyal, memantul-mantul dalam benaknya. ‘Lebih baik aku yang mati, daripada anakku’. Namun, Daniyal tidak siap. Tidak akan pernah bisa siap untuk kehilangan Kirani. Sementara itu, keputusannya berkejaran dengan waktu. Ia mengecup wajah Kirani yang terbaring pucat pasi. Ini mungkin ciuman terakhirnya untuk istri tercintanya saat wanita itu masih bernapas. Air mata Daniyal bergulir deras ketika membuat pilihan terakhir. ⠀ “Tolong, lakukan sekuat kemampuanmu. Selamatkan bayiku, selamatkan juga istriku. Aku sangat mencintainya. Beri dia jalan untuk hidup. Aku rela berhutang nyawaku padamu. Tolong … selamatkan mereka berdua ...,” isak Daniyal menghiba pada rekan sekerjanya. Dokter yang lebih berpengalaman dari Daniyal itu mengusap sudut matanya. Mengangguk kasihan pada pria muda di hadapannya. Ia sungguh tidak tidak tega mematahkan harapan itu. Meski ia tahu, hanya Tuhan yang mampu memberi keajaiban di situasi kritis ini. “Aku akan berusaha sekuat tenaga dan seluruh kemampuanku.” ⠀ Sayangnya, takdir dari Yang Maha Kuasa telah menentukan. Daniyal kehilangan istrinya. Wanita kesayangannya. Ia merasa tidak berguna. Ia seorang dokter. Banyak pasien dalam kondisi yang lebih parah dan genting, dengan operasi yang lebih sulit, bisa tertolong olehnya. Tapi kenapa istrinya tidak bisa diselamatkan? Kenapa Daniyal harus memilih …? Baru kali itu Daniyal menyadari. Ilmu pengetahuannya, keahliannya, keahlian dokter mana pun, tidak bisa menyelamatkan seseorang kalau tidak ada campur tangan Tuhan di dalamnya. Dan langit … akan terus mendung selama sisa hidupnya. Tanpa Kirani, ia tidak ada artinya. Jiwanya telah pergi bersama wanita kesayangannya. Daniyal hanya selongsong kosong yang hidup karena jantungnya masih terlanjur berdetak.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN