Dipaksa Kawin
Peluh membasahi kening Batari. Setiap hari dia harus terjun ke sawah untuk menanam padi bersama kedua orang tuanya. Umurnya sudah 20 tahun. Seharusnya dia sudah duduk di bangku kuliah di kota, tapi kedua orang tuanya tidak mampu membiayainya. Yang membuat Batari kecewa adalah mereka sampai rela berhutang sana-sini demi membiayai kuliah kakaknya Kemala Dewi.
Selama ini Batari sudah cukup banyak mengalah pada Kemala. Kedua orang tuanya selalu mementingkan kebutuhan Kemala tapi mereka tidak pernah memperdulikan dirinya.
Tak terasa matahari semakin membumbung tinggi. Perutnya terasa lapar karena pagi tadi dia belum sempat sarapan. Dia berjalan bersama kedua orang tuanya ke gubuk untuk makan siang bersama. Ibunya langsung membuka rantang lalu membagi nasi dan lauk-pauknya. Bagian nasi ayah dan ibu lebih banyak darinya. Batari hanya bisa menatap nanar nasi yang besarnya hanya sekepal tangannya dan lauk tempe goreng di piringnya. Sedangkan bapak dan ibu makan lauk ikan sarden goreng, sambel terasi, dan sayur lalapan. Batari hanya bisa menelan ludah saat melihatnya. Ini bukan pertama kalinya dia diperlakukan seperti ini.
"Kenapa kamu malah bengong? cepat makan sekarang! sebentar lagi kita akan kembali bekerja! " perintah ibunya dengan nada ketus. Selama ini ibunya tidak pernah bersikap lembut padanya. Berbeda saat dia bicara pada kakaknya. Kadang Batari bertanya-tanya di dalam hatinya. Apakah dia benar-benar anak kandung kedua orang tuanya.
"Bu kenapa aku selalu dikasih lauk tempe bu? aku juga mau makan ikan, " Batari memberanikan diri untuk melayangkan protes pada ibunya. Dia tidak mau selalu diperlakukan tidak adil seperti ini.
BRAKKK
Bapak memukul lantai kayu dibawahnya. Wajah bapak terlihat sangat marah, " Makan saja bisa kan?! tidak usah banyak protes!! sekarang cepat makanlah!! "
Batari langsung menundukkan kepalanya dengan mata berkaca-kaca. Dia tidak berani mendebat perkataan bapaknya. Meski sudah tidak nafsu makan lagi, dia tetap menghabiskan makanannya karena tidak ingin membuat bapak kembali memarahinya.
Selesai makan, Batari disuruh ibu membereskan rantang dan piring bekas makan mereka. Bapak dan ibu turun ke sawah lebih dulu. Lalu Batari juga ikut menyusul mereka.
Hari-hari Batari lalui dengan hati yang sabar dan ikhlas. Meski begitu, cita-citanya sebagai seorang Jurnalis tidak akan pernah surut. Batari gemar menulis sedari dia masih duduk di bangku SD. Dia menulis banyak cerita pendek dan puisi. Seringkali dia mewakili sekolah untuk lomba. Batari selalu memenangkan lomba-lomba tersebut. Tapi prestasi yang dia dapatkan tidak dapat membuat orang tuanya bangga sama sekali.
Mereka selalu bicara seperti ini, " Buat apa kamu sekolah tinggi-tinggi kalau pada akhirnya kamu akan menikah dan menjadi ibu rumah tangga! "
Jarang ada gadis di desanya yang memiliki pendidikan yang tinggi karena rata-rata mereka sudah dikawinkan oleh orang tua mereka di usia relatif muda. Seperti temannya Marni. Dia dikawinkan dengan pria yang usianya 2 kali lipat dari umurnya. Batari sangat takut dia akan bernasib sama seperti Marni.
Pernah dia ingin kabur ke kota seorang diri. Tapi dia tidak punya nyali karena pernah ada kejadian gadis di desanya melarikan diri karena akan dikawinkan oleh orang tuanya tapi malah diperkosa preman di kota.
Tak terasa senja kembali menyapa, Batari dan kedua orang tuanya bergegas untuk pulang sebelum menjelang malam. Di desa tidak ada lampu jalan seperti di kota. Maka dari itu mereka harus cepat-cepat pulang.
Setelah pulang Batari mandi terlebih dahulu lalu masuk ke dalam kamarnya. Dia akan membuka buku-bukunya untuk belajar. Buku-buku ini dia dapatkan dari pedagang loak yang sering lewat di depan rumahnya.
Terdengar suara bapak dan ibu di bilik sebelah. Sepertinya mereka kebingungan mencari pinjaman uang untuk biaya hidup Batara di kota.
"Pak gimana ini? Kemala baru saja kirim pesan minta ditransfer uang satu juta sekarang juga. Darimana kita uang sebanyak itu pak? " tanya ibu.
"Bapak juga tidak tau bu. Hutang kita pada bu Susi saja belum lunas, yang lain belum tentu mau memberikan hutang pada kita karena kita telat bayar hutang terus, " bapak sampai garuk-garuk kepala bingung mau cari pinjaman kemana lagi.
"Apa kita pinjam sama tetangga sebelah yang baru pindah pagi tadi? " usul ibu.
Batari tidak mengingat dengan jelas siapa tetangga sebelah karena dia memiliki banyak pekerjaan di pagi hari. Ibunya menyuruhnya untuk mencuci baju, mencuci piring dan membersihkan rumah. Sampai akhirnya dia telat sarapan dan cepat-cepat bergegas ke sawah untuk membantu pekerjaan mereka.
"Nanti bapak coba pinjam ya bu. Siapa tau tetangga sebelah kita orangnya baik, " ucap bapak tidak punya pilihan lain saat ini.
***
Kukuruyuk kukuruyuk
Suara ayam berkokok terdengar begitu jelas ditelinganya. Batari membuka matanya dan cepat-cepat bangun untuk membuat sarapan untuk kedua orang tuanya seperti biasanya. Dia ke belakang rumah terlebih dahulu untuk mengambil beberapa telur ayam di kandang.
Saat dia ingin mengambil telur ayam, dia melihat sosok pria tua yang tampan sedang menjemur pakaian. Batari terpanah melihat otot-otot kekar tangan pria tua itu sedang memeras bajunya hingga kering lalu menggantungnya di tali jemuran.
Pria tua itu tiba-tiba menatapnya, sontak Batari langsung membuang wajahnya ke samping. Dia sangat malu karena kepergok memperhatikannya. Dia juga sampai lupa ingin mengambil telur di kandang ayam.
"Batari!! kamu ngapain diluar?! kenapa sarapannya belum jadi?! " pekik ibu dari dalam rumah.
"Iya bu tunggu!! " Batari buru-buru mengambil telor ayam dari kandang lalu berlari masuk ke dalam rumahnya.
Pria tua itu hanya bisa menatapnya dan menggelengkan kepalanya.
Selesai sarapan, Batari dan kedua orang tuanya kembali turun ke sawah. Tiba-tiba datanglah pria tua tetangga sebelah juga ikut turun ke sawah bersama mereka dan beberapa warga lainnya. Bapak langsung menyapa pria tua itu dengan ramah.
"Halo perkenalkan namaku Budi."
Batari tidak lagi mendengar apa saja yang mereka bicarakan karena dia sedang sibuk menanam padi di sawah bersama ibu. Sedari tadi Batari merasa ada seseorang yang memperhatikan dirinya. Dia mendapati pria tua itu menatapnya. Batari bergidik ketakutan dan segera memalingkan wajahnya.
Beberapa hari kemudian...
Bapak dan ibu membawa Batari duduk bersama di ruang tamu. Batari merasa perasaannya tiba-tiba tidak enak.
"Batari, kamu sudah dewasa dan layak menikah sekarang. Bapak dan ibu sudah sepakat akan menjodohkan kamu dengan Hans tetangga sebelah kita. Dia sudah setuju menikah dengan kamu, " ucap bapak.
"Apa?! menikah dengan opa Hans?! " bak petir di siang bolong akhirnya ketakutan Batari menjadi kenyataan. Orang tuanya akan menjodohkan dia dengan seorang pria. Bahkan pria itu lebih tua dari bapaknya sendiri.