BAB 7 AJAKAN RYAN

1259 Kata
“Mengapa harus saya, Pak? Saya tidak pantas menjadi pendamping Anda di pesta itu,” sahut Karin Bukannya menjawab pertanyaan Karin, Ryan justru bangkit dari duduknya, lalu berjalan keluar dari restoran tersebut. Karin menatap tidak percaya punggung Ryan, yang berjalan keluar dari restoran, setelah ia memberikan ultimatum kepadanya. Tersadar dari lamunannya Karin pun bangkit dari duduk, lalu berjalan menuju kasir. Ketika ia akan membayar tagihan makan siangnya, ternyata tagihan makan siangnya sudah dibayarkan oleh Ryan. Karin berjalan keluar restoran dan ia hampir saja menabrak punggung Ryan, yang tiba-tiba saja muncul dari samping pintu restoran. “Kenapa Bapak berdiri di situ? Apakah Bapak menunggu saya?” tanya Karin, Ryan membalikkan badan dan melihat ke arah Karin dengan dingin. “Jangan besar kepala, saya tidak mungkin menunggu kamu!” Karin mengangguk. “Iya, benar apa yang Bapak katakan. Permisi, Pak saya duluan ke kantor.” Karin pun berjalan kembali menuju ke arah perusahaan tempatnya bekerja. Akan tetapi baru beberapa langkah ia berjalan Ryan menegur dirinya. “Apa yang kamu lakukan! Berani sekali kamu pergi, sebelum saya perbolehkan.” Karin pun menghentikan langkahnya dan menunggu Ryan berjalan hingga posisi mereka berdampingan. Dalam hati Karin menggumam. ‘Katanya tidak menungguku, tetapi ketika aku duluan jalan malah ngomel.’ Sesampainya mereka di lobi perusahaan Karin terus saja mengekori Ryan, hingga ketika akan masuk ke dalam lift. Ryan yang sudah berada di dalam lift mengernyitkan keningnya. Melihat Karin ikut masuk ke dalam lift yang sama dengannya. “Siapa kamu? Berani sekali masuk lift yang sama denganku! Apa kamu mau menggodaku dan semakin menguatkan dugaan orang-orang, kalau kamu itu sudah tidur denganku! Asalkan kamu tahu, ya! Lift ini khusus untuk pimpinan di perusahaan ini! Apakah kamu termasuk pimpinan perusahaan ini?” Wajah Karin sontak saja menjadi terkejut mendengar apa yang dikatakan oleh Ryan. “Maaf, Pak! Saya tidak mengetahuinya.” Karin berjalan mundur hendak keluar dari dalam lift tersebut. Akan tetapi, karena tidak memperhatikan langkahnnya. Ia pun tersandung dan hampir saja terjatuh, ketika heels yang dikenakannya tersangkut pada karpet. Namun, dengan sigap Ryan menarik tubuh Karin, hingga menempel ke dadanya. Ryan pun berbisik di telinga Karin. “Aku tahu kamu sengaja melakukannya. mengundang dirimu sendiri, untuk bisa masuk ke dalam lift ini bersamaku. Kamu melakukannya, untuk menggodaku, bukan?” Karin melebarkan bola mata dan secara refleks ia mendorong Ryan menjauh. Karin kemudian menekan tombol lift untuk kembali ke lantai dasar. Namun, sebelum ia berhasil melakukannya. Ryan sudah memegang tangannya mencegah ia melakukan hal itu. “Jangan bodoh! Biarkan saja, sudah terlanjur. Sebentar juga sampai,” peringat Ryan. Dengan terpaksa Karin pun urung melakukannya. Ia berdiri tepat di depan pintu lift membelakangi Ryan. Punggungnya terasa terbakar, karena tatapan tajam Ryan. Rasa lega menghinggapi hati Karin begitu pintu lift terbuka dan dengan cepat ia pun keluar dari sana, meski terkesan tidak sopan karena mendahului bos nya. Ia langsung duduk di tempatnya yang berada tepat di depan pintu ruang kerja Ryan. Ketika Ryan melewati meja Karin ia berhenti sebentar. “Malam ini kamu harus lembur, untuk mengganti jam kerjamu yang terlambat tadi pagi.” Ia kemudian berlalu dari meja Karin masuk ke dalam ruang kerjanya. Hembusan napas Karin terdengar keras ia merasa lega Ryan sudah masuk ke dalam ruangannya. ‘Aku harus bisa menghindar untuk berada dekat, dengan pak Ryan. Jangan sampai aku jatuh ke dalam pesona dari pria itu,’ batin Karin. Menit demi menit pun berlalu, hingga akhirnya jam kerja sudah usai. Beberapa orang pekerja terlihat meninggalkan kantor. Suasana di ruangan pun terasa sepi dan sedikit membuat Karin menjadi takut. Terlebih lagi dengan bos, seperti Ryan yang ia rasa memiliki magnet yang menariknya untuk berbuat liar dan mengulangi kesalahan yang dilakukan oleh ibunya. Mengusir rasa was-wasnya Karin memilih untuk berkonsenterasi dalam mengerjakan pekerjaannya. Ia begitu larut dalam pekerjaannya, sampai tidak menyadari kehadiran Ryan, yang berjongkok di depan meja kerja memperhatikan dirinya. Merasa ada yang memperhatikan dirinya,, dengan begitu intens. Karin pun mendongak dari layar komputernya. Netranya langsung saja bertemu dengan netra Ryan, yang terlihat begitu lembut dan teduh menatap dirinya. Tanpa sadar bibir Karin terbuka, karena melihat kehadiran Ryan tersebut. “Berapa lama, Bapak berada di depan saya? Mengapa saya tidak mendengar suara langkah kaki Bapak?” tanya Karin. Tangan Ryan terulur menyentuh bibir Karin dan mengusapnya dengan lembut. “Cukup lama, untuk mengetahui kebiasaan dirimu yang suka menggigit bibir dan mengusapnya, dengan menggunakan lidah. Apakah kamu bermaksud untuk menggoda saya?” Secara refleks Karin menepis tangan Ryan dari bibirnya. “Maaf, Pak! Saya tidak bermaksud untuk menggoda Bapak dan saya akan berusaha mengubah kebiasaan saya menggigit bibir, kalau itu mengganggu Bapak.” Ryan tertawa pelan mendengarnya ia lalu menegakkan tubuh dan berkata, “Saya sama sekali tidak keberatan, kamu lakukannya. Hanya saja tindakanmu itu membuatku berfantasi membayangkan, kalau dirikulah yang menggigit bibirmu dan mencumbunya dengan lidahku.” Karin menjadi gugup dengan kalimat bernada merayu, yang dilontarkan oleh Ryan. Ia pun menyadari, kalau di ruangan ini hanya ada mereka berdua saja. Ia tidak tahu apakah dirinya akan berhasil lolos dari rayuan Ryan, yang begitu menggoda iman dan tekadnya. “Matamu bergerak liar, seperti kelinci yang ketakutan. Kau tidak perlu takut aku akan memangsamu! Belum, tetapi pasti kau akan jatuh ke dalam pelukanku dan aku tidak pernah ragu akan kemampuanku dalam menaklukan wanita,” kata Ryan, dengan suara baritonnya. Tangan Karin dengan cepat mematikan komputernya, dengan tatapan mata yang terus terpaku ke arah Ryan. Seandainya bisa ia hendak berlari keluar dari ruangan ini menjauh dari bosnya, yang terus saja merayu dengan tatapan dan kata-katanya. Beruntungnya bagi Karin, secara tiba-tiba pintu lift, yang terletak tidak jauh dari tempat mereka berada berbunyi dan keluarlah seorang pria dengan mengenakan seragam petugas keamanan. Karin langsung saja berdiri dan ia menyunggingkan senyuman ke arah petugas keamanan yang berjalan ke arah mereka. Petugas keamanan itu memberi hormat kepada Ryan dan menyapanya. “Selamat malam. Tuan Ryan! Saya tidak tahu, kalau Tuan dan sekretaris Tuan sedang lembur.” “Tidak mengapa! Kau menjalankan tugasmu dengan benar, untuk memeriksa setiap lantai. Pastikan tidak ada penyusup yang masuk ke dalam perusahaanku,” kata Ryan. Ia lalu berjalan menuju lift khusus pimpinan. Berjalan tepat di belakangnya dan ketika Karin hendak berbelok menuju lift khusus pegawai, yang berada tepat di sebelah liftnya Rya menarik lengan Karin. “Untuk apa masuk ke dalam lift itu seorang diri! Apakah kau tidak tahu, kalau Sebagian besar pegawai di sini takut, apabila harus lembur sampai malam. Tidakkah kau juga merasa takut, kalau di dalam lift nanti ada seorang pria asing bersama denganmu dan berniat jahat,” ucap Ryan. Didorongnya Karin dengan lembut masuk ke dalam lift dan mereka berdiri begitu dekat. “Kenapa badanmu gemetaran? Kamu tidak takut kepadaku, bukan? Aku janji saat ini kamu aman dari sentuhanku, tetapi aku tidak tahu untuk berapa lama. Kamu terlalu menggiurkan, untuk kulewatkan begitu saja,” bisik Ryan di telinga Karin. Jantung Karin rasanya mau copot mendengar kata-kata Ryan barusan. Beruntungnya ia tidak perlu berlama-lama berada di dalam lift yang sama, dengan Mark. Dengan cepat ia berjalan keluar dari dalam gedung perusahaan Atmaja Corp. Begitu sudah berada di luar cahaya lampu-lampu jalanan telah menggantikan sinar matahari. Karin pun berjalan menuju tepi jalan. Dan dilihatnya jam tangannya, suara desahan kecewa pun lolos di bibirnya. “Sial! Bis jurusan yang menuju ke apartemenku sudah lewat. Terpaksa aku harus naik taksi dan itu membuatku harus mengeluarkan uang yang lebih banyak.” Tiba-tiba saja sebuah mobil berwarna hitam dengan kaca yang gelap berhenti tepat di depan Karin, sehingga membuatnya merasa takut. Karin melirik ke sekitarnya berharap ada seseorang atau kendaraan yang lewat dan menjadi tempat ia meminta bantuan. Namun, harapannya tidak terkabul. “Ya, Tuhan! Apakah aku akan celaka?” batin Karin.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN