DITERIMA BEKERJA

1089 Kata
Ryan hanya memandang Karin dengan wajah dinginnya, ia lalu mempersilakan kepada Karin untuk keluar dari ruangannya. “Nanti, kalau kamu ke luar dari sini. Pergilah ke ruangan yang ada di seberang lift. Katakan kepada wanita yang berada di ruangan itu, kalau kamu diterima untuk bekerja di sini.” Karin yang sudah hendak ke luar dari ruangan Ryan, membalikkan badannya. “Baik, pak! akan saya katakan.” Keluar dari ruangan Ryan, Karin langsung menuju ruangan yang tadi dikatakan oleh bosnya. Berdiri di depan pintu yang terlihat kokoh, Karin pun mengetuk pintu tersebut. Setelah dipersilakan untuk masuk, barulah ia membuka pintu tersebut. Karin duduk di hadapan seorang wanita dengan penampilan rapi dan kaku. Ia menatap menyelidik ke arah Karin. “Siang, bu! Nama saya Karin dan saya disuruh oleh pak Ryan untuk melapor kepada ibu, kalau saya sekarang sudah menjadi sekretarisnya,” terang Karin. Tatapan mata wanita itu semakin tidak suka melihat ke arah Karin. “Apakah kamu sudah mengetahui, apa saja yang harus kamu lakukan sebagai sekretarisnya?” tanya wanita itu dingin. Karin menatap mata wanita itu dengan tenang. “Secara garis besar, saya sudah mengetahui tugas dari seorang sekretaris bu.” Wanita itu terlihat menggerakkan mouse komputer yang ada di depan mejanya dan tak lama berselang terdengar suara mesin cetak berbunyi. Karin hanya diam saja memperhatikan apa yang dilakuka oleh wanita itu. “Ini kartu identitas milikmu, pak Ryan sudah mengirimkan data dirimu secara langsung ke email perusahaan. Kamu tidak perlu merasa heran, bagaiamana bisa saya dengan cepat membuatkan kartu identitas untukmu.” Wanita itu lalu menyerahkan id card kepada Karin. Karin pun menerimanya dan memasukkan ke dalam tasnya. Ia diberitahukan, bahwa setiap masuk ke dalam perusahaan dirinya harus selalu mengenakan id card tersebut dan ia tidak boleh lupa membawanya. Setiap hari juga ada absen kehadiran. “Kamu akan sering berada dekat dengan pak Ryan, saya peringatkan kepadamu untuk jangan mudah baper. Pak Ryan memang menyukai wanita, jadi jangan pernah kamu berpikir nanti, kalau pak Ryan itu menyukaimu, apalagi sampai jatuh cinta. Kamu tidak ingin patah hati, bukan?” ucap wanita itu memperingatkan Karin. Karin menarik napasnya dalam-dalam. Ia dapat merasakan aroma persaingan dan permusuhan dari wanita yang duduk di depannya ini. “Ibu jangan khawatir, saya tidak akan jatuh hati dengan pak Ryan, apalagi sampai patah hati karenanya.” Wanita itu memandang sinis ke arah Karin, seakan ia tidak percaya dengan apa yang dikatakannya. “Tentu saja, kamu akan berkata seperti itu, seperti sekretaris sebelum-sebelumnya. Mereka jatuh cinta dengan pak Ryan dan ketika cinta mereka ditolak, mereka pun berulah.” Karin bangkit dari duduknya, karena urusannya di ruangan wanita ini sudah selesai. “Ibu tidak perlu takut, saya berbeda dengan sekretaris pak Ryan sebelumnya, permisi bu!” Ia pun meninggalkan ruangan wanita itu dan menyimpan rasa kesalnya dalam hati. Namun, karena berjalan sambil menunduk dan tidak memperhatikan apa yang ada di depannya, Karin menabrak seseorang yang berjalan terburu-buru. Dan, untungnya orang itu memegang pinggangnya dengan cepat, mencegahnya untuk jatuh. Ia pun mendongak untuk melihat siapa yang menolongnya, sekalian mengucapkan terima kasih. Ucapan itu urung diucapkannya, begitu ia melihat siapakah pria yang telah menolongnya. Dengan cepat, ia mencoba untuk melepaskan pegangan tangan Ryan di pinggangnya. Namun, bukannya melepaskan Karin. Ryan justru menggunakan kesempatan itu untuk menarik Karin menempel ke dadanya. “Tolong lepaskan pelukan bapak! saya tidak senang bapak seperti itu,” ucap Karin dengan suara mendesis, menahan kemarahannya. “Kamu pembohong yang buruk! kalau kamu tidak suka dengan apa yang saya lakukan, kenapa jantung kamu justru berdebar dengan kencang?” ejek Ryan. Karin menginjak kaki Ryan menggunakan kakinya yang memakai heels, sehingga Ryan dengan cepat melepaskan pelukannya di pinggang Karin. Mata Ryan melotot dan menatap tajam, wanita yang baru beberapa menit yang lalu ia terima menjadi sekretarisnya. “Kamu, berani sekali menginjak kaki saya!” “Maaf pak! bukan maksud saya untuk bersikap berani kepada bapak. Hanya saja, saya tidak mau bapak main peluk begitu. Saya akan bekerja sebagai sekretaris bapak secara profesional, tetapi tidak untuk hal di luar konteks pekerjaan,” sahut Karin. Ryan melambaikan tangannya ke arah Karin. “Pergilah kamu! jangan lupa besok pagi, kamu tidak boleh datang terlambat.” Karin menganggukkan kepalanya, ia lalu berjalan dengan cepat masuk ke dalam lift yang berbeda dengan lift khusus pimpinan yang dimasuki Ryan. Sesampainya di depan pintu lobi, Karin pun berjalan dengan cepat ke luar dari dalam gedung dengan lantai tujuh tersebut. Ia pun berjalan ke luar dari halaman gedung yang luas. Langkah kaki Karin terburu-buru, ia harus segera sampai di halte bis, yang letaknya tidak jauh dari pintu gerbang perusahaan milik Ryan. “Kenapa wanita itu berjalan kaki? hmm, sepertinya ia naik bis untuk datang ke sini tadi,” gumam Ryan dalam hatinya. Diperhatikannya Karin yang berjalan dengan cepat. Tatapan matanya terarah kepada goyangan pinggul Karin, yang menggoda matanya. “Percepat, pak! dan nanti ketika sudah berada di dekat wanita yang berjalan di depan, bapak bunyikan klakson dengan kencang, perintah Ryan kepada sopir pribadinya. Karin yang sedang berjalan terlonjak kaget, ketika tiba-tiba saja terdengar suara klakson yang nyaring. Ia sudah akan mengacungkan kepalan tangannya, ke arah mobil tersebut. Ia urung melakukannya, ketika dilihatnya kaca jendela diturunkan sedikit dan terlihatlah wajah dingin bosnya, yang sepertinya memang sengaja memerintahkan kepada sopirnya untuk membunyikan klakson dengan nyaring. Dengan raut wajah kesal, Karin pun duduk di halte bis. Ditunggunya bis jurusan menuju apartemennya yang terletak di pinggiran kota New Jersey tiba. Tak lama berselang, bis yang ditunggunya pun terlihat, lalu berhenti di dekat Karin duduk. Dirinya lalu beranjak dari duduknya berjalan masuk bis tersebut. Dicarinya kursi yang kosong dan dirinya beruntung, masih ada tersisa kursi kosong di bagian belakang, sehingga ia tidak perlu berdiri. Beberapa menit kemudian, Karin pun sudah berada di dalam apartemennya yang kecil dan sepi. Dinyalakannya lampu untuk menerangi ruangan, yang tadinya gelap. Ia berjalan menuju dapur, dibukanya pintu kulkas dan diambilnya botol berisi air mineral, lalu ditutupnya kembali pintu kulkas. Ia berjalan menuju ruang tengah dan duduk di atas sofa lusuh yang ada di dalam apartemennya. ‘Betapa beruntungnya aku, mendapatkan pekerjaan yang kuinginkan. Hanya saja, aku harus waspada dengan perilaku bosku, yang sepertinya suka sekali memperhatikan diriku,’ batin Karin. Dipandanginya potret Ibunya, yang tersimpan dalam galeri di ponselnya. Ia masih merindukan Ibunya, sekalipun wanita yang sudah melahirkannya itu tidak selalu bersikap baik kepadanya. Dalam hatinya Karin bertekad, kalau dirinya tidak akan seperti ibunya. Yang rela memberikan tubuhnya, kepada pria yang kemudian mencampakkan dirinya. Tidak akan kuikuti jejakmu bu! Yang menyerah kepada rayuan pria tidak bertanggung jawab! Takkan kubiarkan apa yang telah membuat hidupmu menjadi hancur karena seorang pria juga menimpa diriku!’ tekad Karin dalam hatinya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN