Bab 4 Domino yang Jatuh 1

1648 Kata
"Jadi? Kamu batal berangkat tanggal 31?" Sasha Fahreza sibuk mengecek media sosialnya via laptop, ponselnya ditahan dengan satu bahu pada telinganya. "Ya. Masih ada yang harus aku selesaikan terlebih dahulu sebelum pulang. Aku sudah pesan tiket tanggal satu Februari nanti. Penerbangannya pukul sebelas pagi, mungkin akan tiba di Makassar pukul 14.30 jika nggak ada halangan." "Ngomong-ngomong, aku yang akan datang sendirian menjemputmu. Jadi, kamu harus bawakan aku minuman cokelat yang pernah kamu kirim waktu itu. Aku nggak mau tahu, ya, pokoknya harus ada. Titik!" Ancam Sasha setengah bercanda. "Yang benar aja, gitu, loh! Aku nggak tahu! Itu dulu, kan, cuma bingkisan gratis dari perjalanan wisata kampus." "Kamu, kan, bisa pesan online. Ya, sudah, pesan saja via online." "Lantas, kenapa bukan kamu saja yang pesan?" "Kamu... tahu, kan...?" Sasha mengecilkan suaranya, "kakakmu saat ini pengangguran intelektual kere." Sasha terkekeh. "Nanti kalau aku sudah punya pekerjaan tetap, aku akan traktir kamu makan sushi tiga kali dalam setahun! Bagus, kan? Siapa lagi yang mau tukar minuman cokelat dengan sushi mahal? Tiga kali dalam setahun pula!" "Daripada berkhayal kayak gitu, mending kamu cari lowongan kerja, kek! Dasar! Bego banget, sih, kakakku satu ini!" "Yeeee. Siapa juga yang bego. Kamu, tuh!" Sasha memonyongkan mulutnya, pura-pura kesal. Alby adalah adik bungsu. Dalam keluarga Fahreza hanya ada dua anak perempuan dan satu anak laki-laki. Sasha lebih akrab dengan adiknya ketimbang kakaknya yang sama-sama perempuan. Menurutnya, kakaknya itu cerewet sekali dan suka bermulut tajam pada hal-hal yang tidak perlu sekalipun. Dia tidak suka dengan sikap sok ngebosnya yang main perintah kiri-kanan. Maka dari itu, sebisa mungkin menghindari segala bentuk kontak dengan kakaknya dan lebih suka menghabiskan waktu dengan adik laki-lakinya. Sayangnya, setahun belakangan ini sejak adiknya kuliah di Bogor, rasanya begitu sepi dan sunyi. "Jadi, kamu akan sendirian menjemputku? Nggak takut apa?" sindir Alby. "Jangan menggodaku, ya! Cukup mama yang kasih aku ceramah hari ini. Aku tidak mau dengar hal itu juga darimu! Aku bukan anak kecil! Aku hampir berumur dua puluh enam tahun!" "Ya, sudah, kalo gitu nikah sana!" Alby tergelak. "Ini salah satu alasan kenapa aku mau pindah ke kutub selatan. Huh!" "Kamu mau apa di sana? Jadi penguin?" gelaknya semakin menjadi-jadi. "Terserah, deh. Lupain aja. Pokoknya minuman cokelat itu harus ada! Awas kalo nggak! Sudah dulu kalo gitu, ya! Di sini sudah hampir pukul sebelas malam. Aku nggak mau bangun telat lagi, trus diomelin Riri pagi-pagi. Assalamualaikum!" Sasha menutup telepon setelah Alby membalas salamnya, keningnya bertaut, mulut dimonyongkan lalu tersenyum lebar. Dia berharap kedatangan adiknya Rabu nanti akan menjadi hal yang luar biasa. *** “Sha! SASHA!" Si pemilik nama itu mendengar teriakan Riri. Dari nada suaranya, bisa ditebak apa penyebabnya. Lagi-lagi dia terlambat bangun. Tubuhnya masih di atas tempat tidur, melengos dengan mata setengah mengantuk. Perempuan bermata minus itu berniat bangun lebih awal dari biasanya. Sayang, karena terlalu gembira dengan kabar adiknya yang akan pulang kampung, membuat otaknya bagaikan kembang api semalam suntuk. Kehadiran adiknya adalah satu-satunya yang membuatnya bersyukur. Hanya Alby, anggota keluarganya yang sama sekali tidak menghakiminya terlepas dari segala hal yang terjadi kepadanya. Malah sebaliknya, memberi semangat dan motivasi walau terkadang disertai lelucon yang menyindir tajam. Itu pun tidak masalah bagi Sasha. Toh, Alby tidak ada maksud buruk menjelek-jelekkannya seperti yang lain, karena pada akhirnya adiknya itulah yang selalu menyemangatinya di setiap situasi. Kesadaran Sasha masih belum pulih benar dari rasa kantuk yang menangkapnya. Tubuhnya masih bergelung di kasur layaknya kucing manja. Lebih nyaman lagi ketimbang sebelumnya pada bantal-bantal sejuk dan empuk di sekelilingnya. "Sasha! Aku nggak punya waktu bangunin kamu seharian! Aku harus ke kampus pagi-pagi!" teriak Riri lebih keras, nada suaranya terdengar agak marah. "Eng... ya, ya! Lima menit lagi!" balasnya dengan mata masih menutup. Sekujur tubuhnya terasa sakit seperti biasa saat bangun pagi. Menurut dugaannya, itu adalah efek dari depresi yang deritanya—sama sekali tidak ada tenaga untuk melakukan apa pun secara harfiah. Beberapa minggu ini lebih mendingan daripada yang sudah-sudah. Bangkit dari depresi itu tidak semudah yang dipikirkan orang banyak, butuh proses dan tahap yang memakan waktu tidak sedikit. Sasha berusaha melawan efeknya meskipun berat, sebab risiko jatuh ke lubang yang sama berpotensi besar menjegal niatnya untuk bangkit. Riri berhenti berteriak, suara langkahnya terdengar menaiki tangga, berat dan cepat menuju arah kamar. "Bangun!" Dia menarik kasar selimut Sasha. Ujung jilbab rawis berwarna khaki-nya menjuntai menggelitik wajah sang adik. "Apaan, sih? Bentar lagi! Wajahku jadi gatal, nih, kena hijabmu!" Sasha Fahreza mengambil kembali selimutnya, mempertahankan posisinya di atas kasur seolah-olah hendak diserang oleh beruang. "Bangun, dasar pemalas! Kamu sudah nggak punya pekerjaan, nggak nikah juga, malah malas-malasan di rumah jadi beban saja!" Kata-kata itu meluncur bagaikan jet tempur tanpa ampun dari mulut Riri. Seketika itu juga rasanya ada yang mengiris tepat di jantung Sasha. Tenggorokannya terasa pahit, terganjal oleh suatu. Satu lagi pagi yang membuatnya tertekan. Kedua tangannya tiba-tiba mengepal kuat, bibir gemetar hebat. Hatinya seolah membara oleh api yang tidak terlihat. "Lalu kenapa?" Sasha terduduk di kasur, menyibakkan selimut di depan wajah Riri, "memang selama ini kamu tahu apa, hah? Kamu hanya memikirkan dirimu sendiri! Apa kamu tahu kalau selama ini mama bersedih dengan sikapmu yang tidak tahu memperlakukan orang tua? Aku bisa saja seorang pengangguran pemalas yang tidak dilirik siapapun untuk dinikahi, tapi setidaknya aku 'tahu' bagaimana memperlakukan orang yang lebih tua dariku, khususnya kepada orang tua sendiri! Kamu tidak tahu apa-apa, Riri! TIDAK TAHU APA-APA!" Entah ada angin apa pagi itu, Sasha lepas kendali. Lagi. Mungkin dia sangat sensitif dengan kata 'beban' sehingga membuatnya mengoceh seperti orang gila. Riri tiba-tiba menamparnya. "Kenapa denganku?! Aku tidak salah apa-apa!" suara Riri bergetar lemah. "Kamu yang salah di sini! Harusnya kamu cari pekerjaan! BUKANNYA MALAS-MALASAN DI RUMAH SEPERTI ORANG YANG PATAH HATI!" pekik Riri histeris. Kakaknya orang yang sangat kompetitif, berlawanan dengan dirinya. Riri adalah orang yang tidak menyukai kekalahan, lebih-lebih mengakui kesalahannya sendiri. Orangnya memang keras kepala, pendendam, dan hal yang paling tidak bisa Sasha tahan adalah kakaknya itu selalu bersikap seolah-olah menjadi korban atas segalanya. Sungguh memuakkan! Sasha terdiam dengan wajah dimiringkan; menatap kasur dengan tatapan hampa, sebuah senyum kecut mengembang sekilas lalu tertekuk suram. Terlihat darah menghiasi ujung bibir mungil itu. Tamparan itu cukup keras hingga membuat Sasha berada di tepian jurang depresi. Menolak untuk jatuh, dia menegakkan kepala, menatap Riri dengan tatapan dingin. "Omong kosong macam apa yang kamu bicarakan?" "Ya! Pasti itu!" Riri mulai tertawa kecil, terlihat ada kemenangan besar di kedua bola matanya. "Menyedihkan! Sungguh menyedihkan kamu hancur seperti ini gara-gara seorang lelaki!" Hati Sasha seperti dipilin berkali-kali mendengar hal itu. Tanpa sadar dia berdiri dari kasur dan mendorong Riri hingga menghantam pintu lemari, jatuh ke lantai dengan bunyi debam keras. "KAMU TAHU APA, HAH?!" berang Sasha. "Kenapa memangnya kalau aku hancur oleh seorang lelaki? Aku masih lebih baik daripada dirimu yang sama sekali tidak mengerti apa itu cinta! Kamu bahkan tidak tahu bagaimana berlemah lembut kepada kedua orang tuamu sendiri! Bagaimana mungkin kamu mengerti apa itu cinta! Kamu EGOIS!" Riri tersentak mendengarnya. Bulir-bulir air mata mulai menuruni kedua pipinya, menyapu make-up di wajahnya, membuat baju putih yang akan dipakainya ke kampus kini ternodai. "Aku mungkin saja adalah 'beban finansial' bagi keluarga ini, tapi kamu adalah 'beban pikiran' bagi mama! Apa kamu tahu itu? Tidak. Tentu tidak!" Sasha mendengus, dia memberi tekanan khusus kata sensitif itu. "Kamu mau tahu kenapa? KARENA KAMU HANYA MEMIKIRKAN DIRIMU SENDIRI!" Sasha mengucapkan kalimat berikutnya dengan penuh rasa benci dan amarah yang meluap-luap, menyipitkan mata seolah tengah melihat hal paling buruk di depan matanya, sesuatu yang menjijikkan dan kotor. "K-kamu...." Riri tidak sanggup mengucapkan sepatah katapun. Dia bangkit dan berlari keluar kamar dengan air mata masih mengucur deras di pipinya. Sasha Fahreza duduk terhenyak di lantai. Kesadaran menghantam dirinya bagaikan tersiram air dingin. Apa yang telah dilakukannya? Kali ini, giliran Sasha yang menitikkan air mata. Dia tidak menyangka pagi itu akan diwarnai oleh isak tangis mereka berdua. Drama macam apa lagi kali ini? Beban pikiran? Bukankah dia juga sama saja? Tenggorokannya tercekat. Di lantai satu dia mendengar kakaknya membanting pintu utama. Sepertinya memutuskan untuk berangkat ke kampus dengan muka semrawutan. Make up-nya belepotan oleh air mata. "I'm sorry…. I'm so sorry...." Sasha menangis terisak dengan kedua tangan menutupi wajahnya.Rambut hitam lurus dan panjangnya menjuntai di kedua sisi bahunya. *** "Nak Sasha! Nak Sasha!" Suara pintu terdengar diketuk begitu keras hingga Sasha terkejut dalam tidur. Samar-samar, dia mendengar namanya disebut-sebut oleh seseorang. Matanya dibuka perlahan, pandangannya masih kabur. Rupanya tanpa sadar dirinya tertidur di lantai. Masih mendengar teriakan itu, kupingnya dipasang baik-baik, suara itu berasal dari luar pagar di bawah. Sasha bangun dan mengusap pipinya. Lengket. Apa dia tidur sambil menangis? Pikirannya masih sulit memproses semuanya, hanya satu yang bisa dipastikan saat ini, dia merasa lelah sekali. Pipinya pun masih terasa sakit. Darah masih membekas di bibirnya. Jam dinding menunjukkan sudah hampir pukul dua belas siang. Sekujur tubuhnya terasa berat dan sakit seperti habis berolahraga pertama kali. Sungguh dia benci depresi! "Ya! Tunggu!" teriaknya dengan suara serak. Sasha buru-buru memperbaiki penampilannya, mencuci wajah kemudian turun ke lantai satu mengecek tamu tidak diundang tersebut. Satu matanya mengintip dari balik gorden, meski tidak sedang memakai kacamata, dia tahu siapa itu—toh, minus matanya tidak begitu parah. Rupanya Puang Aji, perempuan paruh baya pemilik rumah yang mereka sewa. Sasha buru-buru keluar rumah, menghampirinya. Dari balik pagar, Puang Aji tersenyum lebar yang sulit untuk tidak dibalas, beliau memakai daster hijau lengan panjang bercorak batik dengan jilbab besar berwarna krem. "Iya, Puang Aji, kenapa?" ucap Sasha dalam dialek lokalnya seraya membuka pagar. Setelah lebih dekat, baru disadarinya ada bungkusan kain hijau yang memiliki motif serupa dengan daster yang dipakai Puang Aji, melekat erat dalam pelukannya. "Ini, nak, oleh-oleh! Ada keluarga di Bone habis dari Palopo. Dia kirim sebagian tawaronya ke Makassar. Nak Riri, kan, suka makan Kapurung. Jadi, Puang Aji bikinkan saja kapurung sekalian." Puang Aji begitu berseri-seri memberi kapurung buatannya kepada Sasha. "Terima kasih, Puang Aji!" Sahut Sasha tulus, menerima bungkusan tersebut dengan hati riang. "Kalau begitu, permisi dulu ya, nak!" ucapnya dalam dialek lokal daerah yang kental.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN