Bab 8 Keheningan Kota yang Aneh

1531 Kata
Pagar rumah Puang Aji terbuka. Tidak biasanya Puang Aji begitu ceroboh membiarkan rumahnya dalam keadaan tidak aman. Beliau adalah orang yang sangat waspada. Sasha mengerutkan kening. Apa mungkin Puang Aji mau keluar? pikirnya tanpa ada prasangka buruk apa pun. Perempuan itu memeriksa sekeliling. Sunyi. Seperti rumah yang ditinggal pergi begitu saja. "Ada apa, sih?" Sasha berbalik, pandangannya memeriksa ke rumah-rumah lain. "Apa ada acara prank?" ucapnya, terlihat bingung. Perasaannya mulai digelayuti oleh hal-hal aneh. Terlihat bercak merah kehitaman yang setengah mengering di lantai. Awalnya, Sasha berpikir buruk, namun, toh, tidak ada kerumunan di sini, jadi mungkin itu hanya akibat keteledoran semata. Sasha tergelak canggung, mendengus geli. "Paling darah ikan." Dia pernah melakukan hal ceroboh semacam itu, membeli ikan dari penjual ikan bermotor, saking buru-burunya sampai lupa membawa baskom hingga menenteng kantong plastik bocor tertusuk ekor ikan. Darah ikan segar itu menetes sepanjang dari pagar sampai ke dapur. Yah. Semua orang bisa saja ceroboh setiap saat, bukan? "Ikannya pasti banyak. Darahnya kayak di TKP saja," kekeh Sasha santai. Sasha lalu berjingkat-jingkat kecil menghindari tetesan darah kering menuju pintu rumah. Bau khas darah membuat hidungnya mengkerut. Oh, bau yang sangat menusuk hidung! "Assalamualaikum, Puang Aji?" salam Sasha, pintunya berderit terbuka saat Sasha mengetuknya sekali. Dia tidak melihat ada penghuni rumah yang menghampirinya. Puang Aji tinggal bersama anak pertamanya, Bu Subaedah. Suami Bu Subaedah adalah seorang pelaut, jadi di rumah hanya ada Puang Aji, Bu Subaedah, dan anak laki-laki satu-satunya Bu Subaedah berusia tujuh tahun, Ian. Ian adalah anak yang sangat aktif dan punya rasa ingin tahu yang besar. Dia tidak suka ada orang luar memasuki pekarangan rumahnya, anak laki-laki itu akan mulai berteriak-teriak sampai mengumpat, mirip seperti satpam pribadi rumah itu, kata Puang Aji dulu. Sasha pernah bertanya padanya kalau sudah besar nanti dia ingin menjadi apa? Tanpa pikir panjang, anak laki-laki itu menjawab ingin menjadi Brimob, melindungi nenek dan ibunya dari orang-orang jahat. "Ian? Ian?" panggil Sasha. Mungkin saja anak itu ingin mengagetkan Sasha seperti dua minggu lalu saat datang membayar uang sewa rumahnya. "Tante bawa kue, loh! Kue brownies!" teriaknya seraya menaruh bungkusan tempat kapurung di atas meja, dan mulai menggoyang-goyangkan kue di depan wajahnya, berharap sang anak laki-laki termakan pancingannya. Hatinya merasa risih masuk lebih dalam ke rumah Puang Aji tanpa ada penghuni rumah bersamanya, rasanya seperti pencuri! Sesampai di dapur, tetesan darah dari luar menjadi genangan kecil menggumpal menuju konter. Sasha terkesiap. Apakah darah ikan bisa sebanyak itu? Atau rumah Puang Aji dimasuki maling? "Puang Aji! Puang Aji!" teriaknya mencari-cari keberadaan manusia selain dirinya. Pikirannya mulai kalut, dia melempar kantong plastik berisi kue ke atas meja makan, nyaris jatuh. Di ujung belakang, sebelah kanan dekat kamar mandi, ada sebuah kamar dengan pintu terbuka separuh. Jantung Sasha berdebar hebat sekali. Tetesan darah di konter tadi menuju kamar itu. Itu bukan darah ikan! Keringat dingin mulai menghampirinya, tangannya gemetar. Pintu kamar didorong perlahan, matanya terbelalak kaget. Sasha ingin berteriak, tapi suaranya seolah-olah tertelan oleh kesunyian. Kakinya kehilangan pijakan dan ambruk ke lantai, kedua tangannya membekap mulutnya sendiri. Perempuan ini mengerjapkan mata berkali-kali, berharap salah lihat karena tidak memakai kacamata. Sayangnya, pemandangan di depannya tidak berubah. Puang Aji tewas! Beliau tertelengkup bersimbah darah di lantai kamar tanpa mengenakan jilbab, sepanjang bahu kanannya menuju leher seperti dicabik oleh binatang buas, wajahnya menghadap ke kolong tempat tidur. Sasha tahu bahwa dia tidak bisa berbuat apa-apa lagi.Dia pernah melihat neneknya meninggal dunia, dan tubuh Puang Aji menunjukkan tanda-tanda seperti itu. Apalagi dengan kehilangan banyak darah akibat luka mengerikan di tubuhnya. "To-tolong..." bibir Sasha bergetar. "TOLONG!" Puang Aji jelas sudah meninggal dunia, setidaknya jika ada yang mendengar teriakannya akan ada orang yang datang melihat keadaan di rumah itu. Sasha mulai menjerit panik. Rasa takut merangkak ke dalam batinnya, mengaburkan akal sehat. Sudah hampir semenit dia berteriak meminta pertolongan. Namun, tidak ada yang muncul satu orang pun. Takut menjadi orang yang dicurigai, dia segera berlari keluar rumah. Pikiran dan hatinya kacau bukan main. Baru pertama kali ini melihat korban pembunuhan di depan matanya secara langsung! "TOLONG!" teriaknya histeris. Tubuhnya terasa berat untuk digerakkan, pandangan matanya mulai kabur. Dia tidak boleh pingsan saat ini! Kakinya melangkah menuju pagar depan dan sekali lagi berteriak dengan suara gemetar. "Tolong! Tolong! Puang Aji! Puang Aji meninggal!" Percuma. Sasha hanya berteriak pada kesunyian di sekitarnya, jalannya mulai terseok-seok mencari pertolongan dari rumah mana saja yang bisa dihampirinya. Sasha tidak henti-hentinya berteriak dari luar pagar pada rumah-rumah di sekitarnya, tapi tetap saja tidak ada siapa pun yang menanggapinya. Sunyi. Benar-benar sunyi! "Ya, Tuhan! Ada apa ini? Kenapa tidak ada siapapun! Sial!" umpatnya marah. Sasha bergegas memasuki pekarangan tidak terkunci salah satu rumah di seberang tidak jauh dari ujung lorong. Tangan menggedor-gedor pintu seperti orang kerasukan. "Assalamualaikum! Assalamualaikum! Apa ada orang? Halo! Apa ada orang di rumah!" Suara pintu rumah terbuka pelan, memperlihatkan isinya yang kosong tanpa penghuni. "Halo! Ada orang di rumah?" Masih trauma dengan kejadian sebelumnya, Sasha tidak berani masuk lebih dalam ke rumah itu. Bayangan mayat Puang Aji masih melekat kuat di ingatannya. Kesunyian yang menyelimutinya dan kejadian mengerikan yang dialaminya, membuatnya tidak sanggup menahan semua itu. Air mata-nya menetes. Sasha menjerit dan menendang pintu rumah itu. "Sialan! Ada apa, sih, ini?" Otaknya tidak bisa berpikir apa-apa saat ini! Apakah mereka semua tahu ada pembunuhan dan tidak mau keluar menolong karena takut terlibat? pikir Sasha geram. Hal itu mengingatkannya pada kejadian sepupunya yang mengalami kecelakaan tabrak lari. Penduduk sekitar sama sekali tidak ada yang mau menolongnya, menghampirinya-pun tidak, padahal jika ditolong saat itu, sepupunya mungkin saja masih hidup sampai saat ini. Amarah menggelegak dalam hatinya. Apakah manusia zaman ini sama sekali tidak ada rasa perikemanusiaannya sama sekali? Keberanian yang entah dari mana tiba-tiba muncul begitu saja. Sasha berbalik, berlari keluar lorong menuju warung bakso yang ada di belakang kantor pertanahan di sekitar jalan masuk perumahan itu. Ada banyak orang di sana setiap hari, ojek yang mangkal pun tidak pernah sepi. Mungkin bisa meminta pertolongan kepada mereka. Namun, kali ini dia salah. Memang ada banyak kendaraan di sana; lima mobil dan beberapa motor pribadi termasuk motor pengojek terparkir di sana. Lagi-lagi kebingungan melandanya. Tidak ada siapa pun di sana! Kakinya melangkah mendekati mobil-mobil itu. Diperiksanya isinya satu per satu dari balik kaca jendela. Kosong. Semuanya kosong! Warung bakso itu juga kosong! Di pangkalan ini, biasanya ada beberapa penjaga motor dan pengamen yang numpang mencari nafkah. Sama sekali tidak ada siapa pun kali ini. Ada apa sebenarnya? "Assalamualaikum?" teriak Sasha, melangkahkan kakinya ke dalam warung bakso setelah menyerah mengintip pagar belakang kantor pertanahan yang digembok tidak seperti hari-hari biasanya. Entah kenapa, seluruh tubuh dan pikirannya waspada. Di meja pembeli masih ada beberapa mangkuk bakso di sana, rata-rata isinya belum habis, sudah dingin dan gumpalan lemak terapung di permukaannya. Seperti ditinggal lari oleh pemesannya. Di kompor khusus, panci baksonya masih penuh. Sepertinya, pemilik warung bakso juga pergi entah ke mana. Warung itu kecil, Sasha tidak perlu repot-repot memeriksa ke dalam. Hanya dengan melempar pandang sekilas bisa melihat seluruh isi warung itu. Toilet pun tidak ada. Apa yang sebenarnya terjadi? Masa, sih, gara-gara pembunuhan itu semua orang di sini lari? Tidak masuk akal, batin Sasha. Perempuan ini memijat-mijat dahinya, bingung sendiri. Sasha berusaha memikirkan segala kemungkinan yang terjadi, tapi otaknya buntu. Dia seperti memasuki salah satu n****+ horor yang dibuatnya. Kemudian Sasha tertegun sejenak. Khawatir jika kewarasannya mulai hilang. Depresi yang dialami setahun belakangan ini memang merupakan pukulan cukup hebat dalam hidupnya, bahkan berencana mengakhiri hidupnya sendiri. Sasha menampar sebelah pipinya keras-keras, berharap semua hal tidak masuk akal ini hanyalah halusinasi, atau paling tidak adalah mimpi buruk yang selalu dialaminya. Tidak ada yang berubah. Warung itu masih sunyi dengan pemandangan yang ganjil. Perempuan bingung itu duduk sejenak di salah satu bangku. Otaknya berusaha mencerna semuanya. Tidak ada yang masuk akal. Tidak ada! Sasha lalu mengalihkan pandangannya ke luar warung. Tidak ada satu pun kendaraan yang lewat sejak berada di sana, seolah area itu ditinggal pergi bak perumahan mati. Menit berikutnya, Sasha memutuskan untuk keluar ke jalan utama meminta pertolongan pada siap apun yang lewat. Dia berjalan putus asa melewati jalan kecil yang terhubung dengan jalan utama. Dari jauh, terlihat beberapa kendaraan terjebak macet. Matanya memicing, kaki berhenti melangkah. Keningnya kembali bertaut. Tidak ada suara mesin kendaraan yang dinyalakan. Apa kemacetannya begitu parah sampai-sampai para pengguna kendaraan harus jalan kaki seperti kemacetan yang terjadi beberapa tahun lalu? Suara keras seperti tembakan terdengar. Sasha tersentak. Suara ledakan keras itu terdengar lagi. Dia yakin itu berasal dari senjata. Dari arah datangnya suara, lokasi tembakan itu diperkirakannya berada di ujung jalan utama. Suara itu kembali terdengar lagi beberapa kali. Ya! itu memang benar suara tembakan! Tidak salah lagi! "Kerusuhan? Apa terjadi kerusuhan di sana?" Sasha berlari keluar menuju jalan utama, terpana dengan deretan antrian panjang kendaraan tanpa penghuni sama sekali. Kepalanya menoleh ke kanan. Bahkan pejalan kaki pun tidak ada yang lewat. Kakinya melangkah cepat-cepat mendekati mobil-mobil itu, memeriksa isinya dari jendela ke jendela. Dari satu angkot ke angkot lain. Dari satu mobil pribadi ke mobil pribadi lain. Di seberang jalan, Sasha melihat sekumpulan orang mengerumuni sebuah rumah makan hingga membludak ke jalanan. Pemandangan di sana penuh sesak. Sasha mengerutkan kening untuk kesekian kalinya, gerakan mereka sangat aneh. Apakah ada yang sedang bagi-bagi sembako atau nasi bungkus gratis ataukah amplop berisi uang? Apa itu sebabnya kendaraan di sini kosong?
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN