Bab 6 Silencio: Ketenangan Sebelum Badai

1600 Kata
Kameramen meraih kamera di tripod, menyorot sang pria. Muka pria asing itu terlihat ketakutan, wajahnya pucat pasi dengan mata melotot ngeri. "Ada apa, Pak? Ada apa?" tanya kameramen itu cepat-cepat, masih merekam dengan kameranya. "Mereka! Mereka semua menggila! Ada setan yang merasuki mereka semua!" ujarnya dengan nada gemetar dan penuh horor. Bola mata pria itu membesar seolah ingin lari dari tempatnya. "Apa maksudnya itu, Pak? Setan apa?" "Mereka! Mereka!" napas pria itu memburu. "Para penumpang itu menjadi S E T A N! Arrrggghhhh!" Setelah menjerit histeris, pria itu berlari meninggalkan mereka berdua, memekik di kejauhan. "Selamatkan diri kalian! Jangan sampai tertangkap setan itu!" Pria itu seperti sudah kehilangan akal. Dia menabrak apapun yang ada di depannya, kemudian dari arah kanannya, sebuah truk melaju kencang menghantam tubuhnya, terlempar beberapa meter dan detik berikutnya tidak bergerak lagi. Sang reporter wanita terdengar menjerit histeris. Kecelakaan tragis itu terliput secara langsung di TV. Semua karyawan yang bertugas di acara berita itu tercengang dibuatnya. Kamera menyorot Ayu yang kini terduduk di aspal dan masih dalam keadaan menjerit-jerit. Di layar kaca kini menampilkan tiga gambar yang berbeda: di sisi kiri ada Ikhsan Bimasakti, di sisi kanan ada Ayu sang reporter, dan pada bagian bawah melalui kamera drone, puluhan orang yang berlarian panik ke segala penjuru arah. Dari pusat kehebohan itu, beberapa sosok hitam legam terseok-seok dengan tangan melambai-lambai ke arah warga sekitar. Ada juga sekumpulan manusia yang tersulut api, menjerit dan memekik minta tolong dalam kegemparan tiba-tiba itu. "Ayu Sriatna! Apa yang terjadi? Ayu Sriatna?" Ikhsan Bimasakti tampak syok dengan kejadian tidak biasa itu. Terdengar suara ribut-ribut dari belakang kameramen studio. Seseorang berteriak memberikan kode pada Ikhsan untuk berhenti, tapi pembawa berita itu tetap melanjutkan tugasnya. "Ayu! Kami masih bersama Anda di studio! Bisa laporkan apa yang terjadi?" "Ayu! Ayu! Kita harus siaran! Sadarlah!" Hanya suara kameramen yang terdengar di TV, sementara kamera lapangan menyorot jalanan beraspal. "Ayu! Kami membutuhkan laporan anda." Pembawa berita mendengar sesuatu melalui earphone, dan dia mulai menegakkan bahu. "Ayu! Para pemirsa membutuhkan jawaban atas apa yang tengah terjadi. Kami membutuhkan anda, Ayu!" rahangnya mengeras, mata menyipit. "Ayu! Bangun! Bangun, Ayu!" Sekali lagi hanya suara kameramen yang terdengar. Pada saat itu, tiba-tiba kamera menyorot beberapa pasang kaki manusia yang berlarian dari sudut jalan, mereka berteriak histeris dan lari tunggang langgang. "Apa yang terjadi sekarang?" keluh kameramen itu. "Ayu! Bangun! kamu bisa mati terinjak!" "Ayu! Apa yang terjadi di sana! Kenapa ada banyak orang yang berlarian?" tanya Ikhsan, tampak pucat. Namun, dia berusaha tetap profesional. Matanya tampak sesekali melirik layar di sebelahnya. "Seluruh pemirsa kita penasaran dengan apa yang sedang terjadi, Ayu! Kami membutuhkanmu! Semua orang membutuhkanmu!" Ucapannya lebih persuasif kali ini, nada suaranya terdengar dalam dan kuat. "Lari! Lari! Di sana menggila! Mereka menyerang dan menjadi buas! Lari, oi! Lari!" Dari kejauhan, seorang pria bercucuran darah di keningnya berlari ke arah mereka dengan kibasan tangan seolah-olah tengah mengusir sesuatu. "Apa maksudnya itu?" tanya kameramen kepada dirinya sendiri. Di studio berita, mereka hanya bisa mendengar percakapan di sana dengan sorot kamera yang menghadap ke aspal jalan. Kamera itu menyandung kaki salah satu dari mereka yang berhasil melewatinya. "Agus! Agus!" teriak Ayu histeris pada kameramen itu. Semua yang menonton siaran langsung itu kebingungan dengan apa yang terjadi. Suara-suara itu membuat mereka bertanya-tanya, dan hanya bisa terdiam membisu larut dalam kejadian tidak disangka-sangka tersebut. Pemandangan dari atas drone sungguh mengerikan. Kepulan asap hitam mencuat bagaikan peringatan tanda bahaya. "Ayu! Astaga! Ayo berdiri! Berdiri!" "Gue nggak bisa jalan, Gus! Kaki gue lemes. Tolong gue! Bantu gue, dong!" suara Ayu terdengar gemetar disertai isak tangis. "Lari! Kenapa masih di sini! Lari!" suara pria tadi terdengar cukup dekat dari kamera. Suaranya parau dan terdengar panik. "Ada apa, Pak?" "Mereka menuju kemari! Lari! Lari!" suara itu terdengar menjauh kembali. "Setan! Setan!" teriak salah satu dari mereka, lalu diikuti oleh yang lainnya. "Agus! Kenapa ini?" "Kita pergi! Ayo!" Sebelum Agus meraih kameranya untuk menyorot kehebohan itu, seorang pria berkaos hitam dengan rambut pendek urakan menyabet duluan kamera itu, dan seorang lagi yang tampaknya adalah rekannya, meraih dan memeluk tas berisi peralatan pendukung. Mereka kabur dengan ekspresi menggila dengan kabel dari tas yang terhubung ke kamera menggantung di udara. "Maling! Maling! MALING, WOI!" teriak Agus marah seraya menendang benda berkaki tiga di sudut trotoar. "Anjing! Kenapa nggak ambil tripod-nya skalian, bangsaaat!" Dari jauh, kamera itu menyorot mereka berdua dengan gerakan tidak stabil. Ayu tampak menenangkan Agus, menarik-narik bajunya untuk segera pergi dari tempat itu. Sementara suasana di sekitarnya semakin memburuk, ada lebih banyak lagi orang yang berlarian. Ketika kamera berbelok ke kanan, dua sosok hitam legam sekilas tertangkap kamera berjalan dengan gerakan yang aneh. Di belakangnya diikuti beberapa sosok hitam lagi dengan beberapa bagian tubuh yang tidak utuh. Satu dari mereka berhasil menangkap seseorang dan mulai menggigiti wajahnya, yang lain terlihat sedang menyusul orang-orang yang berlarian. Kamera kini menyorot Ayu dan Agus dari sudut lain dari kejauhan. Sang reporter lagi-lagi tampak menjerit histeris. Agus segera menyeretnya mengikuti arus keramaian di sekitarnya menuju mobil tim mereka yang berhenti mendadak untuk menjemput mereka. Dengan keadaan tidak jelas itu, pihak stasiun memutuskan komunikasi mereka. Layar TV kini kembali pada Ikhsan Bimasakti sendirian. Dia tampak terguncang. Seseorang memberinya aba-aba, dan dia mulai kembali menatap kamera. "Demikian breaking news kali ini. Nantikan berita selanjutnya. Selamat siang." Tutupnya, matanya jelas terlihat penuh tanda tanya. Sasha Fahreza tidak begitu peduli dengan berita di TV. Perempuan ini duduk melantai di depan meja dengan mata tertuju pada layar laptop sejak naik ke lantai dua, headset terpasang di telinga mendengar musik boyband KPop kesukaannya yang bernada hip hop dramatis, dan tangan satunya sibuk menyuapi mulutnya dengan kapurung. Sesekali tubuhnya bergerak mengikuti alunan musik, tersenyum-senyum sendiri dan menjerit-jerit tidak jelas. Lagunya sudah diputar berkali-kali dengan volume cukup besar semenjak headset itu melekat di kedua telinganya. "Hyun a~" Ucap Sasha seraya terkikik sendiri seraya memeriksa isi emailnya. Ada beberapa pesan yang masuk. Beberapa dari penggemar buku-buku yang diterbitkannya secara mandiri, tapi tidak ada email yang diharapkannya. Setelah membalas beberapa email penggemar, dia berkutat dengan isi Linkstagram yang isinya adalah dia yang memakai kostum-kostum cosplay karakter Jepang. Sebuah pesan membuatnya kesal: 'So, you are an otaku, huh? An acute Weeaboo? lol Come to me, baby. Let's go to Japan! I'll make you fun!' "Otaku apaan? Wibu apaan? Gue udah pensiun, juga, ama Jejepangan! Lagian gue bukan otaku atau wibu juga! Emang jadi cosplayer amatiran mesti jadi otaku atau wibu gitu? Sinting, nih, orang!" koarnya galak, sesendok kapurung terakhir melesat masuk ke tenggorokannya dengan suapan marah. "Dia pikir dirinya siapa? I'll make you fun? Sedang ngelecehin gue, ya? Sialan! Baju gue juga masih sopan-sopan amat, kok!" umpatnya lagi. Sasha meneguk air segelas sampai habis. Hatinya terasa panas membara, tangannya dengan gesit menghapus komentar itu dan memblokir si pemilik akun. "Bisa nggak, sih, gue hidup tenang walau sehari?" keluhnya. Tanpa melihat tayangan di TV, Sasha meraih remot TV dan mematikannya. Kini, dia sibuk mempreteli isi Linkstagramnya. Tahun ini dia harus mendapat pekerjaan atau kakaknya akan memandang dirinya lebih hina dari biasanya. Popularitasnya yang cukup bagus di internet sebagai cosplayer modal irit bisa membuatnya kesusahan melamar pekerjaan suatu hari nanti jika ketahuan. Dia tidak ingin kakaknya itu lagi-lagi menguliahinya seperti tadi pagi yang mana berakhir dengan kejadian dramatis memalukan. Dia benci dan muak dengan drama. *** "Assalamualaikum!" suara Riri terdengar dari arah pintu utama rumah. Sasha sibuk mencuci piring di dapur, melirik ke kanan belakangnya, mulutnya dimonyongkan "Waalaikumussalam." Jam dinding menunjukkan pukul lima sore lewat, dan Sasha belum mandi seharian. Setelah sibuk mengurus email dan akun media sosialnya selama sejam penuh, waktunya dua jam dihabiskan untuk menonton dua episode drama fiksi ilmiah, sejam lagi dihabiskan untuk chatting dengan AG tentang pertengkarannya dengan sang kakak tadi pagi. Lalu, setelah puas menumpahkan uneg-unegnya dan mendapat wejangan seperti biasa, dia membereskan rumah sampai akhirnya berakhir dengan mencuci piring. "Ada kapurung dari Puang Aji di kulkas." Sasha memberitahu Riri dengan nada datar secuek mungkin sewaktu kakaknya memasuki dapur. "Ah, iya..." Riri menaruh sebuah bungkusan di atas meja makan. Mereka berdua sama sekali tidak berkomentar apapun, masing-masing melakukan apa yang mereka kerjakan. Sasha kali ini sibuk membersihkan konter, sementara Riri menyiapkan kapurung untuk disantapnya. Sasha melirik bungkusan putih tadi, agak penasaran, tapi ditahan. Mata mereka bertemu selama beberapa detik, membuat mereka berdua tidak nyaman satu sama lain. "Habiskan saja semua kapurungnya. Aku sudah makan bagianku." Sasha berjalan cepat menuju tangga ketika mengatakan hal itu. Entah kenapa, dia agak merasa malu sendiri. Riri hanya terdiam membeku. Matanya melirik bungkusan putih yang dibawanya, raut wajahnya berubah masam. "Kue... nya..." bisiknya sedih. Riri meraih bungkusan itu dan mengeluarkan dua kotak brownies Pink Marble. Helaan nafasnya panjang dan berat, kemudian menaruhnya di kulkas. *** Sasha sengaja berlama-lama mandi agar tidak bertemu kakaknya di ruang santai. Rasanya tidak nyaman. Tidak bisa dikatakan kalau yang salah sepenuhnya adalah kakaknya. Tidak. Toh, dia juga ambil bagian dalam hal itu. Matanya mengintip dari balik pintu kamar mandi, tidak ada siapapun. Ok. Saatnya keluar sekarang! Pikirnya. Sasha berjalan mengendap-ngendap menuju kamar. Di tengah jalan menyentakkan kaki, kemudian mendecakkan lidah. "Emang aku pencuri apa?" keluhnya pada diri sendiri, lalu berjalan normal seperti biasa. Saat Sasha memegang kenop pintu, pintu kamar kakaknya yang bersebelahan terbuka separuh. Itu otomatis membuat Sasha terperanjat dan nyaris jatuh menghantam tempat setrikaan di sisi kanannya. "Holy s**t! Kaget gue!" umpatnya dengan suara berbisik. "Ada kue di kulkas untukmu..." Riri terdiam sejenak, melanjutkan, "kebetulan ada dua. Berikan satu pada Puang Aji pas kembaliin tempat kapurungnya nanti." Sasha hanya terdiam. Dia kebingungan. Mata dikerjapkan sekali. Kakaknya kesurupan malaikat apaan sampe baik begitu? "Kamu dengar tidak?" "I-iya. Akan kuberikan besok," jawabnya canggung. "Ok. Met malam." Riri segera menutup pintu kamarnya. Diam-diam, keduanya tampak tersipu malu sendiri dengan interaksi singkat mereka barusan.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN