Aku memeluk Luvina, sudah sejak lama, aku tidak pernah memeluk sahabatku ini, selama bertahun-tahun dia menjadi penopang hidupku, dia memberikan kebahagiaan dan hidup baru untukku ketika aku merasa sudah mati kehilangan orang tuaku, kehilangan segalanya dan kehilangan Bowo yang selama ini sudah menjadi alasanku untuk hidup ketika orang tuaku meninggal dunia.
Aku memiliki banyak problems hidup, aku tak sempurna, tapi aku hanya salah satu wanita yang menginginkan kebahagiaan dalam hidup, sekarang sahabatku sudah menjadi satu-satunya keluargaku di dunia ini, bukan hanya Luvina tapi semuanya sudah menjadi keluargaku. Aku merasa telah hidup kembali setelah kematian hampir merenggutku karena kehilangan orang yang paling ku sayangi.
"Ada apa nih kalian main peluk-peluk?", Tanya Fahri yang melihat kami berpelukan. aku pun melepas pelukanku.
"Ada apa Git? Apa lo punya masalah?", Tanya Fahri, aku melihat Luvina dan, Luvina memberikanku kode agar mengatakan niatku untuk pindah. Aku pun ragu, apa aku bisa hidup sendiri di luar sana tanpa mereka?
"Git, lo di tanyain tuh", ujar Luvina menyikut lenganku.
"Lo mau bilang apa? Jangan bilang lo mau izin pindah lagi? Udahh deh Git, lo itu tanggung jawab gue, jadi gue harus tanggung jawab sampai akhir, sampai nantinya ada yang menggantikan gue menjadi penanggung jawab lo, yaitu suami lo, jangan harap gue izinin pindah, lo bisa keluar dari rumah ini kalau lo udah nikah nanti", ujar Fahri, sepertinya Fahri memang tahu banget apa yang akan aku katakan.
"Ada apa nih? Siapa yang mau pindah?", tanya tante Rana yang tak sengaja mendengar percakapan kami.
"Mami? Anuu.. mi, Gita minta izinku untuk pindah dari rumah ini", jawab Fahri.
"Gita mau pindah? Tapi alasannya, apa? Apa karena permintaan mami?", tanya tante Rana.
"Bukan, bukan tante, bukan karena permintaan tante", jawabku.
"Jika memang karena permintaan tante, kamu jadi berniat pindah, lupakan saja permintaan tante untuk menikahkanmu dengan Leon, tante pun akan melupakan permintaan tante asalkan kamu jangan pindah dan tetaplah disini", ujar tante Rana membuatku merasa bersalah, karena perkataanku dan permintaanku membuat tante Rana jadi salah faham.
Tante Rana berjalan meninggalkan kami semua, membuatku sedih, karena semuanya adalah salahku
"Mami!" Panggil Luvina.
"Mas, aku susul mami dulu", ujar Luvina berjalan menyusul langkah tante Rana.
"Ri, karena gue, tante Rana jadi salah faham, gue kan minta pindah sejak dulu, bukan di saat mami datang dan memintaku menikah dengan Badrun itu", ujarku membuat Fahri menghela nafas panjang.
"Jika lo pengen pindah, lo bisa pindah, gue ga kepengen ngekang lo buat tetap disini bersama kami, tujuan gue hanya pengen ngejagain lo, lo itu adalah sahabat bukan.. maksudku saudara istri gue, jadi gue kepengen lo itu tetap disini dan tetap berada di bawah tanggung jawab gue"
"Iya gue minta maaf, gue_"
"Kita ga usah bahas lagi ya, sekarang gue kasih lo kebebasan, gue ga mau lagi ngelarang atau ngekang lo", ujar Fahri berjalan meninggalkanku.
Ya Allah.. kenapa semua jadi salah faham gini? Permintaanku untuk pindah itu semata-mata hanya ingin hidup mandiri tanpa bergantung pada keluarga ini... keluarga ini sudah banyak membantuku, apakah aku harus terus merepotkan mereka? Iya.. aku akui, aku ingin pergi dari sini karena Badrun itu selalu saja menggangguku, dia selalu saja melukai harga diriku, melukai perasaanku, tapi bukan hanya karena Badrun tapi karena alasan lain.
****
Aku sarapan bersama mereka yang selama ini sudah menjadi satu-satunya keluargaku, tak ada perbincangan dan hanya ada diam-diamman, biasanya keluarga ini begitu harmonis ketika sedang sarapan, makan siang atau makan malam, setiap waktu akan ada selalu beberapa percakapan tentang apapun, tentang Rafki di sekolah, tentang Arsya dengan teman sekolahnya, tapi saat ini kami hanya diam saja dan tak ada perbincangan sepata katapun.
"Aku setuju, menikah dengan Badrun", ujarku membuat Badrun dan Fahri tersedak makanan.
Aku tak tahu apa aku benar- benar menyetujui perjodohanku dengan Badrun, tapi ini lah yang harus ku putuskan demi kebaikan bersama, semalam perkataanku melukai perasaan tante Rana dan Fahri, tanpa tidur pun aku harus berpikir sampai aku benar-benar yakin dengan keputusanku dan ini lah keputusanku.
"Kalian, kenapa menatapku?", tanyaku heran, ketika melihat tante Rana, Fahri, Luvina dan Badrun menatapku.
"Lo serius?", tanya Badrun... dasar Badrun penyuka Boxer bocah.
"Gue ga mungkin becanda dengan semua ini", kataku.
"Jadi, lo setuju?", tanya Luvina.
"Iya vin, gue setuju"
"Apa lo terpaksa? Kalau lo terpaksa mending ga usah deh, Git. Lo sama Leon bakal ga bahagia jika menikah karena paksaan", sambung Fahri.
"Gue bakal berusaha bahagia, Ri. Lo ga usah khawatir, gue yakin banget dengan keputusan gue ini, tanpa terpaksa dan tanpa di paksa"
Tante Rana dan Badrun masih menatapku.
"Tante tanya sekali lagi nak, apa kamu bersedia menikah dengan Leon?", tanya tante Rana.
"Iya tante, saya yakin dengan keputusan saya dan saya bersedia menikah dengan Badrun"
"Badrun? Sebenarnya Badrun itu siapa?", Tanya tante Rana membuatku tersenyum.
"Lampir ini memang memanggilku Badrun mi", jawab Badrun.
"Kalian itu, kayak ga punya nama saja, sampai saling memanggil nama lain"
"Mereka memang ga pernah akur mi", sambung Fahri.
"Tapi, semoga pernikahan kalian yang akan membuat kalian akur", sambung Luvina.
Badrun melempar senyum bak b******k kepadaku, dia seakan memberikanku kode bahwa dia akhirnya menang karena berhasil memintaku menikah, tapi jangan senang dulu, aku setuju bukan untuk akur dengan dia, tapi untuk melanjutkan apa sudah dia mulai.
***
... Author POV...
Esok pagi di kantor Gita begitu ga semangat karena harus memikirkan bagaimana nasibnya setelah menikah dengan Leon yang di anggapnya tidak pernah dewasa dan sikapnya mirip bocah.
Gita berpikir bahwa pernikahan yang ia impikan selama ini akan di penuhi dengan perdebatan atau pertengkaran, karena ia dan Leon sama-sama keras dan tidak pernah mau mengalah. Gita menghela nafas panjang dan terkejut ketika mendapati Ariel sedang duduk di hadapannya.
"Ariel? Kamu mengejutkanku", ujar Gita.
"Ada apa? Kenapa sejak tadi aku lihatin, kamu seperti memikirkan sesuatu yang menguras tenaga"
"Hmm? Aku memamg memikirkan sesuatu yang hanya akan menguras tenaga dan menguras emosiku"
"Cerita padaku, ada apa?"
"Hmmm? Ga ada apa-apa, Riel"
"Apa kamu mau berjalan denganku setelah pulang kantor nanti?", tanya Ariel.
"Kemana?"
"Kemana aja yang bisa membuat wajah sedihmu menjadi senyuman yang manis"
"Baiklah"
Gita tersenyum, Ariel memang lebih tahu caranya membuatnya bisa lebih baik, Gita harus menghabiskan waktu bersama Leon yang selama ini ia anggap masih mirip bocah.
Gita mengerjakan beberapa dokumen yang di bawakan Fenfen, yang selama ini sangat tak suka dengan kehadiran Gita, Fenfen adalah wanita asli keturunan Jepang yang begitu menyukai Ariel, hanya saja Ariel lebih menyukai wanita yang sebangsanya, yang berasal sama dengannya, tentu saja kehadiran Gita membuatnya lebih bersemangat dalam bekerja.
Fenfen tak pernah menyambut kedatangan Gita, hanya saja karyawan lainnya tak ingin membuat masalah dengan Gita, karena mereka tahu bahwa Gita adalah keluarga CEO disini.
Ketika sedang mengerjakan beberapa pekerjaan, seseorang membawakan minum untuk Gita, membuat Gita heran dan tak percaya.
"Ini untuk siapa?", tanya Gita dalam bahasa Jepang walaupun belum lancer.
"Ini untuk nona dari Tuan Nakura", ujar pembawa minuman itu, setahu Gita Nakura adalah Ariel, Gita berbalik melihat Ariel yang kini sedang menatapnya lewat dinding kaca ruangannya
Gita memberikan kode kepada Ariel dengan mengangkat minuman kaleng yang di berikan wanita tadi... Ariel tersenyum dan memberikan isyarat pada Gita agar lebih bersemangat dalam bekerja, Ariel memang menyadari lamunan Gita sejak tadi Dan sangat tahu jika Gita memiliki masalah yang tak bisa ia ceritakan.
.
***BersambungHappy and enjoy reading
Jangan lupa votmment ❣️Tinggalkan jejak kalian***