Part 3 - Frozen Jelaousy

1374 Kata
Ardigo memapahku kedalam apartementnya. Dari jarak sedekat ini, aku bisa melihat wajah Ardigo dari dekat. Lumayan, kan kalau bisa melihat wajah tampannya dari dekat apalagi aku tidak pernah melihat wajah Ardigo sedekat ini. Bagiku, ini pemandangan yang paling terindah untukku karena bisa melihat wajahnya yang tampan. Dia sangat mempesona dengan bibir merah yang tipis, serta memiliki rahang yang tegas. Hidungnya mancung, dan bulu mata yang lentik. Oh Tuhan... Dia tampan sekali! Astaga mengapa aku tidak pernah bosan melihat pahatan wajahnya yang sempurna itu. "Sudah selesai melihat wajah tampanku?" Sentaknya sambil menatapku dengan tatapannya yang tajam. Aku mengedipkan kedua mataku dengan gugup. "Eh? Ti-tidak... Hehehe, cuma tadi ada semut di pipimu." Kataku gugup lalu menyentuh pipi Ardigo. Mau modus sih, sebenarnya. Sebelum tanganku menyentuh pipinya, Ardigo malah menyentakkan tanganku. "Jangan sentuh pipi gue! Gue tahu lo mau modus, kan?" Aku menunduk malu. Kok dia bisa tahu, sih??? Gagal modus jadinya!!! Aku memasang senyum lima jari, "hehehe... Tahu aja mau modus." Ardigo berdecak sebal. "Bisa gak sih lo gak becanda, mumpung gue lagi baik sama lo." Aku merengut, "tidak bisa, kalau lihat kamu pasti bawaannya mau modus'in kamu, abisnya kamu ganteng sih." Ardigo memutar kedua bola matanya dengan malas. "Sekali lagi lo masih nyerocos, gue tendang lo sampai keluar apart gue!" Ancamnya yang membuatku bergidik ngeri. Masa di tendang sih?dia benar-benar tega! Dasar makhluk es yang tidak berperasaan. Aku langsung membungkam bibirku lalu mengangguk patuh dengan ancamannya. Tibalah kami di depan apartnya, dengan tanganya yang bebas, Ardigo memencet kode password apartnya lalu perlahan membawaku kedalam apartnya. Aku menganga takjub dengan dekorasi apart Ardigo. Sangat maskulin dan sangat cocok untuk pria dingin dan kaku sepertinya. Setiap ruangannya berdominasi warna abu-abu, hitam, dan putih. Warna yang sangat kontras dengan sifatnya. Oh dan jangan lupa interiornya, sangat bagus dan apartnya juga rapi. Jika dibandingkan dengan kamarku yang seperti kapal pecah itu membuatku malu. Bayangkan saja, Ardigo seorang pria saja bisa menjaga kebersihan dan kerapian apartnya dengan begitu rapi. Sedangkan aku? Jangankan membersihkan rumah, kamar saja aku malas sekali. "Apart kamu bagus." Pujiku yang masih menilai dekorasi ruangannya. "Sudah gue bilang, kan untuk jangan bicara? Gue lelah dengar suara lo." Aku mencibir kesal, lalu Ardigo membawaku untuk duduk di sofa panjang. Pria itu meninggalkanku sebentar dan beberapa kemudian dia datang membawa kotak P3K. Walau sifatnya dingin dan kejam, ternyata di suatu sisi ia masih peduli denganku. Lihat, dia mau mengobati lukaku tanpa membawaku ke dokter. "Makanya, jangan keluar pakai hotpants!" Dumelnya sambil menuangkan alkohol ke kapas. Aku mengernyit bingung,"maksud kamu?" Ardigo berdecak kesal, "gara-gara pakai hotpants, lutut lo terluka, kan? Coba misalkan lo pakai celana jeans panjang pasti celana jeansnya yang sobek dan lutut lo tidak terkena luka." Omelnya. Tuhkan dia perhatian! Aku hanya mampu senyum-senyum tidak jelas karena bahagia kalau Ardigo mulai perhatian kepadaku. Suatu kemajuan dan tidak bisa dipercaya! Hawa dingin dan perih terasa di lututku yang berdarah, Ardigo membersihkan lukaku dengan air dingin yang entah kapan dia ambil. Mungkin sekalian ambil kotak P3K. Sekuat tenaga aku tidak membuka suara, rasa perih membuatku tidak tahan ingin berteriak sekencang-kencangnya. Tetapi, aku takut di tendang Ardigo jadinya aku hanya diam sambil menahan sakit. Aku melihat dia yang sedang mengobati lukaku terasa kupu-kupu berterbangan di perutku. Ini mimpi, kah? Seorang Ardigo yang dingin dan kejam mau mengobati lukaku. I can't believe that! Karena tidak tahan dengan perih lukaku, satu tetes air mata keluar dari pelupuk mataku, Ardigo terus menekan dengan pelan kapas di daerah lututku yang terluka Aku memejamkan mata menahan air mata agar tidak jatuh. Sudahlah menahan sakit, menahan suara agar tidak keceplosan keluar ditambah dengan menahan air mata agar tidak keluar itu rasanya luar biasa. Luar biasa menyakitkan lebih tepatnya. "Lo nangis?" Suara bariton milik Ardigo membuatku membuka mata. Ternyata pria itu menatapku sambil tangannya mengobati lukaku. Aku hanya mengangguk sebagai jawaban. "Apa terlalu sakit?" Tanyanya lagi. Sudah tahu masih sakit masih aja nanya! Lagi-lagi aku hanya mengangguk sebagai jawaban. "Lo kenapa, sih? Dari tadi di tanya'in ngangguk mulu. Punya mulut gak sih?" Sindirnya. Aku merengut kesal, tangan kananku menunjuk mulutku yang artinya mulutku masih setia di tempatnya. Ardigo menggeleng frustasi. "Dasar cewek aneh!" Gerutunya lalu kembali sibuk dengan lukaku. Ih, siapa yang aneh, coba? Kan dia sendiri yang melarangku untuk membuka suara. Kenapa dia yang menghinaku 'cewek aneh'. Harusnya, kan dia yang aneh. Melarang orang bicara tapi seenak dengkulnya aja mengataiku. "Selesai." Gumamnya lalu membereskan kotak obat tersebut. Aku melihat kearah lututku yang terluka kini sudah dibalut dengan perban. Ih, kan makin cinta akunya kalau Ardigo jadi sweet begini. Aku berdiri dari sofa, lebih baik aku pulang dahulu daripada kena tendang duluan sama dianya. "Mau kemana?" Aku menoleh ke belakang dan mendapati Ardigo yang sedang berdiri sambil berpangku tangan menatapku dengan tajam. Aku mengisyartkan dengan tanganku menunjukke arah samping. "Maksud lo apaan? Lo kenapa jadi mendadak bisu begini?" Aku hanya mengedikkan bahu tanda tidak peduli dan tidak mau tahu. Yang buat aku mendadak tuli, kan dia? Kenapa masih bertanya?! "Lo kenapa sih? Kalau lo gak buka suara gue bakalan cium lo," ancamnya. Dasar pervert! Main ancam pakai cium lagi. Eh, tapi gak apa dong. Ini namanya anugerah terindah jika mendapatkan ciuman dari pria yang aku cintai. "Beneran?!" tanyaku antusias. Kalau misalkan kakiku lagi tidak sakit, aku sudah melompat-lompat saking girangnya. Siapa sih yang gak mau dapat cium dari seorang Ardigo? Rugi tau di tolak. Sangat rugi malah. Ardigo menyeringai puas, "tidak jadi. Soalnya lo sudah membuka suara lo setelah beberapa menit lo mendadak bisu." Hiyaaah! Namira bodoh! Bodoh bodoh bodoh!!! Harusnya jangan kegirangan dan teriak-teriak segala sebelum dapat cium dari Ardigo. Kan jadi nyesel sendiri akunya! Aku mengerucutkan bibirku dengan sebal. Gagal kan jadinya dapet ciuman gratis dari Ardigo! Sebel, ih! "Bibirnya kenapa di mancungin?" Suaranya menyentakkanku. Aku kembali menjadi diam. Ya, aku jadi malas berbicara sama dia. Efek kesal jadi begini. Siapa yang gak kesal kalau dapat ciuman dari pujaan hati gagal total? Aku berjalan dengan tertatih menuju pintu keluar. Bergerak sedikit saja kakiku terasa perih. "Namira! Jangan bergerak dulu!" Perintahnya lalu mencekal tanganku agar tidak bergerak. Sumpah demi apapun, saat Ardigo memanggilku dengan namaku membuat kakiku terasa lemas seketika. Ardigo memanggilku dengan embel 'Namira' dan itu suatu keajaiban dunia! Menetralkan detak jantungku yang sudah goyang dangdut, aku pun berusaha kuat agar kakiku masih bisa menopang tubuhku di lantai. "Aku mau pulang." Jawabku singkat tanpa menoleh kearahnya yang ternyata wajahnya tepat berada di depan wajahku. Ardigo menatapku lebih tepatnya meneliti lututku dengan matanya yang tajam. "Untuk sementara lo istirahat saja dulu di sini. Malamnya gue antarin lo ke apartnya Andira." Ujarnya. Aku membelalak tak percaya. Ardigo menyuruhku beristirahat di apartnya? Mimpi apa aku semalam?? Tuhan, jika ini mimpi tolong jangan bangunkan aku. Aku masih ingin menikmati kehadirannya di sini. "Nanti aku malah repotin kamu. Apa jangan-jangan kamu pengen direpotin sama aku, ya?" Tudingku melenceng ke mana-mana. Ardigo memutar kedua bola matanya, "please, jangan mulai, deh." Balasnya sebal. Aku terkekeh. "Tapi aku lapar." Ucapku sambil menahan malu. Ardigo menghela napas, "baiklah, lo mau makan apa?" Aihh... Baiknya... Walaupun dingin dia tetap perhatian. Tuhkan, makin cinta akunya! "Ayam Nando’s, ya." Ardigo mengangguk kaku, "lo tunggu sini biar gue beli'in makanannya." Lalu Ardigo pergi keluar. Tuhkan, rasanya tuh ya, berasa suami-istri tahu gak. Ibaratnya tuh Ardigo suami yang perhatian belikan istrinya makan sedangkan istrinya menunggu suaminya pulang membawa makanan. Lihat, benar-benar seperti sepasang suami istri. Semoga saja itu bisa terjadi Ya Tuhan. Sambil tersenyum senang, aku duduk di sofa dengan langkah hati-hati. Sambil menunggu calon suami membeli makan, aku menonton televisi menghilangkan rasa sunyi di apart ini. Tiba-tiba ponselku berbunyi, aku merogoh ponselku dan melihat ternyata Andira mengirim pesan. Dengan cepat aku membuka isi pesan tersebut. From: Andira Olivia W. Nami! Lo dimana, sih? Lama banget beli belanjaannya. Lo pergi jalan kaki, pulang naik odong-odong ya, makanya lama. Karena gue males nunggu elo, gue pergi dulu ya cari makan sama Ardigo. Wuapaah? Jadi Ardigo pergi cari makan bareng Andira?!? Enak banget Andira bisa pergi bareng Ardigo. Huueee... Aku iri! Dasar sepupu aneh! Bilangnya sepupu tapi kalau ketemu kadang baikkan kadang berantem dan kadang selalu mesra! Ish, mana ada sepupu saling mesra. Lah, kenapa aku jadi cemburu buta sama Andira, ya? Ah, mau sepupu atau nggaknya, tetap saja aku cemburu karena Ardigo berdekatan sama Andira. Ish...kalau tahu gitu tahanin saja sakitnya biar bisa ikut makan bareng mereka.   --Priska Savira—  
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN