“Me-ni-kah?” Arden menatap Diana tak habis pikir. Pandangannya menyeruakan ketidaknyamanan yang seketika itu pula ia rasakan. Marah, kecewa, dan semua rasa yang membuat Arden ingin mengamuk, meletup-letup, membuatnya terengah-engah. Ke dua tangannya yang ada di atas meja kerjanya refleks mengepal kencang.
Mengenai pernikahan memang selalu menjadi bumerang bagi seorang Arden, mengingat Inara selaku wanita yang teramat ia cintai, tengah di Amerika untuk menempuh pendidikan kedokteran yang sudah menjadi cita-cita terbesar Inara.
“Bukankah kemarin, Mamah sama nenek sudah bahas ini?” Diana tak mau kalah. Ia juga menatap heran sang putra yang sampai beranjak dari tempat duduknya dengan kasar.
Di ruang kerja Arden yang terbilang luas dengan meja penuh tumpukan dokumen berikut arsip, selain sebuah laptop yang menyala, Diana langsung mendapatkan kemarahan dari sang putra. Meski paham perihal cinta apalagi pernikahan menjadi hal paling sensitif yang tidak bisa diusik bagi seorang Arden, demi masa depan Arden bahkan kelangsungan keluarga mereka, Diana merasa perlu bertindak tegas.
Arden jelas menentang. Apalagi kemarin saja, pria itu langsung menolak, berdalih, Inara sang kekasih baru bisa pulang ke Indonesia sekitar satu tahun lagi, setelah sebelumnya, Inara juga sempat mengabari, sekitar tiga hingga empat bulan lagi, wanita itu akan kembali dan benar-benar telah menyelesaikan pendidikan berikut praktek sementaranya di Amerika.
“Ini masih tentang kejawen, weton, silsilah kehidupan, begitu ...? Ruwet!” Arden menatap sengit Diana. Tangan kekarnya yang tak tertutup kemeja lengan panjang yang dikenakan, karena kebiasaannya memang menyingsing setiap lengan panjang yang dikenakan hingga siku, berangsur bersedekap.
“Bercermin pada apa yang menimpa Intan, Ar.” Diana berucap tegas lengkap dengan tatapannya yang tidak mau kalah dari Arden.
Mengenai tatapan Arden yang selalu tajam bahkan ketika menatapnya, tentu Diana tahu penyebabnya. Arden mewarisi semua itu tanpa terkecuali fisik berikut sifat keras dalam diri Arden, dari papah Arden.
Mendengar nama Intan disebut, emosi Arden beranjak surut. Ia menghela napas dalam, merasa frustrasi jika ia harus menghadapi kenyataan Intan (kisah Intan dan Arden nantinya ada di n****+ : Istri Pengganti (Pernikahan Sementara)).
“Mamah tidak memintamu untuk melukai Inara. Pilihan yang Mamah berikan terlampau sederhana. Sama sekali tidak merugikan Inara apalai hubungan kalian.”
“Tapi Inara sudah banyak berkorban untuk kita, Mah!” tegas Arden cepat.
“Oh, ya …?” Diana langsung pura-pura syok.
Melihat tanggapan sang mamah yang terlihat jelas menampik anggapannya, Arden langsung bergidik. Ia sampai mundur dua langkah sambil menelan salivanya pelan.
“Sebanyak-banyaknya Inara berkorban, Intan lebih banyak! Bahkan karena keegoisan Inara, Intan sampai berkorban nyawa, Ar!”
“Mela, … apakah Mela belum cukup menjadi wujud pengorbanan Intan?!” Diana berucap tegas. Emosinya berkobar-kobar lengkap dengan butiran bening yang mengalir dari ke dua matanya.
Tak beda dengan Kanaya, di mata Diana, Intan memang potret wanita teladan. Wanita teladan yang selalu mengabdi sekaligus berkorban tanpa terkecuali kepada Arden sekeluarga.
“Cukup, Mah!” tahan Arden sembari menunduk getir.
“Cukup bagaimana?” Diana langsung menggeleng tegas. “Kamu pikir, Mamah enggak tahu? Status biasiswa yang selalu Inara sekeluarga bangga-banggakan, semua itu hanya omong kosong, kan? Karena selama empat tahun di Amerika saja, semua keperluan Inara juga kamu yang urus?” tegasnya masih berucap tegas. Ia dapati, Arden yang langsung kehilangan ekspresi. Wajah Arden beranjak memucat.
“Kita sudahi saja. Intinya, dalam waktu dekat, tanpa lebih dari satu bulan, kamu sudah harus menikah!” tegas Diana tanpa membutuhkan penolakan. “Kita sama-sama lihat, apakah Inara akan tetap egois? Apakah dia akan tetap memintamu mengalah, mendadak mengadakan pernikahan pengganti seperti sebelumnya atau rencana ajaib lainnya?” Napas Diana memburu menahan kesal yang telanjur meluap.
Arden menatap Diana sambil menggeleng tak mengerti. “Mah!”
“Apa lagi? Mau berapa nyawa lagi yang kalian korbankan? Kamu masih berani bilang, kepercayaan kejawen kita, hanya kebetulan?” tegas Diana. “Bukankah akhir-akhir ini saja, usaha dan pekerjaanmu juga selalu berantakan?”
Arden tak kuasa menjawab apalagi mengelak. Ia menepis tatapan Diana bahkan berakhir dengan menunduk. Suatu kenyataan yang langsung membuat Diana memahami situasi.
“Tegaskan kepada Inara, apakah cita-citanya lebih penting dari hubungan kalian? Apakah Inara akan tetap membiarkanmu terpuruk bahkan hancur?”
“Cukup tiga hari, atau setidaknya satu hari, Ar! Dan jika Inara sampai tetap tidak bisa pulang meski hanya tiga bahkan sehari di pernikahan kalian--” Diana sengaja menunda ucapannya. Ia dapati, Arden yang langsung menatapnya dengan gusar.
“Mah!”
“Kamu harus menikah dengan wanita pilihan Mamah. Wanita yang berkali-kali lipat lebih baik dari semua wanita di muka bumi ini, bahkan Inara sekalipun!”
“Mah!” Arden langsung menolak tegas.
“Mela bahkan langsung cocok dengan wanita pilihan Mamah! Mela langsung memanggil wanita pilihan Mamah dengan sebutan ; mamah!” tangkis Diana cepat.
Arden langsung menepis tatapan Diana.
“Seenggaknya, kalau kamu masih belum bisa melihat niat tulus Mamah, kamu juga harus melihat Mela. Mela korban keegoisanmu dan Inara! Ingat itu! Bahkan sampai sekarang, kamu sama sekali enggak peduli sama Mela, kan? Sedangkan wanita pilihan Mamah, dia langsung bisa kasih perhatian sekaligus kebahagiaan kepada Mela!”
“Wanita pilihan Mamah bukan wanita sembarangan, Ar!” tegas Diana menambahi. “Mau cari yang seperti apa lagi? Dia bisa kasih keberkahan ke kita, Mela juga cocok dengan dia!”
“Kalau dia bukan wanita sembarangan, mana mungkin dia mau dijodohkan, Mah! Logikanya saja! Dan sampai kapan pun, aku hanya mau menikah dengan Inara!”
“Beri Mamah jawaban, malam ini juga untuk keputusan Inara. Lebih cepat lebih baik!” tegas Diana tanpa menggubris alasan Arden. Apalagi sudah ia ketahui secara detail, Keyra merupakan sosok paling menguntungkan bagi Arden bahkan mereka. Hubungan mereka akan sama-sama saling menguntungkan, sebab di lain sisi, nasib Keyra juga persis Arden. Mereka sama-sama membutuhkan.
“Kalau kamu masih meragukan semua ini, besok juga kamu simak sendiri silsilah kehidupanmu yang akan berakibat fatal pada semuanya, jika apa yang Mamah tegaskan masih kamu sepelekan. Hukum bahkan maut, mengincarmu jika kamu sampai tidak menikah bulan ini juga!” tegas Diana lagi. “Lagi pula hanya sehari, apa susahnya Inara izin? Apalagi selama ini, semua biaya juga kamu yang kasih!”
Arden semakin frustrasi. Namun jika dipikirkan lebih rinci, sebenarnya penawaran yang Diana berikan tidak sepenuhnya merugikan. Inara sudah membuatnya menunggu selama empat tahun lebih. Sedangkan ia hanya membutuhkan waktu tiga bahkan sehari saja untuk pernikahan mereka. Pernikahan yang juga akan menyelamatkan hubungan mereka. Iya, Arden hanya peduli pada hubungannya dan Inara, tanpa memikirkan hal lain termasuk dampak fatal yang sudah berulang kali Diana jelaskan perihal kepercayaan kejawen keluarga mereka.
“Harusnya Inara bisa. Hanya sehari … iya … harusnya bisa agar aku tidak terjebak dalam perjodohan gila yang Mamah siapkan!” batin Arden. Secepatnya ia akan menghubungi Inara, meyakinkan wanita itu untuk menyempatkan wakti barang sebentar saja.
Tak bisa Arden pungkiri, mengenai kepercayaan kejawen yang selalu Diana jabarkan, memang selalu benar. Semua yang menimpa Aden; tak hanya mengenai pekerjaan, melainkan semua yang juga menimpa Intan, semuanya sungguh benar. Dan andai, pernikahannya dan Intan tidak pernah terjadi, pasti Intan masih hidup. Pasti Intan baik-baik saja.
***
Tak beda dengan Arden, Keyra juga sedang merasa sangat tertekan lantaran Sintia kembali mendesaknya.
“Sekali lagi kamu berani menggagalkan rencana Mamah, bisa Mamah pastikan, tidak hanya Joe yang mengincar nyawa janinmu, karena Mamah juga akan menghabisinya!” tegas Sintia.
Keyra masih menunduk dengan sebelah tangan yang masih menahan pipi bekas tamparan Sintia. Beberapa saat lalu, ketika Keyra berusaha jujur mengenai kehamilannya, tiba-tiba Sintia datang dan langsung mengalihkan perhatian Kanaya. Beruntung, Sintia langsung bisa mengalihkan obrolan di sana yang kebetulan belum sempat Keyra buka.
[“Jujur …?” ucap Kanaya mengulang maksud Keyra, beberapa saat lalu, di ruang rawat Mela.]
[Keyra segera mengangguk. “Iya, Nek. Saya mau jujur. Sebenarnya, … sebenarnya saya,” ucap Keyra yang langsung ditahan oleh kedatangan Sintia.]
[“Keyra memang sudah setuju mengenai perjodohannya dan Arden, Ibu Kanaya. Apalagi setelah Keyra tahu, ada Mela yang sangat membutuhkannya. Keyra rela melepas karier balerinanya di London.” Dengan mata berkaca-kaca, Sintia merangkul Keyra. “Keyra sudah langsung mengurus resign-nya, apalagi kita sama-sama tahu, tanggung jawab Keyra di sana juga sangat besar, sementara Keyra tidak mungkin egois mengorbankan keluarga kita.” Setelah berkata seperti itu dan sukses membuat Kanaya menatap iba sekaligus terima kasih kepada Keyra, Sintia sengaja mencengkeram rangkulannya. “Berani kamu macam-macam apalagi menggagalkan rencana Mamah, habis kamu Key!” bisiknya.]
Mengingat semua itu, mengingat betapa Kanaya langsung terlihat bahagia sampai berlinang air mata kemudian tak segan memeluk Keyra, Keyra merasa dijual. Sintia menjual Keyra dalam perjodohan bisnis demi memulihkan ekonomi keluarga.
Sebenarnya, Keyra mau-mau saja dijodohkan demi kebaikan keluarganya. Hanya saja, jika Keyra juga harus merahasiakan kehamilannya, Keyra merasa sangat berdosa setelah ia juga sampa hamil di luar pernikahan.
“Ya Tuhan … apa yang harus aku lakukan?” batin Keyra bersama punggungnya yang menghantam pintu ruang rawatnya. Kenyataan tersebut terjadi lantaran Sintia yang sepertinya telanjur emosi sekaligus pusing menghadapi nasib ekonomi keluarga mereka, mendorongnya dengan kejam.
Sintia sungguh meluapkan semuanya kepada Keyra. Wanita itu melangkah tergesa menuju ranjang rawat kemudian duduk asal di sana, menghadap Keyra. Keyra sendiri telah mengenakan dress selutut lengan panjang warna putih yang terbilang agak mengekspos keindahan lekuk tubuh Keyra. Sintia amati, perut Keyra yang masih tampak rata dan membuatnya semakin yakin, rencananya akan berhasil andai saja Keyra juga mengikuti rencananya.
“Dion terancam dipenjara.”
Ucapan Sintia membuat Keyra terusik. Keyra mengangkat tatapan berikut wajahnya bersama dengan tangannya yang tak lagi menahan pipi bekas tamparan wanita itu.
Setelah tatapannya bertemu dengan tatapan Keyra, Sintia tersenyum santai. “Mamah bisa bikin Dion benar-benar dipenjara, jika kamu sampai macam-macam! Apalagi Mamah dengar, mamah Melisa juga langsung sakit gara-gara Dion terancam dipenjara?”
Air mata Keyra luruh membasahi pipi, mewakili apa yang ia rasakan. Tak hatinya yang seketika terasa sangat sakit, melainkan semuanya. Benar-benar semuanya. Sungguh tak ada pilihan lain selain mengikuti rencana Sintia, agar Dion; pria yang sudah seperti kakak yang juga merupakan sahabat baik dan tak jarang akan bersikap layaknya ayah Keyra, justru menjadi korban rencana Sintia.
****
Kabar persetujuan perjodohan dari Keyra, membuat Kanaya tak membutuhkan keputusan Inara lagi, bahkan meski Diana mencoba memberi wanita tua itu pengertian. Kanaya yang trauma dengan keputusan Arden dan Inara di masa lalu hingga menjadikan Intan korban, sungguh tidak membutuhkan alasan apalagi penolakan. Sampai-sampai, Arden yang mengetahui kenyataan tersebut dari Diana melalui sambungan telepon, mengingat Diana telah kembali ke rumah sakit untuk menjaga Mela, langsung emosi. Arden langsung meminta nomor ponsel Keyra dan berniat bertemu empat mata dengan Keyra. Arden sungguh ingin memberi Keyra pelajaran, agar wanita itu tidak memperkeruh keadaan apalagi sampai merusak hubungannya dan Inara.
Akankah niat Arden yang sedang mengemudi, menjalani perjalanan pulang dan mendadak banting setir demi menemui Keyra, berhasil? Apakah Arden bisa mempertahankan hubungannya dan Inara sedangkan Keyra selaku wanita pilihan ibu dan Neneknya, justru mengibarkan bendera perang dan teramat mengancam hubungannya dan Inara?
Bersambung ....