Satu minggu waktu yang cukup Hanin gunakan untuk mengembalikan lagi kecantikannya seperti semula. Selama satu minggu Hanin rutin melakukan perawatan mahal untuk mendapat hasil maksimal.
Tentu saja semua perawatan itu dibiayai oleh Dikta.
Setelah pertemuan terakhir mereka yang berakhir di ranjang, Dikta tak pernah lagi pulang ke rumah. Barulah malam ini dia pulang saat ingin menjemput Hanin untuk pergi bersama ke acara yang dia katakan.
“Lama sekali! Bisa cepat dikit gak sih?! Kamu lelet banget,” gerutu Dikta tak sabaran.
Buru-buru Hanin membereskan peralatan riasnya dan memperbaiki gaunnya. “S-sudah selesai,” ucapnya.
“Daritadi kek,” ucap Dikta sinis.
Ia berjalan lebih dulu meninggalkan Hanin, masuk ke mobil. Sementara Hanin yang menyusul Dikta sempat menatap Attar yang telah rapi juga.
“Kamu gak apa-apa, Tar?” Hanin menatap khawatir pada Attar, wajah pria itu tak bisa dikatakan baik-baik saja. Bekas pukulan Dikta masih tampak jelas.
Namun Attar tetap menyunggingkan senyum manisnya. “Saya baik-baik saja, Nyonya.”
“Nanti ketemu di sana ya, jangan jauh-jauh,” pesan Hanin dengan suara yang dikecilkan.
Attar mengangguk singkat dan patuh, menatap Hanin yang menyusul memasuki mobil yang sama dengan Dikta. Sementara dia menyusul menggunakan mobil lain bersama pengawal Dikta.
Acara yang dihadiri Dikta dan Hanin merupakan ulang tahun perusahaan hiburan ternama, ada banyak orang-orang besar yang hadir. Hal itu juga membuat banyaknya wartawan yang turut hadir tak ingin ketinggalan berita.
Begitu mobil yang membawa Dikta dan Hanin berhenti, semua mata tertuju pada mobil itu.
“Ingat, jangan membuatku malu! Lakukan seperti biasanya,” peringat Dikta yang dibalas anggukan kecil oleh Hanin.
Begitu pintu mobil dibuka, Dikta keluar pertama. Ia mengulurkan tangannya untuk membantu Hanin turun, menggandeng mesra pinggang istrinya berjalan memasuki tempat acara.
Hanin menyunggingkan senyum manis seperti biasa, seolah tak ada sesuatu yang terjadi di antara hubungan pernikahannya. Mereka layaknya pasangan suami-isteri yang romantis.
Keduanya berhenti sejenak untuk mengambil foto dan wawancara dari beberapa wartawan. Dikta tak melepaskan pelukannya dari pinggang ramping Hanin.
“Sudah lima tahun menikah tapi mesranya gak hilang-hilang juga ya. Apa sih rahasia rumah tangga awet dari kalian?” tanya salah satu wartawan.
Dikta menatap Hanin sambil tersenyum mesra, ia mempererat pelukannya pada pinggang Hanin. “Rahasia pernikahan langgeng itu cuma satu, ya. Harus membahagiakan istri. Kalau istri bahagia, pasti pernikahan kalian juga bakal awet. Iya kan, Sayang?”
Hanin sontak mengangguk mengikuti alur sandiwara suaminya.
“Oh iya, beberapa Minggu ini Mbak Hanin jarang kelihatan di acara-acara televisi. Kenapa ya? Apa Mbak Hanin sedang sakit?” tanya wartawan yang lainnya.
Seperti biasa, berusaha menghadirkan gosip-gosip yang sensasional agar beritanya laku.
Terlihat perubahan raut dari wajah Dikta yang tipis, tetapi dengan cepat dinormalkan kembali. “Oh gak dong. Hanin bilang ke saya kalau dia lagi capek aja, makanya sebagai suami yang baik dan saya juga gak mau maksa istri saya, makanya saya minta buat kosongin jadwalnya dulu.”
“Saya gak mau istri saya sakit. Apalagi cuma karena kerja. Lagian saya kan udah punya banyak uang, jadi saya bilang ke Anin buat gak usah terlalu keras bekerja. Sekadar hobi aja,” jawab Dikta panjang, diselipi dengan panggilan khususnya pada Hanin.
Rasanya perut Hanin bergejolak ingin memuntahkan isinya sekarang. Mendengar segala sandiwara kebohongan yang diucapkan Dikta membuatnya mual. Dikta berlagak layaknya suami sayang istri, nyatanya dia adalah iblis bagi Hanin.
“Gimana perasaan Mbak Hanin punya suami seperti Mas Dikta ini? Apalagi Mas Dikta ini kan jadi idaman cewek-cewek ya katanya,” tanya wartawan itu lagi.
Sejenak Hanin terdiam, tetapi Dikta dengan cepat mencubit punggungnya diam-diam di bagian belakang, membuat Hanin tersadar dan kembali tersenyum palsu.
“Rasanya … sangat senang pasti. Apalagi Mas Dikta selalu utamakan kebahagiaan aku dan suami idaman lah,” jawab Hanin singkat.
“Oh iya, kapan nih ada kabar baik mengenai Dikta dan Hanin kecil? Kita semua udah gak sabar loh pengen liput berita itu.”
Hanin terdiam, tak bisa menjawab.
Dengan cepat Dikta mengambil alih dan berkata, “Secepatnya, doain aja ya. Kalau begitu kami ke dalam dulu ya, saya rasa sudah cukup foto-foto dan wawancaranya.”
Ia bergegas menggiring Hanin untuk masuk ke aula acara, diikuti oleh pengawal-pengawal mereka yang mengekor di belakang.
Dikta membawa Hanin ke sudut ruangan, tempat terpencil dan tak diperhatikan oleh orang-orang. Ia seketika melepaskan pelukannya dari pinggang Hanin dan mencengkram lengan istrinya erat.
“Kamu bisa gak sih kalau akting yang lebih natural lagi?!” omel Dikta dengan suara bentakan tertahan dan nada rendah. “Dengan akting kamu yang jelek kayak gitu, orang-orang bakal curiga tahu gak! Lebih romantis lagi!”
Hanin hanya menunduk sembari mengangguk kecil.
“Jangan membuat kekacauan!” peringat Dikta tajam.
Usai puas memarahi Hanin, Dikta pun pergi menghampiri rekan bisnisnya yang lain dan mengobrol bersama. Sementara Hanin memilih duduk di sudut ruangan menikmati segelas minuman.
Sementara itu, Attar yang terpisah dari Hanin berusaha mencari-cari majikannya. Saat Attar hendak masuk lebih jauh, tangannya tiba-tiba ditarik dari samping membuat tubuh Attar oleng dan otomatis bergerak mengikuti orang yang menariknya.
“Sia—”
Baru saja Attar hendak memasang posisi untuk melawan, gerakannya seketika diurungkan saat melihat siapa orang tersebut.
“Kakek?” ucap Attar setengah berbisik dan terkejut. “Kakek ngapain sih pakai tarik-tarik aku kayak gitu?”
Pria berusia 70-an yang menarik Attar tadi pun memukul tumit kaki Attar dengan tongkat kayunya. “Cucu kurang ajar! Ketemu kakeknya bukannya disapa malah marah-marah. Siapa yang ajar kamu kayak gitu?!” omel pria itu, dia bahkan menarik telinga Attar layaknya anak kecil.
Attar meringis kesakitan, meminta pengampunan Kakeknya. “Aduh aduh, Kek. Ngapain sih kayak gitu, nanti kalau ada orang liat gimana? Malu tau!” protesnya.
“Biar! Lagipula kamu ini Kakek minta datang temani Kakek ke acara ini gak mau, eh tau-taunya malah datang sebagai pengawal bosmu itu. Kamu lebih pentingin bosmu itu daripada Kakek hah?!”
“Gak git—”
Belum sempat Attar menyelesaikan ucapannya, kakeknya sudah lebih dulu memotong kalimat Attar.
“Kakek itu bisa bayar kamu 10 kali lipat dari gaji kamu sekarang! Katakan saja kamu ingin uang berapa banyak, bisa kakek berikan. Tapi, pulang ke rumah!”
Attar menghela napas panjang. “Bukan itu masalahnya, Kek. Aku belum bisa pulang sekarang. Lagian Kakek juga di rumah ada yang lain kan.”
“Terserah kamu lah!”
Berbeda dengan Attar, Hanin sendiri mulai merasa bosan duduk di sudut ruangan. Dia pun juga tak lagi melihat keberadaan Dikta di sekitarnya, membuat Hanin memutuskan untuk ke toilet sebentar.
Langkahnya lunglai, terbebas dari banyak orang membuat Hanin bisa bernapas lega. Setidaknya dia tak perlu banyak berpura-pura.
Hanin memilih memakai toilet yang sedikit jauh dari aula acara, tak ingin mengantre panjang dan bertemu orang lain. Sejujurnya dia malas berbasa-basi.
Saat ia hendak membuka pintu toilet, terdengar suara orang bercakap-cakap di dalam sana, membuat Hanin mengurungkan niatnya dan berhenti sebentar.
“Ahh … jangan lakukan itu di sini! Bagaimana kalau ada yang melihat kita?”
Menjijikkan.
Hanin hendak berbalik mendengar desahan yang membuatnya mual itu. Dia tak habis pikir, bagaimana bisa mereka melakukan hal itu di tempat umum sih?!
Apa semua orang kaya menjijikkan seperti ini?
“Sayang, gak bakal ada yang lihat kita kok. Aku udah kangen banget sama kamu.”
Suara itu membuat langkah Hanin terhenti, tubuhnya mematung. Dia sangat mengenai suara pria itu.
Hanin bergerak dengan hati-hati, membuka perlahan pintu di hadapannya dan menciptakan celah kecil untuknya mengintip. Tubuh Hanin lemas seketika melihat apa yang terjadi di dalam sana.
“Gila!” pikir Hanin. Bahkan bibirnya kelu untuk sekadar bicara sekarang.
**