“T-tunggu! Katakan pada Ayah untuk menunggu sebentar,” ucap Hanin gelagapan.
Dengan gerakan terburu-buru setengah panik, Hanin segera duduk di meja rias, ia mengambil sembarang jenis bedak di atas meja riasnya dan menutupi memar-memar bekas pukulan Dikta di wajahnya. Hanin menyembunyikan semua bekas luka yang terlihat dengan sebaik mungkin, kecuali luka di keningnya yang masih tertutup perban kecil.
Hanin menarik napas panjang, sebisa mungkin dia ingin terlihat baik-baik saja di mata ayahnya.
Walaupun dengan langkah yang bergetar dan kaki yang sedikit terpincang, Hanin menghampiri ayahnya yang menunggu di ruang tamu. Wajah ayahnya tampak tak senang.
“Lama sekali! Kamu pikir kamu sudah hebat sehingga bisa membuat saya menunggu begitu lama hanya untuk bertemu denganmu?!” gerutu ayah Hanin, Harja Wicaksana namanya.
Tatapan Harja tak luput pada bekas luka di kening Hanin dan cara jalan Hanin yang terlihat menahan sakit. Keningnya mengernyit.
“Ada apa dengan wajahmu itu? Harus berapa kali saya bilang, jaga dirimu! Kamu itu gak punya apa-apa lagi untuk diandalkan selain wajah cantikmu itu! Kalau wajah cantikmu rusak, yang ada Dikta bisa berpaling!”
Hanin yang baru saja duduk hanya mengulas senyum kecut. Ia kira dengan keadaannya yang seperti ini ayahnya akan mengkhawatirkannya, tetapi ternyata ayahnya malah mengkhawatirkan sumber uangnya.
“Oh iya, di mana menantuku?” tanya Harja seraya melirik ke kiri dan ke kanan, mencari keberadaan Dikta di rumah.
“Mas Dikta sedang keluar, Ayah,” jawab Hanin seadanya. Selain karena otot wajahnya yang masih sakit, Hanin juga tak tahu mau menjawab bagaimana.
Seketika raut wajah Harja berubah, ia mengerutkan kening. “Keluar? Bukankah ini hari libur? Apa yang suamimu perbuat di luar?”
Hanin terdiam sejenak. “Mungkin … dia pergi bekerja,” gumamnya tak yakin.
Harja menghela napas panjang, ia memutar bola matanya malas. “Kamu ini memang gak berguna!” cemoohnya.
“Dikta itu bos besar, tampan, masih muda dan kamu percaya aja kalau dia kerja di hari libur kayak gini?! Bodoh!” hardik Harja lagi, tanpa belas kasihan. “Kamu harus berhati-hati, bisa saja dia sudah punya simpanan di luar sana.”
“Jangan sampai posisi kamu tergeser sama perempuan lain, ingat itu!”
Hanin menghela napas panjang dan hanya mengangguk pelan.
“Ayah ada tujuan apa datang bertamu ke sini? Tumben,” tanya Hanin memberanikan diri.
“Oh iya,” ucap Harja seakan teringat sesuatu yang dia lupakan. “Saya butuh modal besar untuk kembangkan bisnis. Kamu tolong bilang pada Dikta untuk berikan investasi yang lebih besar lagi ke perusahaan saya.”
Hanin menggigit bibirnya ragu. “Tapi, Yah … bukannya sebelum ini Mas Dikta sudah banyak masukkan investasi ke perusahaan Ayah?”
Brakk!
Harja menendang meja hingga menimbulkan suara keras, matanya melotot menatap Hanin.
“Kamu ini!” bentak Harja. “Jangan mentang-mentang kamu sudah menjadi nyonya keluarga Admaja, lalu kamu bisa tidak sopan dan perhitungan pada saya!? Kamu kira yang berjasa membuat kamu berada di posisi ini siapa?! Kalau bukan saya, kamu sudah lama mati menjadi gelandangan di jalanan!”
Hanin terkejut, tubuhnya tersentak dan matanya terpejam karena kaget.
“T-tidak … Hanin tidak bermaksud seperti itu … Ayah.”
“Nominal itu hanya nominal yang kecil bagi Dikta! Dia pasti bisa memberikannya dengan mudah. Pokoknya kamu harus bujuk Dikta agar mau memberikan investasi lagi pada perusahaan saya!” pinta Harja setengah mengancam.
Jantung Hanin berdegup kencang, dia takut.
Harja beranjak dari kursinya, berniat pergi tetapi terhenti sejenak. Ia menoleh menatap Hanin tajam. “Kapan kamu hamil?”
“M-maksud Ayah?” Hanin menegang.
“Sebaiknya cepatlah hamil dan melahirkan putra untuk Dikta. Setidaknya kamu akan memiliki jaminan untuk memantapkan posisimu sebagai nyonya rumah dan mendapatkan harta keluarga Admaja,” saran Harja dengan nada tajam dan menusuk.
Setelah menyelesaikan urusannya dengan Hanin yang tak berakhir baik, Harja memilih pergi dari sana. Meninggalkan Hanin yang hanya bisa terdiam di tempat.
“Hahh!”
Hanin menghela napas panjang, ia menyandarkan punggungnya di sola dan memejamkan matanya. Ia benar-benar merasa lelah.
Belum juga selesai masalahnya dengan Dikta, ayahnya kembali menambah beban pikirannya. Apalagi ayahnya pun sekarang turut mendesaknya untuk segera hamil.
“Lagian siapa juga yang gak mau hamil sih?! Aku juga pengen hamil dari dulu kalau bisa diminta! Tapi kan emang belum waktunya aja,” gerutu Hanin dengan suara yang sangat pelan.
Takut-takut kalau ada yang mendengarnya dan kembali melapor pada Dikta. Bisa-bisa dia kembali mendapat amukan.
Hanin benar-benar kesal!
Ayahnya bahkan tidak menanyakan kabarnya atau sesuatu yang berkaitan dengannya. Ayahnya hanya memikirkan tentang uang, perusahaan, dan kekuasaan.
“Kenapa harus kesal? Bukannya sejak dulu juga gitu? Aku kan cuma anak dari istri kedua, gak penting,” ucap Hanin lagi, berusaha menghibur dirinya.
“Nyonya?”
Panggilan itu membuat Hanin sontak menoleh, menemukan Attar yang berjalan ke arahnya.
“Saya kira Nyonya di kamar, saya tadi mencari Nyonya. Kenapa tidak beristirahat di kamar saja?” tanya Attar, terlihat jelas raut khawatir nampak di wajahnya.
“Tuan besar Wicaksana habis datang berkunjung,” ucap Hanin sedikit sinis.
Kening Attar mengernyit. “Maksud Nyonya … ayah anda?” tanya Attar memastikan.
Hanin mengangguk membenarkan, terlihat jelas bahwa suasana hatinya sedang buruk.
Attar yang menyadari hal itu mengulum senyum kecil. “Mari kembali ke kamar, Nyonya. Saya tadi membawakan makanan kesukaan Anda untuk makan siang,” ucap Attar.
Sontak kedua mata Hanin yang tadinya lesu berubah berbinar. “Benarkah?! Kamu gak bohong kan?” Hanin memicingkan matanya penuh curiga, tetapi malah membuat Attar terkekeh kecil.
“Mana mungkin saya berani berbohong, Nyonya? Saya benar-benar telah menyiapkan makanan kesukaan Anda, saya memasaknya sendiri tadi,” ucap Attar. “Mari saya bantu kembali ke kamar.”
Ia membantu Hanin untuk berdiri dan berjalan kembali ke kamar dengan hati-hati dan penuh kesabaran.
Sesampainya di kamar, Hanin didudukkan di kursi santai dengan hati-hati. Di atas meja sudah tersaji seporsi kwetiau goreng kesukaan Hanin.
“Ya Tuhan! Kamu benar-benar yang terbaik Attar!” puji Hanin antusias, ia buru-buru mengambil garpu dan memakan kwetiaunya.
Melihat Hanin yang kembali ceria hanya dengan seporsi makanan membuat hati Attar menghangat, matanya memandang lekat pada Hanin, seolah tak ingin melewatkan satu detik pun mengenai wanita itu.
“Eum … ini sangat enak, Attar! Kamu pandai banget masak deh,” puji Hanin tiada henti, bahkan saat ini telinga Attar telah memanas, dia mengusap tengkuknya salah tingkah.
Hanin makan dengan lahap, bahkan sampai sedikit belepotan di pinggir bibirnya. Saking lahannya, Hanin sampai tersedak.
“Uhuk, uhuk!”
Attar segera mengambil gelas berisi air dan menyodorkannya pada Hanin dan langsung diteguk oleh wanita itu.
Sementara itu dari jarak yang cukup dekat, Attar dapat melihat wajah Hanin dengan leluasa. Tangannya bahkan terangkat sendiri untuk mengusap noda belepotan di pinggir bibir Hanin.
Jarak keduanya sangat dekat, bahkan hanya beberapa sentimeter saja. Sejenak keduanya terpaku dalam kondisi itu.
“Apa-apaan ini?! Kalian berani bermain belakang di rumahku?! Kurang ajar!”
**