“Apa seharian ini Nyonya Hanin baik-baik saja? Sakitnya tidak kambuh lagi kan?” tanya Attar tanpa mengalihkan pandangannya dari Hanin yang tertidur.
Namun entah mengapa malam ini seperti ada sesuatu yang mengganjal. Hanin tertidur tak setenang biasanya, tidak juga sedamai biasanya. Perasaan Attar mengatakan ada yang tidak beres.
Sejenak Lastri terdiam tiba-tiba ditanya seperti itu. Ia memainkan jemarinya, berpikir keras. Apakah dia harus memberitahu Attar tentang yang terjadi hari ini? Namun di sisi lain Drajat telah memberi perintah untuk menutupinya dari Attar.
“Ada apa Bibi? Apa ada sesuatu yang terjadi padanya hari ini?” tanya Attar mulai khawatir, tak biasanya Lastri lama menjawab seperti ini.
“Anu … itu … “ ucap Lastri gagap.
Kening Attar mengerut heran. “Ada apa, Bibi?” tanyanya sedikit mendesak. “Katakan saja apa yang terjadi.”
“Ti-tidak! Tidak ada, Tuan. Nyonya Muda seharian ini hanya berisitirahat di kamar dan sempat berjalan-jalan sebentar di rumah,” ucap Lastri, memilih untuk berbohong sesuai perintah Drajat.
Bagaimanapun di rumah ini Drajat memiliki kekuasaan tertinggi sebagai Tuan Besar, dan perintahnya adalah mutlak.
Attar memicingkan matanya, menatap penuh kecurigaan pada Lastri. “Benarkah? Bibi tidak bohong padaku, kan?” tanya Attar mengintrogasi.
“Iya. Benar, Tuan. Seharian ini Nyonya Muda hanya beristirahat saja,” elak Lastri mengulang ucapannya, berusaha meyakinkan Attar.
Attar menghela napas pasrah, memilih kembali menatap wajah Hanin yang tertidur. “Aku harap Bibi tidak menyembunyikan apapun dariku. Aku mempercayakannya pada Bibi, karena di rumah ini hanya Bibi yang aku percaya,” ucap Attar lirih.
“Baik, Tuan,” ucap Lastri sembari berpamitan mengundur diri.
Ia tak kuat berlama-lama di kamar itu, takut jika semakin lama melihat Attar semakin lemah pula pertahanan Lastri, dan malah berakhir membocorkan kejadian sebenarnya pada Attar.
Sementara Attar hanya berdiri diam, menatap dalam pada Hanin yang tertidur seperti biasanya. Ia menatap puas-puas pada wajah itu, berharap lelahnya akan hilang setelah menatap wajah Hanin.
“Saya sedang berusaha, Nyonya. Saya harap Anda juga mau ikut berusaha untuk bertahan di rumah ini sebentar saja,” gumam Attar. “Setelah saya mendapatkan semuanya … saya berjanji akan memberikan tempat yang nyaman untuk Anda.”
“A-attar … “
Panggilan itu membuat tubuh Attar menegang, ia mengerjapkan matanya, memperjelas menatap Hanin.
Apakah dia ketahuan?
Namun Attar sama sekali tak melihat kedua mata Hanin yang terbuka, atau tanda-tanda wanita itu terbangun. Hanin hanya bergerak sebentar, kemudian kembali tenang, sepertinya sedang mengigau.
Attar seketika menghela napas lega.
Akan aneh rasanya jika dia diciduk menatap Hanin di malam hari. Bisa-bisa Attar disangka memiliki niat yang macam-macam, ditambah lagi masalah lalu yang belum selesai di antara mereka berdua.
Attar pun memilih buru-buru keluar dari sana, takut jika setelah ini Hanin akan benar-benar terbangun dan mencidukinya.
**
“Lagi?!”
Hanin menghela napas kesal disertai gerutuan kecil. Ia benar-benar dibuat kesal dengan sikap Attar yang seolah sedang menjauhinya.
“Dia pikir hanya dengan mengirim sarapan setiap pagi sudah cukup?!” gerutu Hanin penuh kekesalan. Ia menatap Lastri yang hanya terkekeh kecil sembari kembali menata makanan, sama seperti hari-hari sebelumnya. “Bibi gak ketemu sama Attar lagi?”
Lastri mengangguk. “Iya, Nyonya. Pagi ini saya gak ketemu dengan Tuan Muda lagi, seperti biasa,” ucap Lastri.
Hanin memicingkan mata tak percaya. “Benarkah? Bibi gak lagi bohong sama aku kan?” tanya Hanin setengah mendesak.
Lastri sendiri dibuat terkekeh geli menyadari tingkah Hanin yang tak percayaan sangat mirip dengan tingkah Attar. Rasanya Lastri menyetujui bahwa mereka benar-benar berjodoh.
“Saya mana ada bohong, Nyonya. Saya benar-benar gak ketemu dengan Tuan Muda pagi ini,” ucap Lastri.
Toh dia memang tak berbohong. Setiap pagi Lastri tak pernah bertemu dengan Attar, ya … berbeda dengan malam hari.
“Hahh … sudahlah!” ucap Hanin mendesah pasrah.
Sudah tiga hari Attar hanya mengirimkan sarapan untuknya, tanpa mau bertemu dengannya. Apa memang benar kalau Attar menjauhinya karena dia telah menamparnya?
Duh!
Pusing memikirkan Attar membuat Hanin memilih bangun dari tempat tidur dan duduk di kursi untuk menikmati sarapannya yang telah disiapkan. Ia teringat sesuatu.
“Eh, apa Bibi tahu apa yang terjadi kemarin? Aku … sedikit bingung. Setelah berkeliling aku seperti gak ingat apa-apa lagi,” ucap Hanin penasaran sekaligus bingung. Seperti ada yang mengganjal dari ingatannya kemarin.
Ada yang terlupakan dan terlewat. Tiba-tiba saja dia terbangun di pagi hari.
Lastri mendadak pias dan menegang. Ia mengulum bibirnya gugup. “Emm … kalau mengenai hal itu … setelah berkeliling, Nyonya merasa sedikit pusing dan langsung istirahat di kamar. Nyonya hanya tidur sepanjang hari kemarin,” ucap Lastri berdusta.
“Aneh, gak biasanya aku tidur selama itu,” ucap Hanin masih bingung, ia menggaruk tengkuknya yang tak gatal.
“Mungkin ini efek obat yang Nyonya konsumsi, jadi lebih mudah ngantuk. Nyonya rasa pusing pun pasti karena terlalu lama tidur,” elak Lastri memberi alasan.
“Iya juga,” ucap Hanin membenarkan. Ia pun tak lagi memusingkan hal itu dan memilih menikmati sarapannya.
Lastri merasa dirinya telah berubah menjadi pembohong handal. Setelah berbohong pada Attar, sekarang berbohong pula pada Hanin.
Namun Lastri melakukan hal ini demi kebaikan Hanin, dia tak ingin Hanin malah bertambah stress dan menjadi beban pikiran, mungkin Hanin akan berpikir bahwa dia merepotkan semua orang. Atau akan merasa rendah diri.
“Oh iya, Bibi. Kemarin kan kita belum sempat keliling dengan benar, bagaimana kalau hari ini kita berkeliling lagi?” tanya Hanin antusias.
“Itu Nyonya … sepertinya kita nggak bisa keliling hari ini,” jawab Lastri ragu-ragu.
Ucapannya jelas dihadiahi tatapan bingung penuh tanya oleh Hanin. “Memangnya kenapa, Bi?” Padahal mereka kemarin sah-sah saja untuk berkeliling.
“Apa Tuan Permana melarang kita?” tanya Hanin, tiba-tiba sadar bahwa dirinya di sini hanyalah tamu.
Apa dia telah melewati batas kemarin? Apa seharusnya Hanin meminta izin dulu pada Drajat Permana untuk berkeliling mansion mewahnya?
“Tidak, tidak! Bukan seperti itu, Nyonya,” ucap Lastri dengan cepat, tak ingin Hanin menjadi salah paham pada majikannya. “Hari ini Anda memiliki jadwal konsultasi dengan dokter.”
“Dokter? Yang kemarin memeriksaku?” tanya Hanin bingung. Apalagi dia merasa sudah sehat sekarang, lantas kenapa harus diperiksa lagi.
“Bukan Nyonya,” jawab Lastri lagi. Tampak keraguan yang begitu jelas di wajahnya. “Hari ini … Anda harus konsultasi dengan dokter yang berbeda. Tapi dokter ini juga terpercaya. Nanti setelah berkonsultasi, saya janji akan membawa Anda keliling mansion ini.”
Hanin tak mengambil banyak pusing untuk hal itu. Dia pun segera menghabiskan sarapannya dan bersiap-siap dibantu oleh Lastri.
Seperti kata Lastri, saat menjelang siang hari seorang dokter wanita datang ke kamarnya. Lastri pun percaya-percaya saja dan duduk dengan tenang.
“Selamat siang, Ibu Hanin. Perkenalkan saya Dokter Mita, spesialis kejiwaan,” ucap dokter tersebut memperkenalkan diri dengan ramah.
Kening Hanin seketika mengernyit dan alisnya bertautan. “S-spesialis kejiwaan …?” ulang Hanin bingung. “Sepertinya Dokter salah pasien deh.”
“Saya benar kok diminta untuk membuat jadwal konsultasi untuk Ibu Hanin Wicaksana, betul?” ucap Dokter Mita memastikan. Ia tersenyum kecil dan kembali berkata, “Tenang saja Ibu Hanin, saya hanya ingin bertanya-tanya sedikit kok. Anda gak perlu tegang atau khawatir.”
Sementara itu di luar sana, Lastri yang hendak ke kamar Hanin mengantarkan camilan dan minuman dibuat terkejut dengan Attar yang menghadang jalannya.
“Astaga! Tuan Muda bikin kaget saja!”
“Nyonya Hanin di mana? Apa dia sedang istirahat?” tanya Attar setengah berbisik.
“Nyonya Hanin … itu … “ Lastri menjeda ucapannya ragu, matanya bergerak gelisah sembari memikirkan alasan.
Kening Attar mengerut, semakin curiga. Sejak semalam ada yang tak beres dengan gelagat Lastri dan itu sangat disadari oleh Attar. “Katakan Bibi, di mana Hanin?”
“Itu … “
“Bibi Lastri, psikiater Nyonya Muda sudah datang!”
Baik Lastri maupun Attar dibuat terkejut dengan laporan seorang pengawal muda itu. Mata Attar bahkan membulat tak percaya.
“Psikiater? Apa maksudnya ini?!”
**