Dikta mencengkeram erat pergelangan tangan Hanin, memastikan Hanin tidak akan bisa dengan mudah melepaskan diri dan kabur.
Biasanya Hanin akan diam saja saat mendapat kekerasan dari Dikta, tetapi sekarang Hanin tidak ingin lagi seperti itu. Dia berusaha memberontak, berkali-kali meronta agar genggaman Dikta terlepas. Namun, perbedaan tenaga membuat Hanin kesulitan melepas diri.
“Lihat … kamu itu cuma sampah yang gak bisa ngapa-ngapain. Tanpa kekuasaan dari aku, kamu bukan apa-apa Hanin,” cemooh Dikta dengan senyum sinis. “Lebih baik urungkan niatmu itu.”
“L-lepas!”
Dikta tak mendengarkannya, ia malah menarik Hanin untuk semakin mendekat dan mencengkram dagunya. “Baiklah, karena kamu sudah mendengar rencananya. Aku akan mengubah penawarannya.”
“Bagaimana kalau kamu bertahan sedikit lagi dan memberikan anak untuk kami, setelah itu aku akan memberikan 10 miliar untukmu. Hiduplah dengan bahagia,” tawar Dikta bernegosiasi. “Ah bukankah kamu mencintai pengawalmu itu? Kalian bisa menikah setelah memberikan anak itu, kan? Kalian bisa hidup mewah.”
Rahang Hanin mengetat, muak dengan ekspresi Dikta seolah adalah pahlawan yang berbaik hati pada Hanin.
“Bukankah ini menguntungkan? Hanya satu anak Hanin. Lagipula kamu bisa mendapatkannya lagi dengan pria yang kamu cintai itu kan,” bujuk Dikta lagi.
“Jangan mimpi sialan!” maki Hanin, ia meludah ke arah Dikta, membuat wajah Dikta seketika berubah merah padam dan marah.
Dikta langsung menjambak rambut Hanin dan memukul kepalanya ke tembok. “Jalang ini! Aku sudah berbaik hati untuk bicara baik-baik denganmu. Tapi kamu ternyata gak cukup tau diri!” maki Dikta marah.
Ia tak berhenti menyiksa Hanin, membenturkan kepalanya ke tembok. Aura ingin membunuh terlihat jelas di wajahnya sekarang.
Hanin mulai merasa akan kehilangan kesadarannya. Ia buru-buru memikirkan cara untuk bisa kabur.
Melawan Dikta dengan fisik? Tentu saja dia kalah. Jelas fisik Dikta lebih kuat dibanding dirinya.
“Sayang … aku takut,” rengek kekasih gelap Dikta dengan manja.
Dikta menghentikan gerakannya sejenak, menoleh dan menatap kekasihnya. “Aku hanya melakukan hal ini pada sampah seperti dia. Aku gak bakal sakitin kamu, karena kamu berharga,” ucap Dikta menenangkan.
“Tapi … Aku takut lihat kamu kayak gitu,” ucapnya lagi dengan nada dibuat-buat.
“Keluarlah. Aku akan menemuimu setelah menyelesaikan semua ini, Sayang. Tunggu aku,” pinta Dikta lembut.
Wanita itu langsung mengangguk, menghadiahkan kecupan kecil di pipi Dikta. “Selesaikan semuanya ya, Sayang. Jangan sampai ada yang menghalangi jalan kita. Aku bakal tunggu kamu,” ucapnya.
Selepas wanita itu pergi, Dikta kembali fokus pada Hanin. Ia tak mempedulikan kening Hanin yang kini telah mengeluarkan banyak darah. Bahkan napas Hanin telah tersengal-sengal, kesulitan mengambil oksigen.
“Pergilah ke neraka! Kamu hanya akan menjadi penghalang untuk rencanaku,” ucap Dikta dingin.
Saat Dikta hendak kembali membenturkan kepala Hanin ke tembok, Hanin memberontak. Ia menendang s**********n Dikta dengan sisa-sisa tenaganya.
“AKH! Ja-jalang sialan!” umpat Dikta.
Jambakannya otomatis terlepas dari kepala Hanin, pria itu terhuyung ke belakang dan memegang selangkangannya yang nyeri.
Hanin memanfaatkan keadaan itu, ia berlari dengan sisa-sisa kekuatannya, berusaha kabur dari Dikta. Hanin terus berlari tanpa memakai alas kaki, tanpa tahu arah. Ia hanya fokus untuk menyelamatkan diri.
Sementara Dikta menggeram marah, ia mengetatkan rahangnya dan kembali mengejar Hanin walau dengan nyeri di bagian bawahnya. “Aku pasti akan menemukanmu, dimanapun kamu berada!” ancam Dikta.
Tangannya mengepal erat, menonjolkan urat-urat di sekujur lengannya. Dia pasti akan menemukan Hanin di mana pun wanita itu bersembunyi dan membunuhnya.
Hanin terus berlari ke arah parkiran bawah tanah, pandangannya melirik ke sekeliling yang sangat sepi, entah ke mana semua orang. Padahal sedang ada acara besar di gedung itu.
Hingga mata Hanin tak sengaja melihat Attar yang memasuki mobil pengawal. Ia langsung berlari kencang dan ikut masuk ke dalam mobil.
“Nyonya?!”
Attar cukup terkejut dengan kedatangan Hanin yang tiba-tiba, terlebih melihat keadaan Hanin yang jauh dari kata baik. “Apa yang terjadi? Bukankah beberapa jam lalu Hanin masih baik-baik saja?” batin Attar cemas.
“Ce-cepat!” pinta Hanin terbata-bata. “CEPAT JALANKAN MOBILNYA!”
Tanpa menunggu perintah lagi, Attar langsung menghidupkan mobil dan membawa mobil itu dengan kecepatan tinggi meninggalkan gedung itu.
“Kita akan ke mana, Nyonya?” tanya Attar yang masih fokus melajukan mobil sesuai perintah Hanin.
“A-aku gak tahu. Tolong bawa aku kemanapun! Tolong selamatkan aku dari Dikta. Dia … laki-laki iblis itu ingin membunuhku. Tolong aku Attar! Tolong aku!” mohon Hanin.
Air matanya bahkan telah mengalir, tak mempedulikan luka di keningnya. Hanin hanya ingin hidup dan terhindar dari ancaman Dikta.
“Tolong … tolong aku Attar. Cuma kamu yang aku percaya,” ucap Hanin merintih.
Jantung Attar berpacu sangat cepat, otaknya dipaksa untuk berpikir cepat dan cermat sekarang.
“Apa yang terjadi Nyonya? Apakah Anda bisa menceritakannya?” tanya Attar bingung.
“Tidak ada waktu! Dikta pasti sedang mengejar kita sekarang. Pokoknya kamu harus membawaku bersembunyi dari Dikta, tolong sembunyikan aku. Dia akan membunuhku bahkan dia juga bakal membunuhmu kalau sampai menemukan kita!” ucap Hanin cepat, panik bercampur takut.
Melindungi Hanin dari Dikta?
Dikta merupakan pewaris tunggal sekaligus CEO dari Admaja Group. Harta kekayaan dan kekuasaannya di kota ini sangat berpengaruh, bahkan banyak pengusaha besar pun tunduk pada keluarga Admaja.
Dia dapat menemukan Hanin dengan mudah, walaupun Attar membawanya ke desa terpencil sekalipun.
Attar berusaha berpikir keras sembari tetap mempertahankan kecepatan mobilnya. Keningnya bahkan berkerut.
“Tolong Attar … tolong,” mohon Hanin lagi.
Dia takut Attar akan menurunkannya dan memilih bersembunyi untuk menghindari masalah.
Setelah berpikir panjang, Attar akhirnya menemukan satu tempat yang cocok. Tempat yang tidak akan terpengaruh dengan kekuasaan keluarga Admaja. Tanpa ragu lagi Attar menaikkan kecepatannya dan membawa mobil menuju tujuan.
“Saya pasti akan menyelamatkan Anda, Nyonya. Percayakan saja pada saya,” ucap Attar percaya diri.
Walaupun dia harus mengorbankan hidupnya, Attar rela melakukan itu untuk menyelamatkan Hanin.
Hingga mobil mereka berhenti di depan sebuah mansion besar, Attar membunyikan klakson dan seorang satpam menghampirinya. Begitu melihat wajah Attar, satpam itu langsung menunduk hormat dan segera membukakan pagar untuk Attar.
Attar melirik Hanin sebentar di sebelahnya, wanita itu tertidur. Entah karena lelah dengan rasa takutnya, atau karena menahan rasa sakit di keningnya. Dia bahkan tak bisa membayangkan apa yang telah dilakukan Dikta hingga kening Hanin sampai seperti itu.
Setelah memarkirkan mobilnya, Attar keluar dan menggendong Hanin dengan hati-hati. Dia berdiri sebentar, menatap ragu bangunan mewah di hadapannya. Sejenak Attar menatap wajah Hanin yang menahan sakit, kemudian menarik napas panjang.
“Apapun demi dia,” gumam Attar meyakinkan diri. “Ini saatnya Attar, jangan ragu lagi.”
Attar menggendong Hanin memasuki mansion mewah bergaya eropa kuno itu. Baru saja Attar memasuki ruang tamu, dia telah disambut oleh pria berusia 80-an dengan tongkat di tangannya. Pria yang sama yang menemuinya di acara tadi.
“Cepat juga Kakek pulangnya,” ucap Attar berbasa-basi dengan kikuk.
“Ck, ck, ck. Cucu durhaka! Lima tahun tidak pulang, sekalinya pulang malah membawa perempuan. Kenapa? Pacarmu hamil?!” tuduh pria tua itu.
Dia adalah kakek Attar.
Attar meringis mendengar ucapan Kakeknya yang di luar nalar.
“A-attar? Kita di mana?” tanya Hanin kebingungan, ia meringis merasa sakit di kepalanya.
Attar menurunkan Hanin dan mendudukkannya di sofa, membiarkan wanita itu membiasakan diri. “Kita berada di tempat aman, Nyonya.”
“Tempat aman? Bagaimana bisa ada tempat yang aman dari Dikta? Apa kamu berbohong?” tanya Hanin tak percaya.
Mengingat Attar yang hanya seorang pengawal, bagaimana bisa menemukan tempat yang kebal terhadap kekuasaan Dikta.
“Attar yang seolah pengawal pribadi memang tidak bisa, Nyonya.” Kening Hanin mengernyit semakin bingung. “Namun Attar Permana, cucu laki-laki dari keluarga Permana bisa melakukannya.”
“Anda jangan khawatir, Nyonya. Saat ini kita berada di kediaman utama keluarga Permana, Anda bisa aman dari kekuasaan keluarga Admaja di sini,” ucap Attar meyakinkan Hanin.
Ia berniat berlutut untuk membersihkan luka di kening Hanin, tetapi suara ketukan tongkat membuatnya dan Hanin memusatkan perhatian pada pria tua itu.
“Siapa bilang dia bisa tinggal di sini?!”
**