MAHKOTA ESYALLA - 1.3

2490 Kata
     Tak ada kata yang ingin James berikan selain ia bertindak menyadarkan Ella, di atas ranjang kamar gadisnya apapun James lakukan termasuk menanti kedua mata Ella terbuka. Tapi dalam menit ke 5 saja Ella sudah sadar dan langsung memijit kening.     “Hei, are you ok?” James terlalu cemas hingga terus meneliti wajah juga tangan Ella. “Ada yang sakit? Ada yang… Terluka nggak?”      Ella memajang raut masam dan malas menatap James. Tapi keberadaan wanita cantik mengenakan dress ketat memperlihatkan bongkahan dadanya yang indah itu membuat Ella penasaran, tapi ia menjaga harga diri untuk tidak bertanya dengan James siapa wanita itu.      Gelagat itu jelas terbaca oleh Alessa, ia mendekat dan merebut tempat James di sisi Ella. “Hai, apa kabar? Perkenalkan, aku Kim Lucrezia. Tapi… Aku lebih suka nama Alessa.”      Terus terang saja Ella terpaku akan kecantikan itu, lesung pipi Alessa menjadikan wajah itu terlihat teduh. “Hai, aku… Ella. Tawanan Paman James.”      James membulatkan mata ke arah Ella, tapi nampaknya reaksi itu tidak mendapat perhatian. “Apa? Tawanan?”      Alessa seketika tertawa lepas, ia memukuli alas tempat tidur tapi seketika ia terdiam. “Nona, cantik. Aku tidak tahu apa yang kau bicarakan!”      Sontak James tertawa lirih akan dua wanita di depannya, tapi ia merubah tawanya menjadi tandak tanduk yang santai saat Alessa terbangun. Tentunya protes akan melayang.      “Ada yang lucu? Kenapa kau itu selalu meremehkan aku James? Ah, tapi… Ngomong-ngomong sejak kapan kau bisa tertawa huh?” Alessa bertanya, ia sadar jika selama mengenal James baru kali ini mendengar suara gelak tawa itu.      “Tentu aku bisa tertawa.” James menyingkirkan Alessa dari tepi ranjang, ia duduk kembali di sebelah Ella.      “Apa yang dia bicarakan, James? Barusan?”      “Itu tidak penting, Alessa.” jawab James singkat, ia malas jika Alessa kembali menghujat.      Kejadian beberapa menit lalu mencetak sebuah kesalahan lain. James bingung harus menjelaskan atau berkehendak bodoh karena ia pasti mendapat banyak pertanyaan, ia segera memberikan kode singkat agar Alessa menjaga Ella. James pun meninggalkan kamar bermaksud menghindari ocehan Ella yang mulai membuatnya terbiasa akan tingkah wanita, menurut James ini pertama ia mengenal sifat asli seorang gadisnya.      Apa yang sedang diperhatikan membuat Ella merasa aneh akan mata indah Alessa, ia pun melihat dirinya sendiri pada pantulan cermin di meja rias. Tidak ada yang aneh. Pekiknya dalam hati.      “Kenapa? Kenapa Anda menatapku seperti itu?” Kali ini Ella memilih bahasa asing sebagai perantara berkomunikasi dengan Alessa.      “Tidak.” Alessa menjawab singkat, ia menatap seluruh ruangan itu. “Kamarmu nyaman, aku suka.”      “Kalau mau, kau bisa tidur bersamaku.” Ella menepuk bantal di sebelahnya.      Tawaran itu pertama kalinya Alessa dapatkan. Sangat menggiurkan jika ia dapat mengenal siapa gadis yang bisa membuat sahabatnya itu berani menanggung resiko dengan keluar dari sebuah organisasi rahasia di Italia, tak ada yang dipikiran oleh James bahwa pemilik sah sebuah klan itu akan terus mencari dan mencari di mana keberadaannya, jujur saja Alessa tak meyakini jika James akan lolos dengan mudah atas jati diri yang baru.      “Boleh,” Alessa seketika merebut bantal dari pelukan Ella. “Aku suka dengan caramu memperlakukan tamu, tapi… Kau harus berhati-hati Ella. Jangan terlalu ramah terhadap orang lain, karena keramahanmu bisa dimanfaatkan!” Bisik Alessa panjang lebar.      Ella tak habis pikir dengan situasi yang baru saja ditemui, sekarang ia harus mendengar satu alasan seperti itu. “Aku tahu, ibu dan ayahku sering mengajariku tentang bagaimana membedakan orang jahat dan… Tidak.”      Keduanya saling bertatap muka, mengemas semua arti yang mereka ucapkan tapi tak lama Ella justru terpingkal karena wajah Alessa terlihat sangat serius. “Kau, jangan begitu. Aku hanya bercanda Nona Alessa.”      “Tapi aku serius.” jawab Alessa merasa sikap Ella bukan kompromi.      James hanya bisa diam di balik pintu menyiapkan tindakan agar Alessa tidak berbicara lebih dalam, dan dengan segera mungkin ia dapat mencegah jika temannya itu mengatakan hal lain tentang segalanya, tapi dibalik senyuman cantik yang tengah diperhatikan entah James merasa Ella sama sekali tidak tahu tentang kematian Darius dan Delia. Rasa bersalah sekaligus marah terjalin menjadi satu karena Leo tidak menjalankan tugas dengan baik untuk memberitahu yang sebenarnya, kini James harus memutar otak demi perasaan itu.      Hampir bibir bergincu merah itu kembali memberikan jawaban namun James seketika berjalan masuk dan meraih lengan Alessa, tanpa perkataan pasti ia pun membawa keluar kamar sengaja menjauhi Ella. Di ruang dasar bangunan yang baru saja selesai sekitar 2 minggu lalu James tahu jika Alessa hanya menunggu apa yang akan diungkapkan.      “Kau,” James menatap ke atas di mana ia dapat melihat Ella mengintip dan ia pun memilih bahasa keseharian Alessa agar semua tetap terjaga tanpa mampu terbaca. “Jangan berbicara macam-macam Alessa!”      “Kenapa? Bukankah seharusnya kau datang semua ini sudah beres?” Alessa mengamati sikap yang tak biasa seorang James.      “Tidak, aku… Memang bodoh, entahlah. Ini sangat sulit untukku. Dia… Sama sekali belum tahu kematian orang tuanya, aku… Tidak tahu harus dengan cara apa menjelaskan semua ini, aku tidak ingin menyakiti perasaannya lagi.” James benar-benar tidak memiliki nyali untuk berpikir pintas, ini memang tidak seperti dirinya yang selalu tanggap dan cepat dalam mengambil keputusan.      “Kau sudah menyiapkan ini sejak beberapa tahun lalu bukan? Ini saatnya kau menebus semua janjimu, katakan saja yang terjadi. Lagi pula, kau bukan yang membunuh Darius dan Delia.” Alessa mengamati ruangan sekitar.      “Aku tidak sanggup mengatakan semua ini,” James mengeratkan rahang. “Aku ingin Ella lulus dengan hasil yang memuaskan, setelah itu mungkin aku akan menunjukkan makam mereka.” Ucap James berusaha yakin akan keputusannya.      Bukan hal semestinya ini menjadi musibah karena Alessa tahu jika James mampu menemukan jalannya sendiri, hanya saja saat ini keadaan tidak sesuai yang diinginkan. Alessa pun pergi menjauh sambil menepuk pundak James, karena tak ada cara dan kata yang bisa diucapkan selama Alessa hanya ditugaskan untuk menjaga Ella. [...]      Malam telah merubah segalanya dalam sekejap meski usaha menolak keras takkan membebaskan diri Ella pada situasi yang sama, surat itu masih saja terngiang hingga berjam-jam lamanya atau bahkan menjadi kenangan sepanjang hidupnya. Apalagi keberadaan pria di sampingnya yang tengah asyik dengan jalanan, ia hampir ingin bertanya namun mempertimbangkan lebih jeli lagi karena setiap kali mata itu menatap Ella merasa kehilangan kewarasan.      “Kita mau ke mana?”      Pertanyaan yang sama dalam hati kini telah terlontar untuknya, Ella seketika menata tubuhnya agar terlihat nyaman saat duduk. “Kan Paman yang ajak aku keluar, kenapa jadi Paman juga yang tanya ke mana?”      “Iya,” James melirik sekilas wajah dengan polesan make up tipis. “Kan emang Paman niatnya mau ajak kamu senang-senang, misalnya jalan ke mall atau ke tempat hiburan malam.”      Ella terkejut atas perkataan James yang terakhir. “Ih, aku nggak pernah ke tempat begituan tau. Kenapa Paman malah ngira aku biasa ke sana?”      James mencerna kembali apa yang diucapkan. Ia pun tersadar jika telah membuat Ella salah paham. “Bukan gitu sayang, maksud Paman ke tempat hiburan malam yang banyak permainan itu. Ah, maaf apa namanya?”      Permainan? Ella berpikir keras dan barulah teringat sebuah wahana. “Pasar malam?”      “Eh, lupa. Entah apa ya namanya? Paman nggak ingat.” jawab James dengan logat yang tidak terlalu kental dengan bahasanya.      “Iya, yang ada wahana dan pedagang asongan. Iya ‘kan?” Ella meyakinkan maksud James.      “Mungkin iya,”      Lampu merah berganti segera memberikan jalan dan mobil melaju ke arah barat di mana tujuan sudah tertera jelas di peta, James tidak perlu menanyakan apakah Ella setuju atau tidak karena ia tahu bagaimana dulu sebuah permainan akan mereka habiskan dalam waktu semalaman, hingga Ella kecil akan tertidur di pelukan James tanpa ingin terlepas.      “Aku boleh ajak temen?”      Pertanyaan itu mengubah pikiran James mengenang masa lalunya, tapi apa yang dikatakan barusan sangat tidak mengenakkan karena ia tahu bagaimana teman-teman Ella akan mengajukan banyak pertanyaan seperti kemarin. “Yang… Tadi siang?”      Ella mengangguk cepat. “Iya, mereka teman-teman baikku. Boleh ‘kan?”      “Um… Tapi…,”      Segera Ella menarik ponselnya dari tas kecil yang berada di pangkuan. “Ya udah kalau enggak boleh, biar aku pesen taksi aja dan turun di sini. Aku bisa kok datang ke rumah temenku sendirian!”      “Iya boleh sayang.” James terpaksa mengijinkan, ia tidak ingin kedekatan ini berantakan hanya karena ia mementingkan diri sendiri.      “Asyik.” Ella semringah dan kembali menyapa jalanan melalui jendela, kali ini ia mengumbar senyuman yang cantik.      Sikap itu tentu saja masih sama seperti saat James mendapati Ella yang tengah balita, tapi bukan itu yang menjadi persoalan karena saat ini ia tidak mengerti dengan apa yang sedang dilakukan, bahkan James kali ini rela berbaur bersama banyak orang. Ya, itu atas kemauan dan sama sekali tidak merasa terpaksa karena ingin melihat wajah itu kembali ceria memang memerlukan pengorbanan.      Sekitar 10 menit saja mobil sudah berada di lahan kosong yang menjadi tempat hiburan malam sederhana khas orang Indonesia, pertama James ragu karena orang-orang yang berada di sana bisa saja berpotensi memiliki ancaman untuk Ella, tapi sekali lagi ini bukan negara yang ia tempati.      “Paman, temen aku udah nungguin. Buruan buka pintunya!” Ella mencoba membuka handle pintu mobil namun masih terkunci dan James setia dengan lamunannya.      Sejenak menunggu Ella mulai tidak sabar karena mendapat beberapa panggilan, ingin menegur James tetapi ia sungkan dan merasa ini tidak sopan. Hingga berganti menit James masih saja menyapa pandangan kosong ke area hiburan, karena merasa tidak sabar Ella pun mencoba kembali menegur tapi kali ini ia menyentuh lengan besar dibalut dengan kemeja putih tipis.      Sentuhan Ella tangguh mengelabui lamunan dan rasa waspada itu timbul tanpa arah, James terkejut secara tiba-tiba ia meraih pergelangan tangan itu dengan kuat bahkan hampir memelintir tulang dalam cengkraman. Usahanya tidak terbukti karena Ella berteriak, James pun kembali merasa sudah terlalu dengan pikirannya.      “Sakit.” Ella mencoba membebaskan, tapi justru James mengusapnya dengan lembut.      “Maaf,” James sadar jika ulahnya itu sudah membuat tangan Ella memerah. “Maaf Ella, Paman nggak sengaja. Maaf ya sayang.”      “Ini kedua kalinya Paman.” Ungkap Ella lirih, ia menarik tangannya dan memilih untuk memberikan pijatan di area pergelangan.      Demi apapun James ingin memaki dirinya sendiri. “Iya, maaf. Paman nggak sengaja, sangat sakit ya?”      “Enggak apa-apa,”      Akibat itu mulai menimbulkan rasa memar dan sebenarnya Ella ingin menjerit karena kesakitan tapi nampaknya rasa perduli karena melihat banyak wahana di sana sejenak semuanya terlupakan, apalagi saat itu kedua temannya sudah terlihat dari kejauhan dan ia segera meminta James membukakan pintu.      Sudah kedua kalinya James hampir membuat Ella celaka, ini benar-benar sulit untuk terus dibiarkan hanya karena memikirkan banyak hal terutama mengenai keluarganya di Italia. Pukulan keras pun dilampiaskan ke telapak tangan kirinya. “s**t! Kenapa kau harus seperti ini? KENAPA?”      Satu jam berlalu tak ada hal menyenangkan karena Ella mulai merasakan pergelangan tangannya tidak nyaman, beberapa kali ia memberikan pijatan ringan di sana tapi rasanya semakin menyiksa hingga apa yang dilakukannya kepergok oleh dua sahabatnya. Setiap kali teguran itu melayang Ella meyakinkan jika semua ini baik-baik saja, ia pun tidak ingin melihat ke belakang di mana James terus membuntuti dan hal itu sangat tidak nyaman.      Sempat Ella meluangkan kesenangan malam ini dengan beberapa permainan tetapi rasa sakitnya bertambah ketika ia banyak melakukan kegiatan, memaksa menggerakkannya saat memegang sesuatu. Tapi saat ia memainkan sebuah permainan melempar bola ke arah tumpukkan kaleng, Ella mengaduh karena sakit yang luar biasa.      “Kamu nggak apa-apa Ella? Kok dari tadi kamu pegang tangan mulu, kenapa sih?” Tanya Lisa sambil menyeruput jus apel di tangan.      Ella ragu jika akan berkata jujur sementara James pasti akan mendengarnya. “Nggak kenapa-napa kok, cuma pegel aja tadi main piano terlalu lama.”      “Ah masa sih main piano bisa bikin pegel? Ada-ada aja deh kamu Ella,” Gadis pun tidak percaya dengan alasan itu. “Bilang aja kamu itu nggak ada bakat lempar bola ke sana, sini biar aku aja!”      Teriakan dua sahabatnya sempat memberikan hiburan karena permainan ini berhasil memperoleh hadiah. Tawa penuh semangat Lisa dan Gadis sudah pasti menyenangkan tetapi Ella mulai tidak kuat menahan rasa sakitnya, ia mulai memberikan usapan pelan di area pergelangan tangan yang telah membiru.      Lama Ella menahan ini dan usahanya menyembunyikan luka tampaknya tidak berhasil karena faktor keramaian, banyak orang berlalu lalang dan tanpa sengaja saling tersenggol hingga Ella kembali menjerit karena tangannya bereaksi menimbulkan rasa sakit luar biasa.      “Ella kenapa?” tanya Lisa melihat pergelangan tangan Ella.      “Ini… Um, enggak kenapa-napa kok.” Ella mencuri tatapan ke arah James yang tengah sibuk dengan ponsel.      “Ya ampun, ini kenapa? Kok memar gini?” Gadis tidak kalah panik.      Lisa tidak bisa tinggal diam dan ia segera menghampiri tempat James. “James, itu Ella kenapa? Sepertinya dia butuh bantuan deh.”      James tidak memberikan jawaban karena ia mendengar jelas Ella merintih. Secepat mungkin ia berlari kecil dan menghampiri Ella, ia sempat terkejut namun ingat akan apa yang sudah terjadi. “Ella, kamu kenapa hm? Sakit? Kita ke rumah sakit aja ya!”      Ella mengangkat wajahnya memberikan tatapan penuh benci untuk James. “Aku mau pulang ke rumahku aja! Aku… Nggak mau hidup sama Paman.”      “Sudah! Nggak perlu mikirin hal itu dulu ya! Sekarang kita ke rumah sakit aja, Paman bantu ya sayang!” James berniat ingin membantu membawakan tas wanita, tapi Ella jelas-jelas menolak.      “Nggak mau,”      Sial. James kembali memperoleh sikap tidak suka Ella kepada dirinya, tapi itu bukan suatu permasalahan karena banyak cara yang harus dilakukan. James terus mengikuti kemanapun Ella berjalan hingga jam menunjukkan pukul 11 malam, kemudian berhenti di sebuah wahana putar terdapat banyak tempat duduk karakter di sana karena Ella mengingat saat-saat bersama ibu dan ayahnya memuaskan diri di sana.      “Jangan dibiarkan nanti memarnya semakin parah, kita ke klinik terdekat aja ya!” James membujuk, Ella pun tersadar dari lamunan masa lalunya.      “Aku nggak suka dipaksa, lagipula kan memang Paman yang udah bikin aku terkilir. Udahlah, aku capek mau pulang ke rumah aja!” Belum sempat Ella menjaga jarak, ia telah berada di dalam rengkuhan tangan itu lagi dan seketika membuat matanya menatap tidak mengerti pada wajah tampan di depannya.      Kehilangan bukan sebuah hal yang akan James sanggupi, ia sengaja menekan tubuh itu lebih dekat dengannya. Lembut ia menyingkirkan beberapa helai terpasang di kening Ella, ia memahami betapa luka itu semakin dalam menyerang kebahagiaan tapi James takkan pernah membiarkan itu terjadi kembali.      “Janji selamanya akan menjadi sebuah kata yang harus ditepati,” James mengusap bibir bawah berwarna merah muda milik gadis kecilnya. “Dan menjaga mu itu bukan hal main-main Rabbit, sampai kapanpun Paman akan selalu ada buat kamu.”      Batasnya sudah mumpuni pikiran juga Ella tak bisa memberikan perlawanan selain tetap diam merasakan jemari keras itu mendarat di dagu dan wajah, jantungnya berdebar sangat cepat juga tubuhnya terasa kehilangan tenaga karena kali ini pertama Ella mendapat perlakuan istimewa dari seorang laki-laki, terutama seseorang yang selama ini ia harapkan datang menemuinya di hari ulang tahun ke-17.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN