Detik pada jam di pergelangan tangan sudah mengarahkan waktu pukul 1 siang, James pun segera mendatangi tempat di mana Ella tengah sibuk mengemasi semua barang-barang ke dalam tas. Tanpa pikir panjang dan seolah tak terjadi apapun mengenai tempo hari James membantu meringkus semua kertas yang sempat terjatuh dan menjadi berantah di tanah.
James berjongkok kemudian segera menjumput beberapa kertas dan ia letakkan di atas paha. “Sudah, biar Paman aja yang ambil!”
“Nggak apa-apa, jangan! Aku bisa ambil sendiri!”
Hal itu dibiarkan sejenak sampai akhirnya James dapat melihat pergelangan tangan dibalut dengan sweater, warna luka itu semakin biru dan seketika James merenggut jemari lentik itu juga melihat bagian yang masih terlihat mengkhawatirkan. “Masih sakit ya? Mau periksakan saja ke dokter? Atau… Pakai obat saja?”
Ella berusaha menarik tangannya tetapi ia tidak sanggup karena jika tetap memaksa pasti justru akan menyakiti, ia menggelengkan kepala tanpa menatap wajah James. “Enggak usah, nanti juga sembuh. Ini sudah dikasih obat sama temen.”
“Pakai obat apa hm?” James mengusap pelan bagian yang terlihat masih memar, kemudian meniupnya seakan tidak ingin membuat semuanya semakin parah.
“Balsem,” Ella pun berhasil melepaskan diri dan ia segera bangkit. “Paman nggak akan tau nama dan merk nya.”
James membuntuti ke mana Ella melangkah. “Tapi apa balsem itu ada pengaruhnya? Sakitnya mendingan atau tidak?”
“Masih sama.” jawab Ella berjalan ke arah lain, bukan ke tempat di mana mobil James terparkir.
“Ya udah, kita ke dokter ya!” James tahu apa yang akan dilakukan Ella, menghindar darinya. Ia segera menyergap pinggang ramping itu dan membuat jaraknya kembali utuh sedekat James dapat menatap mata sayu gadisnya.
Berulang kali Ella melepaskan diri dan terus menghindari mata James, ia sendiri tidak mengerti kenapa melakukan hal itu meski membayangkan berpisah dengan pria dewasa itu saja tidak ingin. “Kan cuma memar, kenapa harus pergi ke dokter?”
Sempat mengira ini akan menjadi usaha yang terkesan alami agar terus bersama, tetapi James harus memiliki cara lain agar Ella tidak selalu menghindar dan saat menyentuh bagian pergelangan tangan itu James sudah sedikit tenang karena memang itu hanya memar biasa. “Supaya tahu apa itu bahaya atau tidak, dan… Supaya dapat resep jadi kamu cepat sembuh sayang.”
Selalu saja Ella tidak nyaman dengan sebutan ‘sayang’, entah ia merasa jantungnya semakin berdebar bahkan ingin keluar dari dadanya. “Enggak mau.”
Masih atas dasar ingin membuat Ella merasa nyaman seperti dulu James terus mengikuti ke mana langkah itu singgah, tapi saat berhenti di halte ia pun merengkuh lengan Ella dan membuat mereka hampir ke tempat parkir. Tak ada penolakan apapun sehingga James lebih mudah bersikap santai di depan umum, lagi pula ia tidak ingin nekat memaksa dan memberikan pengertian lain dalam diri Ella.
Pintu mobil sport hitam itu telah terbuka namun Ella berdiam diri dan hanya menatap bagian mewah di dalamnya, seumur hidup mengenal beberapa teman di kampus Ella tidak pernah melihat mobil semewah itu hingga duduk di dalamnya saja ia ragu dan berpendapat ada alat yang akan membahayakan. Tapi kemudian tubuh Ella dipaksa dan duduk dengan posisi kedua kaki masih berada di luar, ia pun tak dapat mengendalikan sikap saat James berjongkok di bawahnya.
“Ada apa? Masih marah sama Paman ya? Maaf, waktu itu Paman nggak sengaja karena… Saking kagetnya.” tutur James apa adanya.
Tak ada jawaban sedikit pun dari bibir tipis berlapis pelembab dan dari sana lah James ingin membelainya. “Jangan berpikiran macam-macam mengenai ini, atau apa yang kamu dapatkan sekarang karena ini hak mu Ella. Paman udah janji buat rawat kamu!”
“Ngerawat aku? Tapi aku sehat-sehat aja kok,” Ella selalu saja memiliki perilaku aneh saat James bersikap sangat manis. “Aku juga nggak gila, kenapa harus dirawat segala?”
Suara bahkan jawaban itu terkesan polos dan lucu, James pun tak dapat menahan tawa hingga deretan giginya terlihat. “Bukan gitu, ayo dong sayang! Jangan bercanda, ini Paman serius!”
“Yang aku omongin juga bener ‘kan?”
James pun mengangguk karena ia tahu berdebat bukan ide yang akan memenangkan perasaan itu. “Iya benar, sekarang kita pulang atau makan siang dulu hm?”
Tangan dengan coretan tato itu mendarat di pelipis untuk mengusap butiran keringat yang turun ke wajah, Ella pun dapat merasakan lagi samar belaian hangat tentang kasih sayang yang dulu. “Aku mau ke rumah temen, tadi udah bilang sama Alessa juga.”
Kenapa Alessa? James merasa tidak dianggap namun itu bukan suatu hal yang masih dipertimbangkan karena dengan Ella kembali saja itu sudah sesuai harapan James. “Ya udah Paman antar ya?”
Ella merasa segala aktivitas dan ruang geraknya dibatasi oleh James. “Nggak usah! Kan aku bisa naik taksi, kasih aja aku… Uang.”
James teringat jika ia belum memberikan Ella sebuah kartu sebagai alat p********n yang sudah dipersiapkan, tapi karena tidak ingat akhirnya James hanya memberikan kartu miliknya. “Tapi Paman antar kamu ya, nanti Paman jemput lagi.”
“Enggak usah,” Ella menyingkirkan tangan menyalurkan sebuah kartu debit. “Aku tadi cuma bercanda, dan Paman nggak perlu jadi penguntit terus!”
“Kenapa? Kamu nggak suka kalau kita dekat?” tanya James pada wajah yang terus menghindar darinya.
“Paman nggak perlu buntuti aku melulu! Bahkan ke rumah teman aja mau ikut, kan aku bukan anak kecil Paman!” jawab Ella kesal.
Seberapa besar usaha untuk tidak menjadi dirinya saat ini sangatlah menyiksa karena James harus bertahan dengan perasaan khawatir meski Indonesia bukan negara yang harus ditakuti, juga memahami sikap Ella yang terkadang keras kepala dan manja. Ya, itu yang Sandra katakan padanya.
“Bukan gitu, kan kamu anak gadis. Nggak boleh pergi sendirian, nanti kalau ada yang berbuat jahat gimana? Paman nggak rela nanti.” James berusaha memberikan pengertian.
Tiba saja Ella mengulas senyuman tipis di wajahnya, James merasa ini tidak sia-sia. “Gimana kalau sopir jemput teman-teman ke rumah? Nggak masalah juga kalau mereka seharian di rumah.”
Wajah Ella mendadak semringah. “Beneran? Paman nggak bohong ‘kan?”
James menggeleng dan itu membuat sikap Ella lain dengan seketika memeluknya. “Makasih Paman.”
“Sama-sama.” James merasa senang karena hari ini ia bisa menumbuhkan rasa percaya Ella terhadapnya, ia pun akan memberikan apa yang menurutnya bisa merebut perasaan itu.
Pundak lebar yang sempat menjadi sandaran itu mengubah maksud karena tiba-tiba saja Ella tersadar dan entah ia berubah menjadi sedikit canggung, bukan mengenai seperti awal pertemuan mereka tetapi Ella merasa terlindungi tetapi kedekatan ini lain di pikiran. Ella pun melepas pelukannya dan masih saja tidak berani berlama-lama menatap kedua mata James.
“Ya udah, kita pulang!” James bangkit dibarengi tangan Ella meraih lengan nya, ia pun menunda untuk masuk ke dalam mobil.
“Tadi Paman bukannya mau ajak aku makan siang?” ucap Ella lirih, ia sedikit malu dengan sikapnya yang mendadak plin-plan tapi lapar membuatnya masa bodoh.
Ingat akan ucapannya barusan, James tertawa lagi karena Ella selalu menyuguhkan kelucuan. “Oh iya, Paman hampir lupa. Ya udah, mau makan di restoran mana?”
“Di mana aja yang penting aku kenyang.” jawab Ella hanya bisa diam saat James membantunya mengenakan sabuk pengaman.
“Tapi kan Paman belum tau daerah sini mana saja yang jual masakan enak.”
Ella tidak dapat beranjak dari kedua mata hazel dan bulu lentik itu. “Um… Paman baru ya di sini?”
“Iya, beberapa hari sebelum kamu ulang tahun. Dan…,” James mengingat akan hari lahir Ella. “Tunggu, Paman belum buat pesta buat kamu sayang. Maaf, gimana kalau… Nanti malam kita bikin acara dan kamu bisa undang teman-teman kamu?”
Terus terang saja dengan kehadiran James dalam hidupnya kembali masih sulit dipercaya karena di sepanjang usia ke-20 Ella hanya sekali merasakan pesta ulang tahunnya di usia 17, tapi Ella hanya diam mengikuti apa ide itu berlangsung. Terkadang Ella merasa James sangat berlebihan.
[...]
Bukan merupakan kejadian yang kebetulan lewat dalam pikiran untuk memberikan kejutan pesta, karena saking sibuk mengenai cara James pun harus memberikan pesta ulang tahun setelah hari istimewa itu terlewati, sulit dipercaya memang jika akhir-akhir ini James seperti orang linglung. Yang ia ingat hanya tentang Ella dan Ella.
“Kau yakin semua akan beres pada waktunya? Kita hanya punya waktu 5 jam dari sekarang James.” tanya Alessa sambil melihat-lihat majalah kemudian layar laptop untuk mencari referensi sebuah pesta ala anak muda.
“Aku juga tidak yakin, tapi anak buahku sudah menghandle ini dan terima beres!” jawab James santai, ia merentangkan kedua tangan di punggung sofa.
“Hm… Lihat saja nanti,” Alessa ragu namun ia ingin meyakinkan sahabatnya.
Sedikit melihat bagian di mana sebuah gaun terpampang di bagian halaman majalah, James langsung tertarik dan merasa itu sangat pantas untuk Ella. “Kau tahu di mana tempatnya?”
“Tidak.” Alessa menjawab sambil mengangkat kedua bahu.
“Hei,” James merebut ponsel dari tangan Alessa. “Jangan mengabaikan pertanyaanku!”
“Lalu aku harus bagaimana James? Pesta yang seharusnya dirancang jauh-jauh hari agar mempunyai kesan menawan dengan dekorasi yang mewah dan cantik, ini kau hanya 5 jam sampai hari istimewa itu. Ck, kau ini!” Tentu Alessa dibuat kebingungan dengan rencana James.
“Aku tidak ingat waktu itu,” James merasa akhir-akhir ini memang terlihat bodoh. “Karena Ella terus saja menghindar.”
“Kau bisa merancangnya jauh sebelum kau datang ke sini,” terkadang sikap James memang membuat Alessa kesal. “Supaya meninggalkan kesan baik dan…,”
“Ya sudah, jika kau tidak mau aku bisa mengandalkan orang lain. Jangan banyak bicara!” Kali ini James menyerah bertanya tentang pesta kepada Alessa.
Merasa ini adalah pengalaman pertama sahabatnya sedang Alessa tahu jika James ingin yang terbaik untuk Ella ia pun tidak tega, seketika itu ia meraih pinggang itu untuk dipeluk. “Sudah, jangan memasang muka seperti itu! Nanti aku bantu, tapi menurutku pesta ulang tahun Ella jangan malam ini. Semuanya akan kacau, kau justru bukan membuat gadismu itu senang. Bisa saja Ella merasa kecewa karena semua tidak dipersiapkan secara matang.”
James mengangguk paham akan ucapan Alessa. “Kau benar! Mungkin iya, minggu depan saja bagaimana?”
Alessa melepaskan pelukan. “Setuju Tuan Samurai, itu ide bagus. Aku akan merancang segalanya untuk Ella, dan kau… Siapkan saja hadiah paling mewah untuknya.”
“Siap bos!” jawab James kembali pada lembaran di majalah, bermaksud ingin mencari sesuatu yang pas untuk Ella.
Yang tengah menjadi sebuah diskusi dalam keakraban itu rupanya menaruh pengertian yang salah dalam diri Ella. Di barisan anak tangga menuju lantai atas ia dapat memperhatikan kebersamaan itu, tidak ada niat dan maksud lain memang tapi entah Ella tidak rela bahkan melihat Alessa memeluk James saja itu cukup mengecewakan.
Sempat Ella melamun dan ingin memahami perasaan ini, tapi kemudian ia mendapat teguran dari Lisa tapi segera Ella mengajak dua temannya masuk ke dalam kamar.
“Cewek bule itu siapa nya James sih? Genit banget!” Gadis berbisik, ia tetap ingin tahu dan berusaha mengubah langkahnya.
“Eh, mau ke mana kamu? Nggak usah jadi tukang intip kenapa sih?” Lisa menghalangi.
Ella merasa tidak semangat. “Kita masuk ke kamar aja yuk! Ada yang mau aku tunjukkan ke kalian.”
Gadis tetap ingin tahu kebersamaan yang tengah berlangsung, tapi Lisa menariknya agar mereka mengikuti ke mana Ella pergi. “Udah ah, itu bukan urusan kita. Siapa tau aja itu istrinya James.”
Mendengar itu Ella berhenti seketika. “Kalian ini bisa diam? Berisik, mau itu istrinya James atau siapa juga itu kan bukan urusan kalian!”
Lisa dan Gadis saling menatap, mereka tidak mengerti mengapa Ella berbicara lantang. “Ya… Maaf, lagian kan kita cuma mau tau El. Kamu sendiri nggak tau cewek bule itu siapa?”
Aneh. Ya, Ella tidak seharusnya bersikap demikian terhadap teman-temannya. “Paman bilang itu temannya, tapi aku juga nggak tau.”
“Ih kamu, kok nggak tau? Katanya James itu Paman mu, gimana sih?” Lisa ikut campur dalam permasalahan ini.
Bukan hanya Lisa tetapi Gadis mulai memimpin pikiran mengenai hubungan James dan Ella. “Tapi kenapa kamu nggak pernah cerita ke kita kalau James itu paman mu ya? Dan… Memang kita nggak pernah liat James dari sejak awal kita kenal di SMP, iya ‘kan?”
Pertanyaan demi pertanyaan mulai timbul, Ella tidak tahu harus bagaimana dan dari mana menceritakan tentang semua ini. “Kalian jadi ke kamar ku nggak? Kalau enggak ya udah, aku masuk sendiri aja!”
“Aku mau ke bawah aja, mata-matain James sama si cewek bule itu.” Ucap Gadis seenaknya, tapi Lisa menjadi penghalang dan tetap menarik tangannya untuk mengikuti langkah Ella.
Pikiran mulai berkecamuk hanya karena melihat Alessa memeluk James. Tapi kenapa? Ella saja tahu ini bukan menjadi bagian yang harus dipermasalahkan, juga ia tidak seharusnya ikut campur dalam urusan asmara James.
Beberapa jam berlalu Ella habiskan di kamar bersama Lisa dan Gadis, belajar hingga mereka bersantai dengan segala kemewahan ruangan itu, tapi entah Ella masih saja merasa tidak nyaman dan selalu menoleh ke arah pintu. Lebih sialnya lagi pikiran mengenai hal dewasa terbesit di dalamnya, berandai-andai jika James dan Alessa tengah bercinta di ruang tamu.