CODE 11. 50 Million Breakfast

1855 Kata
Cristal bungkam seribu bahasa—penuh kebingungan memandangi Jervaro yang pagi ini duduk di ruang makan apartemennya. Bagaimana Cristal tak membeku? Bayangkan saja jika Jervaro tiba-tiba datang di pagi hari, masuk, lalu mengatakan "Aku sarapan di sini." Kemudian pria itu masuk ke kamar Cristal, mandi dan berganti pakaian di sana. Setelahnya ia keluar dan duduk di ruang makan. Jervaro benar-benar mandi di dalam kamar Cristal. Awalnya Cristal tak paham kenapa Jervaro membawa paper bag di tangannya. Siapa sangka isi paper bag itu adalah pakaian ganti. Gila? Iya. Jervaro pasti sudah tak waras.  "Mana?" tanya Jervaro sembari memandangi Cristal dengan satu alis terangkat.  Cristal yang bingung akhirnya beranjak ke kitchen untuk mengambil nasi goreng yang sudah dibuatnya. Untung Cristal tetap masak tadi meski ia tak mengerti apa yang sebenarnya sedang terjadi. Piring berisi nasi goreng itu diletakkan di depan Jervaro.  Pria itu mengambil sendok dan bersiap menyuap. "Duduk."  Lagi-lagi Cristal menurut.  Jervaro makan ditemani Cristal dalam keheningan. Ia habiskan nasi gorengnya. Setelah nasi di dalam piring habis, ia mengeluarkan sesuatu dari dalam kantong jas. Jervaro meletakkan sebuah kertas di atas meja. Pandangan Cristal langsung tertuju pada kertas itu.  Cek senilai 50 juta.  Nasi goreng Cristal dihargai Jervaro 50 juta pagi ini. Luar biasa.  "Ini apa?"  "Nasi gorengnya enak." Setelahnya Jervaro pergi—seperti biasa. Jawaban Jervaro jelas tak menjawab pertanyaan Cristal.  Cristal masih terdiam seribu bahasa menatap cek 50 juta itu. Bunyi yang berasal dari dering ponselnya memaksa Cristal bangkit. Ia biarkan cek itu tergeletak di atas meja.  Wanita itu menghela napas begitu melihat layar ponsel yang sedang berdering.  Cristal menghela napas kemudian menjawab panggilan itu. Ini adalah panggilan ke sekian sejak Cristal keluar dari penjara.  "Halo Nona Cristal.."  ...  "Selamat siang Nona Cristal. Silahkan.."  Cristal duduk. Orang yang Cristal temui menawarkan makanan dan minuman tapi Cristal tolak dengan sopan. Cristal ingin pertemuan ini berakhir dengan cepat.  Setelah mendengarkan penjelasan panjang lebar, akhirnya Cristal memberikan tanggapan.  "Terima kasih atas tawarannya, tapi maaf saya tetap pada keputusan saya sebelumnya. Saya tidak bisa menerima tawaran itu." Sejak keluar dari penjara, AUGiE Fashion terus menghubungi Cristal terkait penawaran kerja sama dengan Austin sebelum Cristal masuk penjara—sebelum tragedi naas itu terjadi.  Tapi Cristal sudah menolak bekerja di AUGiE Fashion. Kejadian malam itu di pesta Austin mau tak mau membuat Cristal harus memblokir pria itu. Meski belum pasti jika semua itu ada campur tangan Austin, tetap saja Cristal tak mau lagi berhubungan dengan pria itu. Pesta Austin adalah awal mula musibah yang menyerang Cristal.  "Tapi Tuan Austin sangat—"  "Tuan Austin pasti akan dapatkan desainer yang lebih berbakat dan lebih baik daripada saya. Saya permisi dulu." Cristal bangkit dari duduknya. Ia jalan terlalu cepat sampai tak sengaja menabrak seseorang.  "K-Kak Shan.."  "Hai," sapa Shan. "Kenapa?" Ia menoleh ke belakang Cristal. Tadi Cristal terlihat buru-buru dan Shan asumsikan wanita itu sedang dikejar sesuatu.  "Oh nggak apa-apa, Kak." Cristal bergegas berikan Shan gelengan. "Aku duluan ya, Kak." Cristal langsung pergi bahkan sebelum Shan menjawab. Pria itu memandangi sampai punggung Cristal hilang.  "Shan!" Seorang pria melambaikan tangan pada Shan.  "Oh iya.." Shan segera menghampiri temannya itu.  "Kenapa? Liatin apaan lo?"  Shan menggeleng.  "Camila nanyain lo lagi nih.."  Shan tak merespon.  "Shan, gila emang lo. Cuma lo doang yang berani giniin seorang Camila. Lo nggak tau hah sebanyak apa cowok yang ngejar dia.."  "Lo nggak mau makan siang ya? Kalau nggak gue cabut nih. Kerjaan gue banyak."  "Eh iya iya. Tck dasar lo."  Shan mulai memeriksa menu yang ada di depannya.  ...  Cristal menyerahkan uang 20 ribu pada kasir. Ia menerima belanjaannya kemudian meninggalkan minimarket. Tak jauh dari minimarket itu Cristal menemukan halte. Ia duduk di sana sambil menikmati minuman yang tadi dibelinya.  Angin berhembus. Cuaca cukup ramah hari ini. Tidak panas dan tidak mendung. Setidaknya kulit Cristal tak akan terbakar jika ia berjalan kaki. Mobil berlalu-lalang di depannya. Tidak terlalu padat. Mungkin karena daerah ini bukan kawasan yang ramai aktivitas.  Cristal memandang jauh ke depan. Kejadian tadi pagi muncul di dalam kepalanya. Otak Cristal memproses dengan cepat, menerka-nerka apa kira-kira yang akan Jervaro lakukan. Mengulang ingat kejadian selama dua minggu yang lalu, Cristal yakin Jervaro akan kembali datang besok pagi.  Sikap Jervaro seperti ini jelas menyulitkan Cristal. Ia sudah berusaha keras berjuang agar tak terikat pada pria itu. Tapi Jervaro malah melakukan sebaliknya. Helaan napas Cristal kembali terdengar. Bahunya jatuh. Pundak itu menahan terlalu banyak masalah.  "Berpikir Cris. Berpikir." Cristal berujar pada dirinya sendiri. "Cukup hidup kamu yang kacau. Jangan menyeret orang lain."  ...  Sore ini Cristal memutuskan untuk membeli belanja bulanan. Cristal sudah menghitung tabungannya dan ia masih bisa bertahan selama beberapa waktu. Cristal sedang memikirkan mencari pekerjaan baru secepatnya.  "Halo, Sar.."  "Kamu di mana?"  "Supermarket. Kenapa, Sar?"  "Udah sehat? Kok nggak ngabarin aku mau belanja? Kan bisa aku temenin."  "Aku nggak apa-apa. Udah baikan kok. Kamu banyak kerjaan, nggak enak aku ganggu kamu terus."  "Apa sih Cris, kok ngomongnya gitu? Mau aku susulin?"  "Nggak usah, Sar. Ini udah mau selesai juga. Kamu istirahat aja.."  "Yakin?"  Lane memang selalu baik. Kadang Cristal takut menerima kebaikan Lane. Cristal takut jika ia tak mampu membalasnya nanti. Dan ada ketakutan lain yang selalu menghantui Cristal. Ia takut Lane terseret ke dalam kehidupan kacaunya.  Cristal menyimpan ponselnya. Ia melanjutkan perjalanan, menyusuri bagian sayur-sayuran. Cristal memeriksa kesegaran dan juga kesehatan sayuran yang ingin ia beli.  Troli Cristal sudah berisi cukup banyak bahan-bahan makanan. Ia sudah hampir selesai. Terakhir Cristal pergi ke bagian minyak. Ia memasukkan minyak goreng ke dalam troli.  "Iya, aku khawatir. Takut kalau ada apa-apa. Kakak tau sendiri dia gimana. Jarang banget mau ngomong. Akhir-akhir ini aku ngerasa dia agak beda, kayak ada masalah berat."  "Tapi biasanya Jerva selalu sama Jalen."  "Iya. Jalen gimana di rumah? Ada yang aneh?"  Risa menggeleng. "Hm kayaknya nggak ada."  "Apa beneran masalah kerjaan, ya? Aku sampe kesel sama Mas Al, aku pikir dia ngasih kerjaan yang berat ke anaknya.."  Risa tertawa pelan. "Emang sejak kapan Jerva bisa disetir sama Kak Al? Kata Javier Kak Al malah pasrah banget. Semua kan Jerva yang pegang kendali."  "Iya sih," ujar Ratri sambil terkekeh. "Cuma ya mana tau gitu kan. Kakak akhir-akhir ini udah ketemu Jeva belum?"  Risa mengangguk. "Kemarin dia ke rumah, sore sekitar jam 4."  "Ada yang aneh nggak?"  Risa mencoba mengingat. Tapi dilihatnya keponakannya itu sama saja. Jervaro masih seperti Jervaro yang biasa.  "Hm sebenarnya.." Ratri terlihat ragu. Risa menunggu dengan sabar iparnya itu melanjutkan kalimatnya. "Jeva lagi deket sama seseorang sekarang. Jeva nggak ngomong langsung sih cuma kedekatan mereka kayaknya lebih dari teman."  "Perempuan?"  Ratri mengangguk. "Mbak kenal Dwinna, kan?"  "Yang kemarin dibawa Jerva ke acara makan malam ulang tahun kamu?"  Ratri kembali mengangguk. "Dwinna anaknya baik, cantik, pinter, dan ramah. Tapi yang paling penting aku ngerasa dia satu frekuensi sama Jeva. Aku ngeliat kayak mereka itu cocok. Wajah Jeva jadi lebih cerah sejak kenal sama Dwinna."  Risa manggut-manggut.  "Tapi akhir-akhir ini Jeva kelihatan suram. Awalnya aku pikir karena berantem sama Dwinna. Tapi kemarin masih ketemu sama Dwinna dan masih baik. Jadi kayaknya bukan itu."  "Hm ya udah jangan terlalu dipikirin. Selama Jerva masih baik-baik aja. Kita berdoa aja semoga Jerva selalu dilindungi sama Allah. Dulu juga Kakak khawatir sama Jalen. Tapi mereka tumbuh dengan baik dan insyaallah nggak akan ada yang aneh-aneh. Mereka pasti bisa jaga diri sendiri dan selesaiin masalah mereka. Jerva punya Jalen dan sebaliknya."  "Hmm semoga aja ya, Kak. Punya anak cowok 1 kok kayaknya dibikin was-was. Tapi aku bersyukur sih Jeva kenal sama Dwinna. Semoga aja Dwinna bener-bener cocok sama Jeva."  "Kamu kayaknya suka sama Dwinna," tebak Risa.  "Selama Jeva cocok aku sih ikut aja, Kak. Aku Ibunya cuma bisa kasih dukungan. Yang paling penting buat aku kebahagiaan Jeva."  Risa mengangguk. Tiba-tiba langkah Risa terhenti.  "Cristal.." panggilnya menghentikan langkah Cristal. Wanita itu menoleh pada Risa dan Ratri. Risa tersenyum.  "Tante," sapa Cristal.  "Sama siapa?"  "Sendiri, Tante."  Ratri memperhatikan seksama wanita dengan dress panjang itu. Cristal kemudian pamit pada Risa dan berikan senyuman tipis juga pada Ratri. Cristal perlahan menjauh dan Ratri tengah memandangi punggung wanita itu.  "Itu siapa, Kak?"  "Cristal, adeknya Sela."  "Adek ipar Jalen? Tapi kayaknya aku nggak pernah lihat di acara keluarga kita.."  "Hm. Emang pendiam anaknya."  Risa dan Ratri melanjutkan perjalanan mereka.  ...  Cristal menyusuri koridor mall dengan dua kantong ukuran besar di tangan. Ia berjalan menuju pintu utama. Di sana taksi online yang dipesannya sudah menunggu. Saat melewati sebuah restoran, Cristal berpapasan dengan Jervaro dan juga Dwinna. Cristal sama sekali tak menoleh pada Jervaro. Sikapnya seolah menunjukkan kalau mereka memang tidak saling kenal.  "Kenapa?" Dwinna bertanya karena Jervaro berhenti. Cristal sudah menjauh dan hampir hilang di antara pengunjung mall lainnya.  "Jervaro."  Jervaro balik badan.  "Ada orang yang kamu kenal?" Tanya Dwinna.  Jervaro menghembuskan napas pelan. "Ayuk." Ia melanjutkan langkahnya tanpa menjawab pertanyaan Dwinna. Wanita itu penasaran. Dwinna menghela napas kemudian mengejar langkah Jervaro.  ...  Cristal sudah hampir selesai menyusun barang-barang belanjaannya. Ia tiba-tiba berhenti entah karena apa. Cristal mengambil ponselnya lalu menekan-nekan layar. Entah apa yang sedang ia lakukan. Setelah selesai dengan benda pipih itu, Cristal kemudian menyelesaikan sisa pekerjaannya. Cristal melanjutkan memasak untuk makan malam. Beres memasak, Cristal masuk ke dalam kamar. Ia baru keluar saat jam sudah hampir menunjuk angka 8.  Bel berbunyi.  Persis seperti dugaan Cristal bahwa orang yang berada di balik pintu apartemen adalah Jervaro. Pria itu masuk, melewati Cristal dengan santai. Wanita itu menghela napas pelan kemudian menutup pintu. Ia menyusul.  Jervaro langsung menuju meja makan.  "Ngapain kamu berdiri di sana?"  Cristal tetap diam di tempatnya.  "Kakak makan aja." Cristal kemudian melangkah pergi.  "Cristal," suara Jervaro terdengar dingin. Pria itu sama sekali tak memandang ke arah Cristal. Tatapannya tertuju lurus pada makanan di atas meja. "Duduk."  Tangan Cristal mengepal. Cristal akhirnya kembali ke meja makan, duduk di depan Jervaro. Pria itu kemudian mulai makan. Keheningan benar-benar membungkus seisi ruangan. Yang terdengar hanya suara sendok yang beradu dengan piring. Lagi-lagi hanya Jervaro yang makan dengan Cristal duduk diam di sana—menemani.  Selesai makan, Jervaro kembali meletakkan sebuah cek di atas meja—persis seperti tadi pagi.  "Kak," panggil Cristal akhirnya memecah keheningan yang menyelimuti selama hampir setengah jam.  Panggilan itu berhasil menghentikan langkah Jervaro.  "Mau Kakak apa?"  Perlahan Jervaro membalik badannya. Cristal menatap lurus ke mata Jervaro.  "Makan."  Cristal menghela napas. "Kita udah buat perjanjian. Kita akan jalani hidup masing-masing. Kakak kayak gini nggak bener."  Tak ada reaksi apa-apa di muka Jervaro.  "Aku udah bilang aku bisa urus hidup aku sendiri. Aku—"  "Aku udah bilang aku nggak peduli kamu bisa urus diri kamu atau enggak."  Cristal bangkit. Ia tampak mendatangi satu laci meja dan mengambil sesuatu dari sana.  "Aku nggak butuh uang Kakak." Cristal meletakkan cek tadi pagi di dekat cek yang baru Jervaro berikan. "Bawa aja."  Jervaro melangkah mendekat. "Jangan uji kesabaran aku," ucap Jervaro tenang tapi menakutkan.  "Terserah kalau kamu mau bakar atau buang cek-nya. Tapi cek itu akan tetap ada setiap aku makan di sini."  Cristal refleks melangkah mundur saat Jervaro kembali mendekat—mengikis jarak. Tarikan Jervaro di pinggang Cristal membuat gadis itu tak lagi bisa menjauh. Cristal menempel pada Jervaro.  "Aku bisa jadi lebih b******k kalau kamu terus menguji kesabaran aku. Dan kamu nggak akan suka itu," ucap Jervaro pelan, nyaris berbisik tepat di depan wajah Cristal.  Dan Jervaro kembali membuat Cristal menemui jalan buntu.  ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN