CODE 5. Officially Married

2214 Kata
Cuaca mendung sejak pagi. Setelah panas mendera selama satu minggu, kini berganti dengan mendung menguasai. Mungkin matahari lelah menampakkan dirinya. Cristal keluar dari rumah sakit dengan langkah agak tertatih. Seharusnya Cristal belum keluar dari rumah sakit karena memang belum diizinkan oleh dokter. Tapi wanita itu tetap meninggalkan rumah sakit tanpa sepengetahuan dokter yang berjaga.  Cuaca semakin mendung dan mungkin akan turun hujan dalam beberapa menit ke depan. Cristal melangkah gontai menyusuri jalanan. Entah ke mana tujuan wanita itu. Rintik hujan mulai turun menyapa. Cristal tak menghentikan langkahnya ataupun berteduh. Ia tetap langkahkan kakinya menyusuri jalanan. Bunyi deru mobil berlalu lalang cukup memekakkan telinga. Ditambah dengan bunyi klakson yang saling bersahutan.  Getar ponsel di kantong celananya sama sekali tak mengusik langkah Cristal. Ia biarkan benda pipih itu terus bergetar. Langkah Cristal berhenti di jembatan. Hujan mulai turun lebih deras. Wanita itu menarik napas dalam, menatap kosong sungai di bawah sana yang terlihat menakutkan ditimpa air hujan.  Pandangan Cristal tertuju lurus pada sungai yang terlihat sangat tenang itu. Tangan kanan Cristal terangkat, mencengkram besi pembatas. Jari-jari kurus dan pucat itu terlihat tak punya kekuatan. Ponsel Cristal terus bergetar tanpa henti. Satu getar selesai disambung dengan getar berikutnya seolah menunjukkan bahwa si penelfon tak menyerah untuk menghubungi.  Setelah beberapa menit, Cristal akhirnya merogoh kantong celananya. Dengan pandangan nanar, Cristal pandangi layar ponselnya yang terlihat mulai dibasahi oleh air hujan.  Sarayna is calling..  Cristal memejamkan mata. Bibir yang pucat bertambah pucat. Pipi yang dulu sudah sangat tirus itu bertambah tirus karena berat badan Cristal menurun cukup drastis selama beberapa bulan terakhir. Tak ada lagi cahaya di wajahnya. Cristal menarik napas dalam kemudian melempar benda pipih itu ke sungai. Cristal meremas rambutnya. Ia ingin berteriak tapi tak ada suara yang berhasil ia keluarkan. Bahkan air matanya pun sepertinya enggan keluar.  Cristal kembali menarik napas dalam. Kedua tangannya berpegangan pada besi pembatas. Perlahan Cristal menginjakkan kakinya ke besi pembatas. Pandangan wanita itu tertuju lurus ke depan. Tubuhnya sudah basah oleh air hujan. bahkan kebisingan di sekitarnya tak lagi Cristal pedulikan. Semua orang sibuk dengan diri mereka sendiri. Terlalu sibuk sampai tak sadar kalau ada seorang wanita yang tengah mencoba bunuh diri.  Cristal memejamkan mata. "Ma, Pa, selamat tinggal," bisiknya pelan. Cristal melepaskan pegangannya. Tubuhnya bersiap terjun bebas ke bawah jembatan. Tapi...  "CRISTAL!!"  Tubuh Cristal ditarik paksa turun. Semua terjadi begitu cepat. Cristal tersentak dari lamunannya. Saat ia sadar, Cristal melihat beberapa orang tengah mengelilinginya. Dan seseorang tengah memeluknya sambil menangis.  "Cris.. apa yang kamu lakuin?! Cris jangan gini!" Lane menangis hebat sembari memeluk Cristal erat. "Apa yang kamu pikirin?!" ucap Lane marah.  Cristal tersadar. Jantungnya berdebar kencang dan dadanya terasa sesak. Tangis Cristal akhirnya pecah. Ia balas pelukan Lane dengan erat.  "Tenang. Ada aku di sini. Ada aku." Lane mengusap lengan Cristal lembut. "Ada aku," bisik Lane lagi untuk ke sekian kali.  ...  Lane kembali dengan segelas teh hangat. Ia duduk di pinggiran kasur, menyerahkan teh itu pada sang sahabat. Cristal menerimanya dengan senyum tipis. Tak lupa wanita itu mengucapkan terima kasih.  Lane meraih tangan Cristal, digenggamnya tangan kurus itu dengan erat.  "Cris.." suara Lane terdengar berat.  "Makasih ya," ucap Cristal. Lane menatap sahabatnya itu. "Makasih untuk nggak ngasih tau orang tua kamu tentang kejadian tadi."  Lane menatap sang sahabat dengan sorot sedih campur bingung. Lane marah tapi juga tak tahu harus bagaimana. Cristal yang Lane kenal bukanlah Cristal yang seperti ini. Bahkan senyum di wajah Cristal terasa sangat palsu sekali di mata Lane.  Cristal meletakkan gelasnya di atas meja nakas. Ia kemudian menarik lengan bajunya ke atas. Seketika bola mata Lane membesar melihat memar di kedua lengan sahabatnya itu.  "Cr-Cris, apa ini?" tanyanya dengan ekspresi terkejut yang tak bisa disembunyikan.  Tak hanya memar, ada beberapa bekas luka juga.  "Apa yang kamu harapkan dari seseorang yang baru keluar dari penjara?" tanya Cristal tenang. Ia bahkan tersenyum meski sangat tipis. Lane benar-benar dibuat membisu. Bagaimana bisa sahabatnya ini terlihat begitu tenang sekarang padahal jelas-jelas tadi Lane menyelamatkan sahabatnya itu dari aksi bunuh diri?  "Ka-kamu keluar dari penjara? Apa maksud kamu Cris?"  Cristal menurunkan lengan bajunya. Ia pandangi Lane dengan ekspresi tenang.  "Hm, aku baru keluar dari penjara."  "Kenapa? Kenapa kamu masuk penjara? Kapan?"  Cristal tak menjawab.  "Cris, please kasih tau aku."  "Nggak penting kenapa. Sekarang aku udah keluar jadi udah selesai."  "Apa maksud kamu selesai? Apa Om dan Tante tau soal ini?"  Cristal menggeleng. Lane menghela napas berat.  "Kamu nggak ngasih tau Om dan Tante? Astaga Cristal.." Lane meremas rambutnya. Obrolan kedua perempuan itu terputus saat terdengar pintu kamar Lane diketuk. Tisa muncul dari balik pintu membawa nampan berisi puding.  "Tante.." Cristal menyapa.  "Udah diminum teh nya? Jangan sampai demam ya. Ini cemilan.."  "Makasih Tante.."  Tisa pandangi sang putri. Ia tersenyum kemudian meninggalkan kamar. Kembali Lane menghela napas berat.  "Cris," Lane kembali menggenggam tangan Cristal. "Please cerita sama aku, jangan dipendam sendiri.."  Cristal tersenyum. "Aku baik-baik aja."  Bagaimana Lane bisa percaya jika tadi dia melihat sendiri dengan mata kepalanya Cristal berniat bunuh diri? Tapi meski penasaran setengah mati, Lane akan menahan diri. Lane tak mau memaksa Cristal karena tahu itu bukan ide yang bagus. Cristal pasti tak akan mau cerita dan Lane tak mau Cristal sampai ikut memasang pertahanan padanya. Sekarang Lane akan memilih mundur dan bersabar sampai nanti dapatkan waktu yang pas untuk kembali bertanya pada Cristal.  "Cris aku nggak akan nanya lagi kamu kenapa. Tapi tolong kamu janji satu hal sama aku.." Lane menjeda, menatap lurus ke manik mata Cristal. "Tolong jangan lakuin hal kayak tadi lagi. Kamu punya aku, Cris. Aku akan selalu ada buat kamu."  Siapapun pasti akan sangat tersentuh mendengar kata-kata itu.  Perlahan Cristal menarik sudut bibirnya, membentuk senyuman yang manis dan hangat. "Hm." Cristal berikan Lane anggukan.  ...  "Makasih ya udah nganter aku.."  "Kamu yakin mau aku tinggal sendiri? Nginap aja ya di rumah aku beberapa hari.." Lane masih mencoba membujuk sahabatnya itu. Tapi Cristal sudah bulat dengan keputusannya. Ia menggeleng dan berikan Lane senyuman, berusaha meyakinkan Lane kalau ia benar-benar tidak apa-apa.  "Kamu udah janji ya sama aku untuk nggak ngelakuin hal-hal yang berbahaya lagi."  "Iya aku janji."  Lane masih ragu sebenarnya untuk meninggalkan Cristal. Bagaimanapun kejadian tadi masih menjadi trauma bagi Lane sendiri. Tapi Cristal juga keras, Lane tak dapatkan cara untuk membujuk sang sahabat. Akhirnya pun Lane hanya bisa pasrah dan meninggalkan Cristal di depan gedung apartemen wanita itu.  Pintu lift terbuka. Cristal dengan wajah tertunduk melangkah keluar dari lift. Cristal tak memperhatikan sekeliling hingga tak sadar kalau ada yang sedang menunggunya di depan pintu apartemennya. Cristal tersadar saat orang tersebut berdehem pelan. Langkah Cristal langsung terhenti. Ia mengangkat wajahnya. Kurang satu meter di depan Cristal, menjulang sosok yang sudah tiga bulan lebih tak Cristal lihat wajahnya. Kali ini Jervaro sendirian, tak ada Danny sang asisten pribadi bersamanya.  "Kenapa nomor kamu nggak aktif?" tanya Jervaro langsung tanpa basa-basi.  "Kakak udah lama?" tanya Cristal balik. Jervaro tak menjawab. Ia hanya pandangi Cristal dengan tatapan tajam. "Oh, hape aku hilang," jawab wanita itu kemudian. Ia palingkan wajah ke arah lain.  "Kamu habis dari mana?"  "Rumah Sarayna."  "Tadi malam kamu ke mana?"  Cristal kembali mengarahkan pandangan pada Jervaro. Cristal memilih bungkam. Ia kemudian melangkah ke arah pintu apartemen. Tepat saat Cristal hendak membuka pintu, tangannya dicekal Jervaro. Tapi tak ada perlawanan atau reaksi berlebihan dari Cristal. Wajahnya yang pucat sudah menjadi tanda kalau wanita itu 'lelah'.  "Kakak ada apa ke sini?"  Jervaro tak menjawab. Ia mendorong pintu apartemen kemudian menarik Cristal masuk ke dalam.  "Urusan kita belum selesai."  Cristal menghela napas pelan. "Urusan yang mana?"  Jervaro menyipitkan matanya. Ia teliti setiap titik di wajah Cristal. Karena wanita di depannya ini, Jervaro hampir bertengkar hebat dengan Jalen. Sepupunya itu bahkan menghadiahkan sebuah bogem mentah di pipi Jervaro kurang lebih seminggu yang lalu. Untung Jervaro tak tersulut emosi dan Jalen bisa dengan cepat menahan diri. Jervaro akhirnya mau membantu Jalen mencari bukti untuk membuktikan Cristal tak bersalah. Satu-satunya alasan Jervaro mau membantu adalah karena Sela. Jika tak ingat Cristal masih adik Sela, Jervaro benar-benar berniat membiarkan Cristal mendekam di penjara. Jervaro tak peduli Cristal bersalah atau tidak.  Jervaro menghempaskan pantatnya di sofa. "Duduk," perintahnya. Cristal menurut tanpa banyak kata.  Jervaro mengeluarkan ponselnya kemudian menunjukkan layar ponsel kepada Cristal. Awalnya ekspresi Cristal terlihat biasa, kemudian perlahan raut wajahnya berubah. Tapi bukan keterkejutan yang ia gambarkan pada wajahnya, lebih pada ekspresi bingung dan Jervaro tak menyukai itu. Ekspresi Cristal seolah menunjukkan kalau ia tak paham dengan apa yang Jervaro perlihatkan.  "Nggak ada yang mau kamu jelasin ke aku?" tanya Jervaro begitu video itu selesai berputar.  Kening Cristal masih mengerut. "Kakak dapat video itu dari mana?"  "Nggak penting dapat dari mana. Sekarang jelasin apa yang terjadi di dalam video itu?"  Cristal mengerjapkan matanya beberapa kali. "Aku nggak sengaja ketemu salah satu pegawai dapur di dekat pintu menuju ke dapur waktu aku mau ke toilet. Waktu itu dia lagi dipanggil sama manager hotel. Dia minta bantuan aku untuk ngasih bumbu masakan yang dia bawa ke salah satu staf dapur."  Kening Jervaro mengerut. Jika dipikirkan rasanya cerita Cristal terlalu klise. Tapi jika melihat ekspresi dan nada suara Cristal, rasanya wanita itu menceritakan hal yang sebenarnya. Apa yang harus Jervaro lakukan sekarang? Haruskah ia percaya pada Cristal? Tangan Jervaro mengepal. Untuk saat ini ia akan lupakan dulu hal satu ini. Ada masalah lebih penting yang harus Jervaro selesaikan.  "Seperti yang udah aku bilang sebelumnya--beberapa bulan lalu," pria itu menjeda. "Kita akan menikah."  Ekspresi Cristal masih sama. Tenang.  "Kakak mau nikahin mantan narapidana?" tanya Cristal telak.  Sepertinya Jervaro yang terkejut. Raut wajahnya langsung berubah. Senjata makan tuan.  "Kamu belum jadi narapidana," ucap pria itu ketus.  Cristal tak menjawab lagi.  Jervaro berusaha menenangkan dirinya. Ia tak boleh tersulut emosi lagi. Datang ke apartemen ini saja sudah menguras kesabaran Jervaro.  "Kita akan menikah selama enam bulan," Jervaro menjeda. "Secara agama."  Kali ini ada perubahan ekspresi di wajah Cristal. Ia mengangkat wajahnya. Tatapannya bertemu dengan manik milik Jervaro.  "Setelah enam bulan aku akan menceraikan kamu. Aku akan berikan kompensasi. Kamu sebut aja apa yang kamu mau." Dengan mata tajamnya Jervaro memperhatikan wajah Cristal. Dengan seribu praduga, Jervaro menunggu reaksi yang akan Cristal berikan. Mungkin Cristal akan mencaci maki dirinya. Mungkin Cristal akan marah. Atau justru Cristal akan senang.  "Oke," jawab Cristal singkat, padat, dan tenang. Tak ada emosi apapun.  Urat-urat di wajah Jervaro menegang. Ini tak ada dalam tebakan Jervaro.  "Ada lagi?" tanya Cristal.  Jervaro berusaha agar tetap tenang. "Kita hidup masing-masing, seperti biasa. Kamu dengan hidup kamu dan aku dengan hidup aku."  "Oke. Ada lagi?"  Jervaro bangkit. "Kamu siap-siap. Kita nikah besok."  "Hm." Cristal mengangguk. Jervaro kemudian berlalu. Sebelum benar-benar membuka pintu dan meninggalkan apartemen Cristal, Jervaro sempat menoleh ke belakang. Cristal masih di tempatnya tadi, duduk dengan posisi membelakangi Jervaro.  "s**t!" maki Jervaro pelan. Ia kemudian benar-benar berlalu.  Cristal memijit keningnya. Ia kemudian bangkit dan masuk ke dalam kamar. Wanita itu tak keluar lagi sampai pagi menjelang.  ...  Sederhana. Benar-benar sederhana. Pernikahan ini nyaris tak seperti sebuah pernikahan. Hanya ada penghulu, kedua pengantin, ditambah Jalen dan Danny sebagai saksi. Dalam sekejap mata saja Jervaro dan Cristal resmi menjadi suami istri.  Tak ada kata-kata manis. Bahkan senyuman saja tak ada di dalam pernikahan ini. Begitu selesai ijab qabul, Jervaro, Cristal dan yang lainnya segera membubarkan diri. Ya, ini pernikahan yang dirahasiakan.  Jalen sudah masuk ke dalam mobilnya. Geza ternyata menunggu di dalam mobil. Cristal tak tahu pasti apa yang sedang Jalen pikirkan. Pria itu selalu dengan wajah datarnya. Entah Jalen marah atau apa. Mungkin Jalen marah karena tak rela sepupunya menikah dengan Cristal. Setidaknya itulah yang Cristal pikirkan.  "Kamu mau apa?" tanya Jervaro. Kini ia dan Cristal berdiri di dekat parkir. Danny sudah pergi lebih dulu ke mobil.  "Aku belum mikirin," jawab Cristal.  "Rumah? Mobil? Uang? Aku kasih tiga-tiganya."  Sudut bibir Cristal tertarik spontan, membentuk sebuah tawa kecil.  "Kenapa kamu ketawa?"  Cristal menggeleng. Tiba-tiba Jervaro merogoh kantong jasnya, ia kemudian menarik tangan Cristal dan meletakkan kotak ponsel baru ke tangan Cristal.  "Komunikasi itu butuh hape," ujar Jervaro ketus. Ia kemudian berlalu, meninggalkan Cristal yang masih diam mematung. Mobil Jervaro sudah berlalu. Cristal hembuskan napas pelan. Ia masukkan kotak pipih itu ke dalam tas. Cristal melangkah meninggalkan gedung KUA.  Jalanan ramai seperti biasa. Kebisingan terdengar di sana-sini. Langkah Cristal berhenti di depan sebuah warung kecil di pinggir jalan. Ia kemudian memutuskan untuk masuk ke sana.  "Pesan apa, Mbak?"  "Mie rebus satu ya."  "Minumnya Mbak?"  "Teh manis dingin, gulanya sedikit aja."  "Oke tunggu sebentar ya, Mbak."  Cristal mengedarkan pandangan ke sekeliling. Ada coretan-coretan kecil di dinding warung ini. Sepertinya pemilik warung memang membiarkan orang-orang mencoret dinding warungnya. Mungkin sebagai kenang-kenangan. hal itu didukung dengan tersedianya spidol di dalam kaleng di atas meja. Cristal memutuskan mengambil spidol itu dan menulis sesuatu di dinding.  12.10 menikah.  Cristal menatap tulisan yang dibuatnya itu sebentar. Ia lalu mengembalikan spidol tadi ke tempatnya. Wanita itu memejamkan matanya dengan kedua tangan berpangku di atas meja.  Semua terjadi begitu cepat. Bahkan terlalu cepat. Malam itu ia kehilangan mahkotanya. Beberapa saat kemudian ia masuk penjara. Ia habiskan tiga bulan di penjara. Begitu keluar dari penjara, ia keguguran. Setelah keguguran ia menikah dengan Jervaro. Jika Cristal tak mengalaminya sendiri, ia mungkin tak akan percaya ada orang yang mengalami kisah seperti ini.  Tak ada musik indah mengiringi pesta. Tak ada dekorasi cantik. Tak ada tawa bahagia keluarga dan tamu undangan. Tak ada kue. Tak ada cincin. Dan tak ada gaun pernikahan. Cristal kehilangan semuanya. Momen sakral itu berlangsung nyaris tanpa arti. Cristal benar-benar kehilangan semuanya.  *** 
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN