Tendangan Sayang Untuk Suami Tercinta

1705 Kata
Hu, hu, hu-uuu, bahkan sampai aku tiba di halaman rumahnya menuju ke jalan raya pun gak dipanggil juga. Apa yang harus kukatakan pada Mama nanti? Huaaaa. Sumpah aku rasanya ingin nangis karena bingung juga sedih tapi kutahan. "Din-daaa!" Itu suara Om Angga. Ya ampun dadaku langsung berdebar-debar. Aku tetap dalam posisi menghadap jalan raya, menunggu pangeran pujaanku itu datang ke sini menghampiri. Aku gak mau menoleh karena gengsi. Aaaaah pasti dia berubah pikiran, deh. Oh senangnya hatiku. "Dinda." Suaranya kembali terdengar kini semakin dekat. "Ya?" Aku berkata begitu tanpa menoleh, gengsi tingkat tinggi. Tapi aslinya, aku ingin sekali menghadapnya lalu mengalungkan tangan ke ke lehernya menatapnya penuh cinta. Sampai Om Angga berdiri di hadapanku, aku terus saja bersikap cuek. "Ada apa, Om? Apa Om berubah pikiran?" tanyaku menatapnya angkuh. Jawab iya, Om, maka sikap angkuhku ini akan mencair menjadi kelembutan. Aku menunggunya berkata dengan harap-harap cemas. "Hanya memberitahu. Ingat ini baik-baik, Adinda." Adinda Kemala Dewi itu nama panjangku. Aku menatap suamiku ini penuh minat. "Aku memberimu waktu satu bulan untuk berpikir jernih. Kalau kamu berubah pikiran, silakan datang ke rumah ini kapan saja. Selalu terbuka untukmu. Tapi jika satu bulan tidak ada kabar, maka aku akan mencari istri baru dan kamu pun boleh menikah dengan lelaki lain." Aku ternganga tak percaya. Bukan ini kata-kata yang ingin aku dengar. Bisa-bisanya dia bicara dengan begitu mudah. Aku benar-benar syok. Kalau sebelum nikah ia mengatakan bahwa setelah menikah maka aku harus angkat rahim, aku pasti langsung nolak nikah. Tapi ini sudah malam pertama dia baru bilang. Sumpah rasanya aku ingin nonjok wajahnya yang menatapku tanpa rasa bersalah sedikitpun. "Pikirkan baik-baik selama satu bulan, Dinda. Jika kamu berubah pikiran, langsung hubungi aku." Aku tertawa mencemooh. Tapi sebenarnya aku ingin nangis karena dia begitu tega. Tapi menangis lagi di hadapannya itu memalukan. Jadi aku gak akan nangis lagi. "Om, boleh aku melakukan sesuatu sebelum kita berpisah?" tanyaku yang membuatnya langsung mengulum senyum. "Apa?" tanyanya. Aku mengerucutkan bibir. Lalu menggerak-gerakkan bibirku dengan tatapan ke arahnya. "Menciumku?" tanyanya sambil menyentuh wajahnya. Aku mengangguk serius. "Huk um. Boleh, gak? Sebelum kita berpisah rumah, boleh gak aku cium Om? Sa-maaa, i-tuuuu," kataku malu-malu yang membuatnya tertawa kecil. Maksudku 'itu', aku mau nendang burungnya sekuat yang aku bisa. Habisnya aku kesel, bisa-bisanya setelah malam pertama dia menyuruhku angkat rahim sekaligus mengungkapkan bahwa dia gak mau punya anak lagi, dua anak cukup dan itu bukan anakku melainkan anaknya dengan istri terdahulu. Jadi, sebelum pergi aku mau tendang 'belalai'nya kuat-kuat biar aku sedikit lega, gitu. Habisnya aku gemes, geram, sebel. Ya sekaligus cinta, siih. Tapi walau cinta tetap saja aku berpikir logis, gak mau, lah, aku dibodohi. Rahim pemberian Allah kok diangkat, aneh. Aku sehat, pula. Kalau aku dalam keadaan sakit yang mengharuskanku angkat rahim mah beda aku pasti mau jika demi kesehatan. Lha ini aku sehat bugar sehat wal afiat gak sakit-sakitan. Hu-uh! Aku mengembuskan napas karena rasanya kesal sekali melihat suamiku yang terus cengengesan. Kegeeran dia, padahal aku mau tendang belalainya. Enak banget sudah berenang-renang, semalam menatapku seolah benar-benar mencintaiku kini dengan mudahnya nyuruh aku cari lelaki lain kalau gak mau angkat rahim. "Apa sih kok senyum-senyum gak jelas, Om?" tanyaku sedikit jengkel. Dia tertawa kecil. "Kamu bahkan sadar kan bahwa aku ganteng sampai kamu mau menciumku dulu sebelum pergi?" Ia mengulum senyum. Tatapannya tampak geli. Aku mencebik. "Boleh gak niiih aku cium sam-bil ... i-tuu?" tanyaku. Dia tertawa lagi dan mengangguk-angguk. Jari telunjuknya terangkat lalu bergerak mengetuk-ngetuk pipinya yang chubby. Ya Allah, Ooom, kamu ganteng banget sampai perasaanku nano-nano gini. Sebel sedih, kesal, sayang. Gemas. Semua rasa itu menjadi satu di benakku. "Boleh. Cium saja. Mau yang mana? Pipi? Kening? Bibir?" Dia mengerling menggoda. Lalu mengedip-ngedipkan matanya aduhai gantengnya, sumpah aku gak bohong. Dia itu, guanteeeeeng banget, bagi aku yang hanya mencintai dia. Ci-eee. Tapi, berhubung dia sudah buat aku kesal, maka saatnya memberi dia pelajaran. Yaa biar dia tahu bahwa walaupun aku bucin, tapi aku juga punya harga diri. Aku mendekat lalu sambil senyum-senyum malu, aku melingkarkan tangan ke lehernya, kami bertatapan lekat, diam-diaman. Aku selalu senang melihat tatapannya padaku yang terlihat penuh cinta begini, buat dadaku berdebar-debar dan juga klepek-klepek. Aku mencondongkan wajah mendekat lalu, Cup. Kukecup keningnya sekilas. Cup Ganti aku mencium pipinya, merasai dadaku yang berdebar dan jantungku yang berdetak kencang tak terkendali saat lagi-lagi kami beradu tatap dalam diam. Begitu lekat, dengan jarak yang begitu dekat. Rasanya itu .... Sumpah menyenangkan. Mendebarkan. Aaah rasa seperti ini aku selalu menyukainya. Suka. Sangat suka. Aku terhanyut oleh suasana yang romantis di antara kami, tapi dengan cepat aku kembali ke realita. Bahwa, Om Angga-ku tercinta begitu egoist, menyuruhku angkat tahun tapi dia gak mau disuruh vasektomi alias steril. Aku mengangkat lutut lalu, BUGH!! BUGH!! BUGH!! "DIN-DA! Auuuw!" Dia mengerang dengan sedikit membungkuk memegangi belalainya yang kutendang. Sakit banget pasti, itu terlihat di raut wajahnya yang sepertinya sangat-sangat kesakitan. Aku tendang belalainya 3 kali dan kenceng banget. Aku tertawa kecil melihatnya kesakitan begitu. "Enak, Om?" Aku sedikit membungkuk di dekatnya lalu, cup. Aku mencium keningnya dan tersenyum. Dia menatapku jengkel. Kepalanya menggeleng-geleng dengan kedua tangannya menutupi belalainya. Pasti takut kutendang lagi. "Kamu ini kenapa sih? Tiba-tiba begini!" Dia mengembuskan napas keras. "Gak papa, aku hanya ... kesal sama Om karena Om bertindak semena-mena padaku. Kalau Om bilang nyuruh aku angkat rahim sebelum kita nikah aku pasti gak akan marah. Tapi Om, sungguh buat buat aku kaget. Jadi sekarang aku simpulkan bahwa Om bukan lelaki yang baik bagiku. Jadi, aku putuskan cari lelaki lain aja. Toh aku cantik pasti banyak lah yang mau sama aku. Kalau aku gak dapat perjaka yaaaaaa aku cari duda gak papa penting gak gila," kataku panjang lebar. "Tapi, jujur terus terang aku cinta banget sama Om. Jadi kalau Om berubah pikiran, Om mau vasektomi atau Om gak akan maksa aku buat angkat rahim lagi, aku dengan senang hati terima Om. Aku nunggu Om satu bulan. Kalau dalam satu bulan Om gak hubungi aku yaudah, kita end. Bie, bi-ee, Ooom." Telapak tanganku menempel di bibirku lalu menurunkan ke bawah dagu setelah itu sambil mengerucutkan bibir aku membuat ciuman jarak jauh. "Muaaaaaaaach," kataku. "Jangan harap aku kembali ke rumah ini sebelum Om berubah pikiran!" Lalu aku membalikkan badan dan berlari cepat ke jalanan. Gerimis tadi sudah lenyap. Aku menatap ke sana kemari dan begitu ada angkot yang lewat aku segera menyetopnya takut berubah pikiran. Angkot berhenti dan aku pun masuk. Aku menatap ke luar jendela, memperhatikan Om Angga yang memandang ke arahku. Angkot akhirnya mulai berjalan. Pertahananku runtuh seketika. Aku yang tadinya begitu tegar, kini terisak-isak merasakan batinku yang pedih. Teganya kamu Om biarkan aku pergi. Bukannya dicegah, kek. Hu-aa, aku menangis saking sakitnya hatiku seperti ditikam-tikam belati. Sa-kiiiit banget rasanya. Aku langsung melengos saat bersitatap dengan seorang lelaki memangku anak perempuan. Kenapa sih dia mandengin aku terus? Kayak gak pernah liat orang nangis aja, deh. Gak tahu, apa, bahwa aku malu dipandangi terus? Anaknya juga yang sepertinya umur satu tahunan terus memandangiku juga. Sementara penumpang lain bersikap cuek. Hanya memandangku sekilas saja. "Apa, Pak, lihat-lihat? Gak pernah liat cewek nangis, ya?!" tanyaku jengkel sambil mencebik. Dia langsung menutupi wajahnya dengan telapak tangannya. Ta-piii, jari tangannya itu direnggang-renggangkan jadi ya percuma saja dia tetap bisa lihat aku. Jadi ya sama aja bohong, lah. Hu-uh! Kesel banget aku rasanya. Enggak Om Angga enggak orang asing sama-sama buat aku kesal. "Pak! Stop, Pak! Stop!" kataku saat angkot melewati jalan depan rumahku. Angkot pun berhenti. Aku segera mengulurkan uang. "Duh, Neng, tidak ada kembalian." "Buat bayarin semua penumpang yang di sini aja deh Pak kalau gitu. Bu, Pak, semuanya, aku udah bayarin, yaa?" Karena orang diangkot hanya 5 orang jadi pasti cukuplah uangku buat bayar. Setelah berkata begitu aku melompat turun lalu melangkah ke halaman rumahku dengan d**a berdebar-debar hebat. Aku membuka gerbang dengan tubuh panas dingin. Entah bagaimana reaksi papa dan Mama nanti saat melihatku datang tanpa Om Angga. Tapi, tunggu dulu tunggu dulu. Pasti wajahku terlihat habis nangis. Maka jari-jariku bergerak mengusap sisa air mata setelah itu dengan d**a berdebar aku melangkah menuju halaman rumah yang ditumbuhi banyak bunga aneka ragam, warna-warni sedap dipandang mata. Baik aku atau Mama sama-sama pecinta kembang. Kalau sudah ke toko bunga niiih, pasti bisa habis ratusan ribu bahkan jutaan. Selain aku suka bunga, aku juga suka menanam bunga. Seneng banget rasanya saat bunga yang aku tanam tumbuh subur. Saat memasuki teras yang juga penuh dengan bunga, tubuhku semakin berkeringat dingin saja. Apalagi saat menatap ke arah pintu yang sedikit membuka, perasaanku tambah gak karu-karuan. "Assalamualaikum, Ma-maaaa," kataku dengan nada kubuat ceria mungkin. "Paaa? Pa-paaa? Anak kesayangan papa mama nih datang berkunjung," kataku sambil berjalan menuju ruang tivi. Biasanya tiap hari libur papa dan Mama selalu nonton TV dan berdebat kecil tentang tontonan yang mereka saksikan. Eh tapi ternyata pada dan Mama gak ada di ruang TV. Maka aku pun melewati ruang TV dan berjalan ke ruang makan. Ternyata mereka sedang makan. Aku tersenyum lebar saat bersitatap dengan Mama yang menatapku seperti melihat hantu. "Hai Ma-maaa. Ini anak mama datang berkunjung. Kangen, banget, aku rasanya sama Ma-maa." Aku mendekat lalu cipika cipiki, cium pipi kiri Mama lalu cium pipi kanan Mama. "Hai Papa aku tercin-taa?" Kini gantian aku cipika-cipiki pada papa lalu aku duduk di kursi. Mama dan Papa bengong menatapku. "Kenapa, Ma? Pa? Anaknya datang berkunjung kok kayak gak seneng gitu wajahnya. Waah, ada peyek u-dang. Kesukaan aku, niiih." Aku meraih peyek udang dan, nyam, aku memakannya dan mengangguk-angguk. "Enak, selalu enak peyek buatan mama," kataku memuji. "Itu simbok yang buat," jawab Mama, masih menatapku dengan raut heran. "Mama kok kayak gak seneng banget aku datang? Aku itu kangeeen, banget, sama mama dan Papa. Kangen banget-banget." Mama menelisik wajahku, seolah dia tak percaya dengan ucapanku barusan. "Padahal baru kemarin siang kamu diboyong Angga, Din," kata Papa. "Bener, tuuh. Gak sabaran banget Pa, dia, sampai kue yang udah Mama siapin buat dia gak dia bawa," timpal Mama menatapku mencemooh. "Kangen itu kan gak mandang waktu, Ma. Pa. Padahal belum ada sehari kita pisah ya, eh aku udah kangen aja sama papa mama. Yaa ginilah kalau anak gak bisa jauh-jauh sama orang tuanya tuuh. Baru pergi bentar udah kangen aja," sahutku. "Dulu sampai satu Minggu kamu minggat dari rumah ya, Din, sampai papa sama Mama bingung cari kamu ke mana. Ya kan, Pa?" kata Mama yang membuatku nyengir.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN