19. Fakta Lain

1128 Kata
“Arghhhh! Nyebelin!” umpat Niken. Sudah lebih dari seratus buku ia beri stempel sekolah SMK Hijau.                Huzam hanya tersenyum. Ia tidak terlalu memedulikan temannya itu. Tangannya terus bergerak agar pekerjaannya cepat selesai.                “Lagian Jaka pakai absen segala sih,” gerutu Niken lagi. Ia masih belum terima alasan Jaka tidak berangkat hari ini.                Huzam tidak mengamati. Ia terus melakukan pekerjaan itu sampai tumpukan satu buku mata pelajaran selesai ia beri tanda.                “Pindahin ke mana?” tanya Huzam pada Niken.                “Pojokan.” Niken menunjuk satu sisi yang kosong di ruangan itu. Huzam pun mengangguk. Ia berjalan ke sisi tersebut.                “Habis ini?” tanya Huzam lagi. Sudah waktunya jam istirahat sekolah. Meski mendapatkan hukuman, harusnya mereka tetap diberi waktu barang sejenak untuk beristirahat.                “Nggak tau lah. Pokoknya males banget. Mending dikeluarin aja sekalian apa mengundurkan diri. Ogah aku kerja rodi terus,” rengek Niken. Setidaknya ia bisa melakukan hal lain yang jauh lebih menguntungkan.                “Lagian kamu sih, Zam. Ngapain pakai ketangkep segala. Nyusahin banyak orang.”                Huzam terdiam. Ia menatap Niken meminta penjelasan.                “Udah tau walas kita yang baru rese minta ampun. Gini, kan?”                “Yang ngasih tau tempat tongkrongan baru siapa?” Huzam tak terima. Kalau saja dua temannya tidak ‘ember’ jelas keberadaan mereka tidak akan diketahui.                “Argghhh!!! Nggak tau lah.” Niken melempar buku yang sedang dipegangnya. Ia pun berdiri seraya melangkah meninggalkan ruangan.                “Mau ke mana?”                “Masa bodo!”                Huzam tersentak. Niken menjadi super galak. Mungkin, hari pertamanya kedatangan tamu bulanan. Beberapa waktu ia, Jaka dan Roni pernah menjadi sasaran juga. Huzam memilih untuk tidak memikirkan sikap Niken. Ia memungut kembali buku-buku dan memulai pekerjaannya. Pegal jelas ia rasakan di pergelangan tangan kanan. Namun, ia perlu menyelesaikannya agar bisa terbebas dari pelanggaran berat. Huzam tersenyum simpul. Sejak kapan ia mau melakukan hal-hal seperti ini? Apa bedanya hukuman yang diberikan oleh Pak Muslim, Bu Raimuna dan Ziya? Huzam menggeleng. Ini bukan waktu yang tepat untuk memikirkannya.                “Huzam ....” panggil Ziya dari luar pintu setelah mengetuknya tiga kali.                “Ya, Bu.”                “Saya masuk, ya,” ucap Ziya seraya mendorong pintu. Ia biarkan tetap terbuka. “Sudah selesai?” tanyanya.                Huzam menatap ke seisi ruangan. Jelas masih banyak tumpukan buku di sana. Bisa jadi sampai bel pulang pun belum selesai semua.                “Hmmm masih banyak ya.”                “Iya, Bu.”                “Padahal Niken izin nggak bisa ngelanjutin.”                Sontak pupil mata Huzam melebar. “Kenapa, Bu?”                “Maklum perempuan, Zam.”                Huzam tidak paham dengan ucapan wali kelasnya. Ziya pun hanya tersenyum tipis.                “Nih, Zam.” Ziya menyerahkan satu kantog plastik berisi minuman dan sebungkus roti.                “Buat saya, Bu?”                Ziya mengangguk. “Istirahatnya di ruang ini saja. Pastikan ruangan tetap bersih meski kamu makan.”                “Repot, Bu.”                Ziya menggeleng. “Ndak sama sekali, Zam. Sama dengan Niken dan Jaka. Saya kasih semua.”                Huzam pun mengangguk kecil. Wali kelasnya memang selalu memperlakukan siapa saja dengan sangat baik.                “Kamu ingat abah saya, Zam?”                “Abah?”                Ziya mengganti posisi duduk. Ia membuat dirinya senyaman mungkin untuk berbicara dengan Huzam sekaligus mengamati sisi lain perpustakaan. Petugas perpustakaan sedang mengikuti rapat di ruang wakil kepala. Beliau menitipkan sementara pada Ziya.                “Pak Hamzah.”                Huzam pun teringat sosok wali kelasnya dari kelas sepuluh sampai kelas dua belas. Pria paruh baya yang mengajar mata pelajaran agama.                “Beliau sehat, Bu?” tanya Huzam basa-basi. Sejak kapan ia peduli?                “Alhamdulillah meski masih harus kontrol sana sini. Beliau masih bisa mimpin ngaji.”                Huzam menghentikan sejenak kegiatannya. Ia lebih memilih mendengarkan Ziya dengan cukup intens. Sepertinya, Ziya ingin membicarakan beberapa hal penting.                “Waktu awal saya diminta menggantikan abah saya, pesannya cuma satu. Dampingin Huzam dan teman-temannya. Jangan sampai mereka dikeluarkan. Dan saya nggak habis pikir dengan pesanan itu.” Huzam menyimak apa yang diucapkan Ziya. Pak Hamzah mencatut namanya. “Awal saya masuk kelas kalian benar-benar jadi pengalaman buruk, Zam. Masih ingat?” Ziya menoleh. Ia sengaja mengajak Huzam berkelana dengan memori mereka. Huzam mengangguk samar. “Aneh, sih, memang. Sampai beberapa guru bilang udah laporin aja ke polisi.” Ziya tampak frustrasi dengan responsnya tadi. “Kenapa tidak dilaporkan, Bu?” Ziya menghela napas. Ia tidak langsung menjawab pertanyaan itu. “Ya tadi karena pesan abah saya. Huzam dan teman-temannya harus ....” “Bu Ziya!” seru petugas perpustakaan yang sudah kembali. “Ya, Bu.” “Ngapain di situ?” tanyanya merasa aneh saat Ziya ikut duduk di ruang penyimpanan buku. Ziya bangkit dari posisi duduknya. “Memastikan Huzam tidak kabur, Bu. Yang satu lagi K.O di UKS.” “Wah wah emang. Ngrepotin banget ya, Bu.” Ziya tidak menjawab. Ia hanya memberikan senyuman pada petugas perpustakaan. Tugasnya sudah selesai meski obrolannya dengan Huzam belum. Ia pikir masih ada waktu lain untuk membahasnya. Ziya pun meninggalkan perpustakaan. “Tutup lagi!” perintah petugas perpustakaan. “Ya, Bu.” Huzam melakukan perintah itu dengan baik. Ia kembali melanjutkan aktivitas memberi cap stempel pada setiap buku yang ada. Ia harus menyelesaikannya secepat mungkin. Namun, kantong plastik di dekat pintu membuatnya berhenti lagi. “Ziyadatul Muna,” lirihnya. *** Roni dan Jaka sudah selesai menyusun rencana. Ia tentu sudah melakukan koordinasi dengan teman satu kelasnya untuk melakukan sambutan istimewa terhadap wali kelas barunya. Beberapa kabar sudah beredar sampai ke telinga mereka. “Siapa eksekutornya?” tanya Jaka. Ia jelas tidak berani. “Niken aja gimana?” usul salah satu anggota kelas yang lain. Roni memegang dagu. Ia memikirkan cara terbaik agar penyambutan itu berkesan. Terutama kesan yang bisa diingat terus calon wali kelas barunya. “Niken terlalu lemah,” ucap Roni. “Terus siapa?” Roni tidak langsung menjawab. Ia mengamati satu per satu teman kelasnya. Begitu sampai di pojok kelas ia melihat Huzam yang tengah menempelkan wajah di atas meja. Kebiasaan setiap harinya : tidur nyenyak di kelas. “Huzam,” ucap Roni. Sontak Jaka dan yang lain menoleh. “Yakin?” Roni mengangguk. “Dia masternya. Dia yang selalu terdepan setiap ada masalah. Harus dia yang mengejutkan walas baru kita.” “Caranya?” “Panggil Huzam.” Roni memerintahkan Jaka. Meski tertidur, Huzam tahu apa yang direncanakan Roni. Tadi Roni sudah menjelaskan beberapa poin. Profil wali kelas baru mereka juga sudah ia dapatkan. Katanya tipe orang yang selalu berani dan suka mengatur. Huzam paling tidak suka itu. “Kenapa?” tanya Huzam sambil mengangkat kepala. Ia melihat ke arah Roni. “Siap, Zam?” Huzam terseyum simpul. Bahkan mereka sudah membicarakannya saat menghabiskan gulungan tembakau di warung PS. Pesanan Roni juga ia yang mencarikan langsung. Dipastikan wali kelas mereka akan lari tunggang langgang. Huzam membentuk jarinya menjadi tanda oke. Sebuah kesepakatan atas aksinya hari ini. Penyambutan super berkesan yang tidak akan pernah bisa dilupakan.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN