51. Fakta yang Terungkap

1175 Kata
“Fatiya, ayah minta tolong jagain Nak Huzam dulu ya,” ujar Arbrito saat akan berangkat. Sontak hal itu membuat wajah Fatiya memerah. Ia langsung menatap Huzam yang ada di sebelahnya.                “Jagain, Pak? Emangnya saya bayi?” timpal Huzam.                “Maksudnya kamu kan masih belum sadar banget, Zam. Takut malah nyasar,” kelakar Arbrito.                Fatiya mengukir senyum. Meski bekerja sebagi pengawal sekaligus asisten pribadi seorang yang sangat berpengaruh, ayahnya masih tetap sama saat berada di rumah. Lembut, lucu dan penuh perhatian.                “Baik, Yah. Tenang aja. Kebetulan jam kuliah hari ini kosong.”                “Sip kalau begitu. Ayah berangkat dulu, ya.”                Fatiya mengangguk. Ia meraih punggung tangan Arbrito yang diikuti dengan Huzam. Bedanya Huzam hanya berjabat tangan seperti biasa.                “Hati-hati, Yah.”                “Iya, Nak.” Arbrito menunggu mobil van hitam yang sering membawanya ke mana-mana. Saat memutuskan untuk pulang, ia memang tidak mau membawa kendaraan sendiri. Itu permintaan khususnya pada Anggoro.                Huzam dan Fatiya melambaikan tangan. Di rumah yang cukup sepi itu, mereka hanya berdua. Fatiya tidak merasa canggung. Hal semacam ini kerap terjadi. Kadang, ayahnya memang membawa teman ke rumah sekadar untuk beristirahat. Biasanya Fatiya akan berpura kuliah atau memilih keluar rumah. Namun, saat melihat Huzam ia berpikir lain.                “Saya masuk dulu. Kalau butuh apa-apa bisa ketuk pintu kamar saya.” Fatiya undur diri dari teras rumahnya. Sebahagia apa pun ia, tidak boleh sampai pemuda di sampingnya mengetahuinya.                Huzam mengangguk. Jelas ini bukan sebuah ide yang baik, tapi tak juga buruk. Ia memang butuh waktu istirahat. Di Jakarta baru semalam ia tertidur setelah perjalanan. Dan begitu bangun, kepalanya seperti akan pecah. Bahkan, sekarang masih sama. Huzam pun memutuskan kembali ke dalam kamar. Ia ingin terlelap lagi sebelum nantinya memikirkan banyak hal terutama yang berkaitan dengan Bintang. Huzam menatap langit-langit kamar di rumah Arbrito. Jakarta pun tetap tak senyaman bayangannya. Ia ingin terlelap tapi tak semudah yang dipikirkannya tadi. Huzam kembali mendudukkan diri. Mungkin ia harus membersihkan diri dulu. Tok! Tok! Tok! Sesuai pesan Fatiya tadi, Huzam melakukannya sebanyak tiga kali. Ia membutuhkan bantuan gadis itu. “Ya?” tanya Fatiya setelah membuka pintu kamarnya. Huzam menggaruk tengkuk. Cukup sungkan untuk meminta bantuan. Bukan gayanya memang. “Ada apa?” ulang Fatiya. Harusnya Huzam langsung menjawab. “Ehmmmm, maaf ganggu kamu. Apa boleh pinjam handuk?” “Handuk?” Huzam mengangguk. Ia perlu mandi agar pikirannya segar. Bau alkohol bahkan masih menempel di seluruh badan. Roni memang sahabat terbaik. Begitu ia bilang membutuhkan minuman itu, tak tanggung yang dipesankan Roni untuknya. Namun, tetap saja setelah dipikirkan lagi, itu cukup berlebihan. Fatiya mengayunkan langkah. Di rumahnya, peralatan seperti itu tersedia lebih dari satu. Sekali lagi ia terbiasa karena ayahnya memang sering membawa teman atau rekan kerja ke rumahnya. Sejak masih SMP, Fatiya sudah pandai menyiapkan hal-hal seperti ini. Fatiya pun masuk ke kamar ayahnya, membuka lemari dan mengambil handuk beserta peralatan lain. “Ini,” ujarnya setelah kembali menemui Huzam. “Ini ....” “Tidak apa-apa. Dipakai saja. Punya ayah udah kekecilan.” Huzam menerimanya. Ia lihat sekilas dan memang cukup lengkap. Celana panjang beserta kaos berwarna hitam. Huzam pun mengangguk kecil. “Di kamar mandi buka rak yang digantung di dinding. Ada sikat gigi cadangan di sana. Pakai saja.” Huzam terkejut. Sedetail itu rumah Pak Arbrito. Benar-benar sesuai dengan pekerjaannya sebagai pengawal dan asisten pribadi salah satu orang terpandang di Jakarta. “Baik. Makasih.” Fatiya mengangguk. Ia mengulas sedikit senyum seraya mempersilakan Huzam melanjutkan niatnya. Ia masih harus menyelesaikan beberapa tugas kuliah yang memang sudah hampir menuju deadline. Fatiya baru masuk semester satu. Mungkin, jika Huzam juga kuliah, mereka satu angkatan. Huzam mengayunkan langkah ringan. Pikirannya sekarang hanyalah menyamankan dirinya dulu sebelum nanti melanjutkan banyak kegiatan. Huzam tak terlalu peduli meski di rumah Pak Arbrito ia berdua saja dengan Fatiya. Ia sedikit pun tak memiliki niat yang jahat. Guyuran air benar-benar mampu mendinginkan pikiran Huzam. Adakalanya ia perlu menyendiri sambil memikirkan banyak hal. Salah satu yang sering ia lakukan adalah saat sedang berada di dalam kamar mandi. *** Seperti dugaan Arbrito, Huzam tak serta merta melupakan Roni juga kebiasaan buruknya. Begitu bertemu dengan sahabat, tempat, dan alkohol ia tak bisa menahannya. Arbrito tentu harus melaporkan itu. Namun, ia sedikit mengoreksi laporannya untuk Pak Anggoro. Ia masih ingin berlama-lama di rumahnya. Huzam bisa menjadi alasan. “Bagaimana? Kenapa dia tidak langsung kembali?” “Maaf, Bapak. Sesuai prediksi alkohol membuatnya lupa.” Anggoro menggeleng. Susah jika Huzam tak bisa lepas dari kebiasaan lamanya. Ia tidak bisa mengarahkan ke arah yang ia inginkan. “Kamu tidak mencegahnya?” “Bukankah Bapak bilang ingin melihat? Dengan begini kita jadi tau.” Anggoro melirik ke asistennya. Benar-benar pandai mengingat semua hal yang dikatakannya termasuk perintah yang diberikan. “Sekarang di mana? Masih terkapar di rumahmu?” Arbrito mengangguk. “Ya, Bapak. Saya tidak tega membangunkannya.” “Hanya berdua dengan putrimu?” Arbrito menggeleng. “Fatiya ada jadwal kuliah. Jadi, aman, Bapak. Lagian Fatiya tidak tertarik dengan pekerjaan saya. Dia sangat paham saat ada orang yang terpaksa menginap di rumah.” “Hmmmmm. Seperti yang sudah-sudah?” “Betul, Bapak.” “Baiklah kalau begitu. Setelah sadar apa rencanamu?” tanya Anggoro. Ia tak sabar dengan hal-hal yang akan dilakukan pengawalnya. “Mengajarinya cara bela diri yang benar, Pak. Saya harap Huzam ke depannya bisa diandalkan?” “Sparing? Di rumah?” Arbrito terkekeh. “Tidak, Pak. Untuk teknis nanti saya pilihkan yang paling cocok.” “Intinya apa? Apa maumu?” Arbrito mengulas senyum. Sudah cukup lama ia bekerja bersama Anggoro. Pasti, majikannya paham apa yang ia inginkan. “Dua atau tiga hari izinkan Huzam tetap di tempat saya. Kebetulan hari jumat besok, tepat tanggal ....” “Baiklah. Saya paham. Kau boleh menghabiskan waktu bersama putrimu.” Arbrito berseru senang di dalam hati. Anggoro tidak tersinggung meski tidak memiliki kehidupan sepertinya. Majikannya itu tetap menghargai privasinya. “Kalau begitu siapkan tiket untuk saya.” “Bapak mau berpergian?” “Ya. Saya mau ke Malang.” “Tapi, Pak ....” “Tidak usah khawatir. Masih ada pengawal lain. Saya titip Huzam.” “Serius, Pak?” Anggoro mengangguk. Ia harus bertemu seseorang untuk memastikan keberlangsungan bisnisnya. Meski tanpa didampingi Arbrito, ia masih memiliki asisten yang lain. “Apa Maria ikut, Pak?” tanya Arbrito paham akan permintaan mendadak Anggoro. “Bisa jadi.”  Angoro berdiri. Ia mengayunkan langkah meninggalkan ruangannya. Rubico memang penuh kenangan, tapi kenangan terbaiknya bukan di kota ini. Ia masih perlu meniliknya sekali lagi. Arbrito ikut melangkah. Sebentar lagi mereka memang harus menyiapkan Huzam. Tidak ada kandidat lain. Sayangnya, Huzam masih jauh dari harapan. Pemuda itu belum tahu banyak hal. Minim pengetahuan dan miskin karakter positif. Untuk menjadi pewaris sebuah perusahaan jelas tak bisa jika Huzam tak dilatih atau diajarkan banyak hal. Arbrito cukup merenungkannya. Ia sudah mengantongi daftar kegiatan yang nantinya wajib dilakukan Huzam. Sebelum itu, ia perlu memastikan Huzam benar-benar siap dan tidak membantah jika terjadi hal yang tidak diinginkan. Prinsip menjadi bagian dari perusahaan Anggoro apalagi melabeli diri sebagai keluarga adalah setia sampai akhir. Tidak ada jalan untuk berlari apalagi kembali. ***

Baca dengan App

Unduh dengan memindai kode QR untuk membaca banyak cerita gratis dan buku yang diperbarui setiap hari

Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN