3. Bu Guru

1092 Kata
Jaka tak menyangka saat keterlambatannya begitu banyak ia justru hanya diminta mengambil air wudu dan salat dua rakaat. Jika berhadapan dengan guru lain, biasanya ia akan diminta berlari mengitari lapangan sampai bajunya basah karena keringat. "Tadi solat subuh tidak?" tanya perempuan berkerudung segi empat dengan kacamata berframe merah yang sejak tadi mengawasi. Meski begitu tak tampak gurat kemarahan di sana. "Belum, Bu," jawab Jaka sembari memegang tengkuk. Ia tersenyum tipis. "Sama dengan Niken? Apa kalian janjian?" Mata Ziya mengerjap. Menyadari kalau kedua siswanya itu terlihat kompak. Wajah mungil perempuan itu tampak lucu. "Tidak, Bu. Mana bisa enggak solat janjian," sahut Niken. Ia tentu tidak mau disamakan dengan Jaka. Mending kalau disamakan dengan Huzam. Riak wajah Ziya berubah. Ia tak semanis tadi saat awal Niken dan Jaka datang. Ziya mulai berkonsentrasi kembali. Ia menatap Niken dan Jaka bergantian. Penampilan mereka jauh dari kata rapi. Baju dikeluarkan, rambut gondrong untuk Jaka dan anak rambut yang keluar di depan kerudung untuk Niken. Satu kata yang pantas menggambarkan siswanya. "Parah." Ziya menghela napas. Ia meratapi nasibnya mendapatkan tugas tambahan sebagai wali kelas. Menggantikan sementara abahnya yang sedang tidak dalam kondisi prima. Sialnya ia harus bertemu dengan kelas XII TEKNIK OTOMOTIF yang memang terkenal urakan sejak pertama mereka ada di sekolah tersebut. Entah sebuah kebetulan atau apa namanya komposisi siswa dalam kelas tersebut cukup membuat para guru kelimpungan. Ziya mengulas senyum. Ia harus berpikir positif agar hari-harinya lebih ringan. Seperti pesan abahnya yang selalu terngiang di telinga. "Ngajar mereka itu nggak bisa kalau pakai kekerasan. Dari awal hati mereka juga sudah berkerak. Belum lagi yang terlahir kurang beruntung. Mereka banyak yang menjadi anak-anak dengan penghasilan orangtua di bawah rata-rata. Jadi, maklumi saja, Nduk. Doakan yang terbaik setiap kamu habis solat. Kalau perlu diberi Fatihah satu per satu, per nama siswa yang kamu ampu sekarang." Laki-laki berusia lima puluh tahun itu berjalan pelan menuju kursi rotan di tuang tamu. "Tapi, Bah. Masa iya setiap hari Ziya dapat laporan tentang kenakalan mereka. Sekali aja Ziya pingin denger yang baik-baiknya. Babar blas nggak pernah, Bah. Baru sebulan loh" Sembari meletakkan teh hangat buatan uminya, Ziya terus bercerita tentang murid-muridnya. "Loh, justru itu tantangannya. Kalau Allah kasih kamu kemudahan ngajar siswa yang baik-baik aja, ya kamu nggak bisa jadi suluh, to, Nduk. Ingat barang siapa yang menyampaikan ayat Allah walau satu ayat saja dapat pahala, 'kan? Kok kamu malah nggak seneng." Abah Husein menyeruput teh hangat itu. Waktu sorenya sebelum mengisi pengajian di Masjid, ia sempatkan untuk mendengarkan rengekan putri bungsunya. "Abah enak laki-laki. Ngajar siswa laki-laki. Ini Ziya ada satu perempuannya sama bengalnya. Bukannya bantuin wali kelas baru belajar malah yang paling utama bikin huru hara. Pusing, Ziya, Bah." Ziya masih ngotot. Ia sebal karena harus dimintai bantuan mengajar di sana. Kalau boleh ia lebih memilih menolak. Tetapi tidak tega dengan abahnya. "Yow, wes apa biar Mbakmu saja yang menggantikan. Tapi kamu ...." Abah Husein menatap Ziya. Mengingatkan perjanjian rahasia mereka. "Enggak. Enggak usah, Bah. Ziya bakal usaha maksimal biar mereka jadi anak baik-baik. Ziya pertaruhkan empat tahun masa belajar Ziya di kampus." Ziya memperingati abahnya. Ada uminya yang bisa saja mendengar pembicaraan mereka. "Nah, begitu, dong. Mengabdi untuk agama itu nggak ada ruginya, Nduk. Itu bisa jadi jalan jihad yang kamu pilih selama jadi khilafah di bumi. Setidaknya kamu bisa mengamalkan apa yang sudah kamu dapat. Secara otomatis bisa jadi amal jariyah kamu nanti. Sebagaimana tiga amalan yang tidak putus yaitu doa anak yang soleh solihah, ilmu yang bermanfaat dan sedekah jariyah." Abah Husain menyunggingkan senyum. Ia yakin putrinya bisa meraih ketiga amalan tersebut. Ziya mengangguk patuh. "Baik, Abah. Ziya nggak akan ngeluh lagi." Rasanya kesanggupan itu menguap di udara. Melihat tingkah anak-anak special yang ada di depannya. Segera Ziya melangkah masuk ke mushola berukuran sedang di bagian depan sekolah swasta itu. Mengamati anak didiknya yang akan melakukan gerakan salat. Ia sudah mengawasi dari sejak Jaka dan Niken mengambil air wudu secara bergantian. Niken dan Jaka menuruti perintah Bu guru Ziya meski terpaksa. Dua rakaat dengan niat salat subuh mereka kerjakan. Terasa aneh karena hari sudah hampir pukul sepuluh. Setelah melakukan gerakan salam, Jaka dan Niken duduk bersila sambil menunggu titah apa yang akan disampaikan gurunya. "Wirid dulu," ucap Ziya tegas. Kedua anak didiknya bahkan tak mengangkat tangan untuk berdoa. Begitu salam, mereka langsung berpindah begitu saja. "White? Putih, Bu?" tanya Jaka saat tak begitu jelas mendengar ucapan Ziya. "Wiridan. Dzikir setelah solat. Nggak pernah melakukan?" tanya Zia ternsentak. Bagaimana bisa mereka tidak bisa sementara mereka bersekolah di yayasan islam. "Oh, itu, Bu." Jaka menyunggingkan senyum. Bukan karena dia tidak tahu, melainkan tidak hapal. Sudah berkali-kali diajarkan guru agama pun dia tidak pernah menerapkannya. Praktis saja ilmu itu hilang dari ingatannya. Niken cengengesan melihat Ziya yang terus menggeleng. Mungkin saking shock-nya bertemu dengan mereka. Guru lain kecuali Pak Husein bahkan tak pernah berhasil mendudukkan mereka dalam kondisi semacam ini . Ziya menoleh. Tatapannya kini beralih ke arah Niken. "Coba kamu mulai, Ken!" perintah Ziya. "Heh, saya, Bu? Apalagi saya. Baca qur'an aja nggak bisa, Bu." Niken menggaruk kepala yang masih tertutup mukena. Ia tetap percaya diri mengakui itu semua. Ziya menggeleng. Pekerjaan rumahnya terlampau berat. Tidak hanya sebagai wali kelas melainkan juga guru agama yang harus menjadi ujung tombak dalam mengajarkan akhlak. Kalau sudah seperti ini mau mulai dari mana? Ziya mendesah. Perlahan bibirnya mengatup lalu membuka. "Astaghfirullohal ‘azhim ..." Ziya memulai dengan istighfar. Ia menuntun kedua siswanya agar menirukan. "Astaghfirullohal‘azhim," seru Jaka dan Niken bersamaan. “Astaghfirullohal ‘azhim, alladzi la ilaha illa huwal hayyul qoyyum wa atubu ilaih," sambung Ziya. "Allladzi ..." Jaka dan Niken berhenti. Kalimat berbahasa arab yang mereka dengar cukup panjang. “Astaghfirullohal ‘azhi, alladzi la ilaha illa huwal hayyul qoyyum wa atubu ilaih." Ziya mengulanginya. Namun, Jaka dan Niken hanya saling pandang. Ziya mendesah. Ia harus memulai dari nol. Bukan, bahkan minus. “Astaghfirullohal ‘azhim, alladzi la ilaha illa huwal hayyul qoyyum wa atubu ilaih," ujar Ziya sekali lagi lalu terdiam. Jaka dan Niken menyimak. Ziya mengulanginya sedangkan Jaka dan Niken mulai menirukan meski masih ada sedikit salah di beberapa bagian. Ziya tetap membiarkannya. Ia terus meresapi kalimat itu. Dalam hal ini Ziya tidak hanya sedang mengajari muridnya. Ia sedang meredam rasa kesalnya juga. Setelah menyentuh angka ke-11 pengulangan, Ziya berhenti. Ia melirik sekilas ke arah Jaka dan Niken setelah pengulangan kedua muridnya itu selesai. Jaka dan Niken pun terdiam. Mereka bersikap canggung saat ditatap seperti itu secara bergantian. Ziya menghela napas berat. Kalau kata Dilan rindu itu berat biar aku saja. Kalau kata Ziya sekarang, jadi guru itu berat. Biar aku saja.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN