6. Bintang

1086 Kata
Selama berada di sekolah menengah kejuruan, bisa dibilang hari ini adalah hari terparah yang pernah dialami oleh Roni. Ia yang bahkan menganggap penting sekolah saja tidak, harus datang diantarkan oleh ayah serta ibu tirinya. Selama ini ia menutup rapat fakta itu dan berusaha menyembunyikan dengan sangat baik. Hanya karena wali kelas barunya yang tak tahu rasa takut, ia menerima penghinaan terpahit. “Lihat tuh, kan, bener kalau mantan artis itu ibu tirinya Roni,” bisik-bisik para siswi yang melihat mereka datang cukup terdengar. Roni menatap mereka. “Iya. Aku bilang juga apa. Aku pernah lihat bapaknya bareng artis itu soalnya. Bener, kan?” timpal yang lain. Huzam yang menyadari temannya merasa tidak nyaman mengedikan dagu. “Apa?” “Ruang BK.” Roni mengangguk. Ide Huzam jauh lebih baik. Pasalnya menunggu ayahnya menyapa petinggi sekolah hanya akan membuatnya semakin merasa menjadi tontonan. Huzam pun melangkah. Ia harus segera sampai di sana bersama Roni. “Mau ke mana?” sergah Zia. “Toilet, Bu.” “Berdua?.” “Iya, Bu. Kebetulan saya juga mau ke toilet,” tambah Roni. Ziya mengernyit. Bisa jadi murid bengalnya ini sedang bersandiwara. “Kebelet, Bu. Nggak tahan.” Ziya menghela napas. “Ya sudah. Tidak kabur. Setelah dari toilet langsung ke ruang BK.” “Siap, Bu!” jawab mereka kompak. Roni dan Huzam saling mengangguk. Mereka berjalan pelan menyusuri turunan menuju ruang BK. SMK Hijau yang merupakan SMK swasta di kabupaten itu terbilang luas. Berbagai macam fasilitas tersedia termasuk lapangan basket. Huzam berjalan sambil menoleh ke sisi kanan. Dulu sekali sebelum semua menjadi seperti saat ini ia pernah berencana akan menekuni olah raga satu itu. Namun, aktivitasnya di sekolah justru jauh berbeda. “Buruan!” seru Roni. Tepat di belakang ruang BK ada sebuah parkiran untuk siswa. Biasanya mereka bisa melewati pagar dan berjalan keluar sekolah. Huzam mengangguk. Tanpa perlu dijelaskan lebih lanjut ia paham maksud Roni. Keduanya lewat tatapan mata sudah pasti sepakat dengan ide dadakan itu. “Yakin?” Giliran Roni yang mengangguk. “Nggak ada cara lain,” jawabnya. Huzam pun tersenyum tipis. Sungguh, dari semua kegiatan yanga ada ia paling suka lompat pagar. “Sayap kanan, Zam,” ujar Roni. Huzam patuh dengan perintah itu. Artinya Roni dulu yang menaiki pagar dan ia harus berjaga. Ia sangat percaya diri, mengingat seberapa banyak siswa lain melihatnya, tetap tak akan ada yang peduli. Huzam pemilik sekolahan. Begitu julukannya. “Aman?” tanya Roni sambil berusaha menaiki sebuah tumpukan balok kayu yang mereka sembunyikan di tempat-tempat tertentu. “Aman. Lets go!” Roni tersenyum puas. Dari dulu ia paling senang berkawan dengan Huzam. Selain bisa mencarikan segala macam hal yang ia inginkan, Huzam juga selalu mengutamakan orang lain dibandingkan dirinya. Huzam menoleh ke belakang. Memastikan tak ada satu orang pun yang mengetahui aksi mereka. Kalaupun ada ia hanya perlu memelototi sambil mengintimidasi dengan gestur yang tak bisa dibantah. Waktu beberapa detik dimanfaatkan oleh Huzam dan Roni. “Dikit lagi, Zam,” ucap Roni. “Iya, iya. Buruan.” Roni siap dengan lompatannya setelah badannya tengkurap di atas tembok. Ia tinggal menggulingkan diri saja. “Yak!!!! Ngapain kalian!!!” teriak siswi SMK Hijau yang sangat mereka kenal. “Buruan!” seru Huzam. Ia mulai memanjat tembok seperti Roni. “Mau kabur lagi kalian?!!!” teriak siswi SMK Hijau itu. Ia berlari secepat mungkin untuk mendapatkan dua siswa yang berusaha kabur. Huzam sekuat tenaga memanjat pagar. Roni sudah berhasil turun. Ia hanya perlu satu gerakan saja untuk bisa melarikan diri. “Kena kau, Mas!” ujar siswi SMK Hijau itu. Sialnya tarikan siswi tersebut di kaki Huzam cukup kuat. “Arrghhhh!” keluh Huzam. “Mau kabur kamu, Mas? Udah jelas-jelas ketangkap basah? Nggak tau malu banget!” ujar Bintang. Huzam yang jelas tidak akan bisa melawab Bintang diam saja. Ia mengusap lengannya yang kotor terkena tanah. Tarikan Bintang membuatnya terjungkal. “Ikut aku!” perintah Bintang. Huzam pun bangkit. Ia malas berurusan dengan Bintang. Cara terbaik hanya dengan membiarkan adiknya berjalan di depan sambil menahan kekesalan. Ya. Memang tak tahu malu sekali dirinya. Sudah miskin, suka membuat masalah dan masih berusaha kabur. Huzam pun mengamati tembok yang sudah berhasil dilalui Roni. Ia yakin temannya akan menemukan jalan sendiri di luar sana. Bintang mendorong keras pintu ruang BK. Harusnya ia tidak akan bersekolah di SMK Hijau. Akan tetapi karena satu-satunya yang menawarkan bebas biaya hanya sekolah ini, terpaksa ia menyetujui. Ditambah lagi saat kakaknya tidak naik kelas. Yang mengakibatkan mereka harus bersama dalam satu periode pembelajaran. Bintang kelas sepuluh dan Huzam kelas dua belas. “Ketauan?” tanya Jaka tak percaya. “Kalian?” Jaka terkikik. “Roni mana?” Huzam mengedikan dagu. Ia tak perlu membahasnya di ruang BK. “Nggak ada guru?” “Lagi dipanggil sama Pak Kepsek semua. Ada ortunya Roni,” jawab Niken. Ia mengamati Bintang—adik kandung Huzam. Ia tak suka dengan gadis pemberani itu. “Dia yang jaga?” tanya Huzam sambil menatap remeh ke arah adiknya. Jaka mengangguk. “Sialan,” desis Huzam. Bintang mendengar ucapan kakaknya. Ia menghunuskan tatapan tajam. “Duduk!” perintahnya. Entah kebetulan atau bagaiamana. Ziya meminta Bintang untuk berjaga-jaga. Seolah mengerti dua murid istimewanya akan kabur lagi, Ziya sengaja memasang Bintang sebagai tangan kanannya. Semua orang di sekolah ini tahu, Huzam akan sedikit melunak jika berurusan dengan Bintang. Huzam mengikuti perintah adiknya. Ia tak mau membuat masalah. Mengingat sang adik selalu mengutarakan pendapatnya. “Aku malu jadi adiknya Mas. Kenapa Mas nggak pergi aja dari sini!” teriak Bintang saat Huzam tertangkap ikut tawuran. Seperti biasa Huzam bungkam. Tak mengeluarkan sepatah kata apa pun. “Mas tau apa yang mereka bilang ke aku? Mas ngerti nggak gimana mereka ngejek aku?!” Huzam tak menjawab. Percumah karena sejak awal namanya memang sudah buruk. Jauh sebelum adiknya bersekolah di SMK Hijau. “Minimal kalau nggak bisa punya prestasi, nggak usah bikin masalah, Mas. Kita bisa sekolah di sana karena beasiswa. Kalau nggak ada, nggak bisa, Mas,” tutur Bintang. Ia sadar betul kondisi ekonomi keluarganya. Huzam mendongak. Kalau diizinkan ia lebih memilih keluar. Tidak perlu menggunakan seragam dan bebas melakukan apa-apa. Ia paling tidak suka diatur ... oleh siapa saja. “Sekali lagi Mas bikin masalah, aku nggak bakal anggap Mas, kakak. Kita bukan saudara,” tegas Bintang. Matanya nyalang ke arah Huzam. Sejak saat itu, Huzam lebih memilih menjaga jarak. Tidak mendekatkan diri di sekolah meski mereka kakak adik. Ia tahu betul adiknya membencinya. Setiap hari Bintang lebih baik menunggu angkutan umum dibandingkan ikut berangkat bersamanya menggunakan sepeda motor. Ia memang sangat layak untuk dibenci saudara kandungnya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN