"Siapa, Mas?" Bintang berusaha keluar dari kamarnya.
Huzam menghela napas. "Bu Ziya."
"Bu Ziya? Kok nggak bilang, Mas. Harusnya bangunin aku."
"Nggak apa-apa. Kamu tadi baru tidur."
Bintang sedikit kecewa. Ia jelas ingin bertemu dengan guru favoritnya. Setidaknya bercerita sedikit tentang beberapa hal.
"Apaan itu, Mas?"
Huzam mengangkat gudibeg yang diberikan Ziya. Ia mendesah seraya meletakan gudibeg itu di atas meja.
"Nggak tau."
Bintang cukup antusias. Ia berjalan mendekat ke arah kakaknya. Jelas isi dari bingkisan itu menariknya.
"Buat kamu katanya." Huzam sedikit putus asa. Ia nampak tidak senang setelah melihat isinya.
"Wah!" seru Bintang.
Tidak hanya sembakau saja. Ada beberapa obat, multivitamin dan satu buah buku.
"Bu Ziya memang keren."
Huzam menatap sekilas wajah adiknya. Binar kebahagiaan tercetak di sana. Ia sebagai kakak sekali pun belum pernah melakukannya.
"Eh, mau ke mana, Mas?"
"Jemput ibu."
"Ah, ya. Hati-hati, Mas."
Huzam pun mengangguk. Ia berjalan ke luar rumahnya. Ada perasaan yang berbeda saat menyaksikan senyum Bintang. Sungguh, ia sebagai yang paling dituakan di rumahnya, belum pernah melakukan apa-apa. Huzam mengembuskan napasnya kasar. Hatinya mulai gusar.
Rumah Mbak Yani orang yang sedang meminta ibunya bekerja tidak terlalu jauh. Setelah bertanya dengan beberapa orang yang ada di jalan akhirnya ia menemukan rumah itu. Tidak terlalu mewah masih tampak biasa. Namun, jelas lebih baik dari rumahnya. Huzam mengayunkan langkah. Harapannya sebelum matahari sempurna turun, mereka sudah sampai di rumah.
"Assalamualaikum!" seru Huzam. Mungkin, ini pertama kalinya ia mengucap salam sekeras itu.
"Waalaikumsalam," jawab seseorang dari dalam. Huzam menunggu dengan sabar di luar.
"Siapa, ya?"
"Huzam, Bu."
"Huuuuzam?" tanyanya sedikit canggung.
"Iya. Putranya Bu Ningtiyas."
"Masyaallah Huzam? Sudah sebesar ini?"
Huzam mengangguk kecil. Ia cukup malu saat tetangganya sendiri tidak paham dengannya. Ya, selama ini ia memang jarang berinteraksi sosial dengan warga sekitar.
"Ayo, ayo masuk, Zam. Ibu kamu sebentar lagi selesai."
"Tidak perlu, Bu. Saya tunggu di sini saja." Huzam menunjuk salah satu kursi yang ada di teras rumah itu. Ia merasa tidak perlu masuk ke dalam.
"Ya sudah kalau begitu biar saya panggilkan, ya. Kebetulan Rahma juga tidur."
Huzam pun cukup kaget. Bahkan demi kelancaran hidup mereka, ibunya rela melakukan apa saja.
"Baik, Bu."
Pemilik rumah itu masuk kembali ke dalam. Huzam menunggu dengan cukup sabar. Ia mengedarkan pandangan sambil memikirkan banyak hal.
Haruskah? Mungkinkah?
"Huzam," ujar Ningtiyas saat sampai di teras.
Refleks Huzam berdiri. "Ya, Bu."
"Ayo," ujarnya.
Huzam mengangguk. Mungkin, pemilik rumah sudah menjelaskan tentang keberadaannya. Ia berjalan meninggalkan rumah itu bersama ibunya yang menggendong Rahma.
"Gantian sama Huzam aja Bu."
Ningtiyas menggeleng. "Ndak perlu. Nanti malah bangun."
Ya, Rahma masih terlelap. Adik satu ibu beda ayah itu cukup penurut. Meski sering diajak kerja, tidak pernah membuat masalah.
"Kamu ngapain nyusul ibu?" tanya Ningtiyas saat beberapa meter lagi sampai rumah.
Huzam pun menghentikan langkah. "Malam ini Huzam mau nginep, Bu."
"Di mana?"
"Di tempat Jaka. Ibu tau teman Huzam yang itu?"
"Yang orang tuanya jualan di Candi?"
Huzam mengangguk.
"Sejak kapan kalau mau nginep bilang? Bukannya memang terbiasa keluyuran?" ledek Ningtiyas.
Huzam mengukir senyum. Jarang-jarang memang ia berpamitan. Ia hanya ingin memastikan ibu dan adiknya aman.
"Rumah dikunci ya, Bu."
"Iya. Hati-hati."
***
Huzam memastikan Jaka menunggu di tempat biasa. Begitu sahabatnya memberi kabar mereka harus keluar, Huzam pun paham.
"Hai, Bro!" sapa teman yang lain yang tergabung dalam anggota perkumpulan itu.
Huzam membalas jabat tangan itu seraya mengangguk mantap. "Jaka?"
"Di dalem. Biasa bagian yang narikin uang, Bro."
Huzam mengulas senyum yang lebih terlihat seperti smirk. Ia tahu betul maksud tarikan itu. Huzam pun berjalan mendekat ke tempat tongkrongan yang menjadi tempat kumpul-kumpul mereka.
"Hai, Bro! Dateng juga lo!" ujar Jaka yang sudah nampak lebih baik.
"Udah sembuh?"
"Udah, dong. Kalau belum mana bisa." Jaka memamerkan beberapa lembar uang di tangannya.
"Bisa aja. Bagi rokok, Jak!" Beberapa hari ini Huzam belum melakukan aktivitas favoritnya itu. Uangnya terkuras habis untuk membeli obat Bintang.
"Si capung aman?" Jaka mengangkat alisnya. Malam ini ia bahkan menjagokan Huzam dengan bertaruh dua kali lipat.
Huzam tersenyum tipis. Malam ini ia datang tanpa persiapan. Ia juga lupa tidak memberitahu Jaka.
"Pake motor lo."
"Whatsss! Gimana ceritanya?" Jaka pun tersentak.
"Udah ilang si Capung."
"Ilang gimana, Zam. Yang bener kamu. Masa ada maling nyuri dari maling."
Huzam pun mengangkat tangannya dan mendaratkan pukulan di lengan Jaka. Ia tidak seburuk itu meski dulu pernah melakukannya.
"Iya, iya, sorry. Lah kalau bawa motorku mana bisa juara?"
"Ragu?"
"Ya dikit, Zam. Si Capung itu pembawa keberuntungan."
"Sante aja. Yang bawa keberuntungan tangan gue."
Jaka pun tergelak. Selain terkenal suka membuat masalah, Huzam cukup percaya diri dalam bidang yang ia rasa kuasai.
"Oke, lah. Harus menang, Zam. Banyak yang bertaruh buat lo."
Huzam mengisap dalam gulungan tembakau itu. Jiwanya seperti melayang. Asap yang mengepul tinggi menghadirkan sensasi sendiri. Pernah ia tergoda untuk mencoba yag lain. Yang katanya bisa membuatnya semakin menggila. Namun, ia belum memiliki biaya. Huzam pun melangkah keluar dari tempat tongkrongan. Ia harus memastikan performa motor milik Jaka terlebih dahulu.
"Nggak salah, Zam. Mau nomor buntut to?" seloroh salah satu saingannya. Huzam tidak menanggapi. Ia yakin bisa menjadi nomor satu. Hadiah juga nilai taruhannya cukup besar.
Bukan hal baru memang perkumpulan para remaja itu melakukan aksi balap liar. Selain menjadikannya sebagai ajang tontonan, acara itu disinyalir menjadi bahan perjudian karena menempatkan taruhan bagi setiap pembalapnya. Ini jelas bukan yang pertama bagi Huzam. Ia sudah biasa melakukannya bersama si capung. Namun, dengan motor milik Jaka baru pertama.
"Sombong, lo, Zam. Kayak biasanya." Huzam tetap diam. Para pesaing hanya berusaha menggertaknya.
Satu per satu para pembalap mengecek setelan motornya. Mulai mengencangkan gas dan bahkan menariknya ke dalam beberapa kali hingga menimbulkan suara bising sekaligus riuh tepuk tangan penonton. Huzam berkonsentrasi. Ia harus mendapatkan hadiah itu tidak peduli bagaimanapun caranya.
"Bersedia? Siap?!" teriak Jaka yang menjadi pemandu malam ini.
Para pemotor semakin menggila dengan motornya masing-masing. Seolah mereka sedang bersiap berlaga di sirkuit Mandalika.
"Go!!!!" teriak Jaka seraya mengibarkan jaketnya.
Satu per satu motor bising itu melesak maju. Huzam dengan keyakinan dan tekad diri tidak mau ketinggalan. Ia melakukan hal yang sama meski bukan dengan si capung. Jika malam-malam sebelumnya ia melakukan taruhan ini hanya untuk bersenang-senang. Tidak untuk malam ini. Ia harus mendapatkankan hadiahnya.