31. Kembali ke Awal

1089 Kata
Huzam keluar dari wilayah kantor itu dengan perasaan yang lagi-lagi membuat hatinya kesal. Ia sudah beberapa kali harus mengalami kejadian yang sama. Disudutkan, ditanya banyak hal yang pada akhirnya menggiring pada perubahan statusnya dari saksi yang mengarah ke tersangka. Huzam menggeleng. Jika begini terus mustahil kebenaran akan kematian sang ibu dan keberadaan Bintang akan terungkap.                “Mari Mas Huzam,” ujar salah satu santri yang hari ini bertugas mengantar Huzam. Ia tidak sendirian karena ada sopir khusus yang biasanya mendampingi ‘Pak Kiyai’ dan ‘Bu Nyai’.                Huzam hanya mengangguk. Ia memang harus mengikuti segala macam aturan yang ada di pondok pesantren, tempat di mana ia harus tinggal sementara. Setelah peristiwa itu, Huzam nyaris menetap di sana dan itu yang membuatnya cukup merasa bosan. Mobil pun melaju. Di perjalanan tak ada aliran kata. Ketiganya sempurna diam. Huzam sendiri pikirannya berkelana. Ia harus mulai menyusun berbagai macam cara.                Bangunan berlantai dua itu dengan banyak kamar menjadi ciri khas pesantren sudah cukup akrab bagi Huzam. Ia yang pada akhirnya harus mengikuti semua aturan demi bertahan hidup, mulai terbiasa. Ia sendiri sudah pasang andai nasibnya benar-benar selamanya di sana. Namun, hari ini ia berpikir bahwa ia akan mencoba meninggalkan tempat itu.                “Langsung ke rumah Gus Azmi ya, Mas.”                Huzam mengangguk. Artinya ada kunjungan khusus jika salah satu penjaganya dalam tanda kutip santri lain yang dikhususkan untuk mengawasinya memerintahkan itu. Ada seseorang yang jelas menyempatkan diri datang membawa beberapa pesanan.                Huzam mengetuk pintu ruangan itu sebanyak tiga kali. Ia masih belum terbiasa mengungkapkan salam secara terbuka meski sudah hampir tiga bulan tinggal di sana.                “Sini masuk,” ujar Gus Azmi yang memang menjadi pimpinan di tempat itu.                Huzam berjalan pelan. Ia tahu dari tumpukkan beberapa buku di meja sudah menjelaskan siapa yang datang mengunjunginya. Namun, ia tidak melihat sosok itu.                “Duduk, Zam.”                Huzam mengangguk. Ia mematuhi perintah Gus Azmi.                “Gimana kabarnya? Sehat?”                “Sehat, Pak.”                Ya. Huzam bukanlah para santri yang sejak awal tinggal di pesantren itu atas kemauan sendiri. Ia terpaksa melakukannya karena harus melakukan pengabdian. Ditambah setelah ada peristiwa mengerikan itu, ia membutuhkan tempat perlindungan. Huzam, jelas belum terbiasa menyebut pimpinan di pesantren ini dengan sebutan ‘gus’ layaknya yang lain.                “Ini ada titipan. Adik ipar saya yang tadi mengantar. Seperti biasa ya, Zam, tugas-tugas.” Gus Azmi tersenyum. Ia paham betul mengapa adik iparnya rela melakukan banyak hal termasuk memperhatikan anak SMK ini.                Huzma mengangguk lagi. Buku-buku itu juga tidak akan ia sentuh. Paling mungkin ia bairkan di atas meja atau kasur miliknya. Huzam tidak pernah benar-benar belajar.                “Bagaimana tadi di kantor?” Gus Azmi tahu bahwa hari ini Huzam diminta datang untuk memberikan keterangan. Gus Azmi juga mengerti sedikit tentang proses penyelidikan itu yang cukup berbelit.                Huzam menggeleng. Tidak ada yang bisa ia andalkan. Semuanya masih sama. Gus Azmi pun menghela napas.                “Begini, Zam. Boleh saya bertanya?” Huzam mengangguk. Ia mana berani untuk menolak pertanyaan dari pimpinan pesantren. “Sebenarnya pengabdian yang diminta oleh sekolah hanyalah satu bulan, Zam. Kamu tahu itu, kan?” Huzam mengangguk. Ya, ia sangat paham. Keberadaanya di sini menjadi lebih lama karena hal lain.                “Begini. Bukan berarti saya itu melarang kamu untuk tinggal di sini, tidak. Saya hanya merasa kamu tidak sepenuhnya ada. Apa mungkin Huzam ingin berada di tempat lain?” Gus Azmi sedikit berhati-hati di sini. Ia tidak ingin Huzam merasa tersinggung atas ucapannya.                Huzam berpikir sejenak. Sebenarnya lingkungan pesantren bukanlah tempat ideal baginya yang bengal. Mengikuti banyak aturan yang ada cukup membuatnya kewalahan. Namun, ia tidak bisa menghindar.                “Saya ada teman yang kebetulan butuh pekerja, Zam. Beliau mau menerima siswa. Kerjanya setelah pulang sekolah.”                Huzam mendongak. Meski tampak lancang, ia beranikan diri untuk melihat wajah Gus Azmi. Ia tahu itu bentuk perhatian, tapi Huzam merasa sudah berlebihan.                “Saya balik ke rumah saya saja, Gus. Saya sudah siap.”                Gus Azmi tersentak. Mungkin, Huzam benar-benar tersinggung.                “Bukan begitu, Zam. Ada tempat lain pasti.”                Huzam mengangguk. “Terima kasih, Pak. Tapi saya memang tidak akan terus-terusan di sini. Saya juga tidak mau merepotkan Bu Ziya.” Tanpa perempuan itu, mustahil Huzam akan berada lebih lama di pesantren. Pasti ia sudah di depak baik dari sekolah maupun tempat ini. Empat bulan pasca kejadian itu, sudah waktunya ia tidak merepotkan wali kelasnya.                “Minggu depan ujian, Zam. Apa tidak menunggu itu?”                Huzam mengulas senyum. “Terima kasih, Pak, atas perhatiannya. Saya rasa tidak perlu. Saya tetap akan mengikuti ujian.”                Kali ini giliran Gus Azmi yang mengangguk. Huzam, setidak patuhnya pada peraturan, sejatinya memiliki prinsip hidup yang cukup kuat. Remaja ini, yang mungkin sudah tidak tergolong remaja lagi jelas tidak mau kalau selamanya akan menjadi beban orang lain.                “Ya sudah saya percaya, Zam. Semoga Allah memberimu kemudahan, di mana pun itu.”                Huzam mengangguk mantap. Ia berjalan keluar dari ruangan itu sekaligus bangunan yang beberapa bulan ini sudah menampungnya. Huzam sendiri tidak yakin apakah ia akan pulang ke rumahnya, di mana rumah itu sudah pasti tidak terawat lagi atau ia akan menjadi gelandangan seperti teman-temannya yang lain yang mungkin bernasib hampir sama dengannya.                Huzam mengemasi semua barang-barang miliknya tak terkecuali buku-buku yang rajin dikirimkan Ziya. Pada waktu tertentu bahkan Ziya menemuinya langsung dan menanyakan beberapa hal.                “Ingat, Huzam bagaimana harapan ibu kamu dan Bintang. Kalau kamu putus sekolah, pasti mereka sangat kecewa.” Ziya terus mendengungkan kata motivasi. Perempuan itu tak henti memberi Huzam semangat agar bertahan hidup di kehidupan yang kejam ini.                “Saya percaya kamu bisa, Zam. Satu langkah lagi. Uji kompetensi kamu sudah bagus, tinggal ujian sekolah.”                Huzam hanya mengangguk kala itu. Ia tidak pernah memiliki target apa-apa selama bersekolah. Ia sejak lama hanya ingin keluar dari pendidikan formal itu.                “Kamu bisa bekerja di dapur gending, Zam kalau mau. Atau di home stay abah. Biasanya banyak turisnya. Asyik lo, Zam.” Ziya terus mengatakan hal-hal baik. Perempuan itu tidak pantang menyerah meski Huzam hanya mengangguk kecil atau sekadar tersenyum getir. Orang sepertinya mana bisa bekerja seperti itu. Ia tidak mungkin telaten.                Huzam mengukir sedikit senyum. Buku-buku ini meski tidak tersentuh sama sekali menyimpan segudang memori. Beberapa bulan lalu,  ia sempat berpikir akan menjadi orang yang lebih baik dari sebelumnya. Sebelum nyawa ibunya melayang dan Bintang tak diketahui rimbanya, ia bertekad akan mengubah semua. Sekarang, saat semuanya seperti mengabur dan tak jelas arahnya, Huzam hanya akan bertahan hidup menjadi dirinya yang kembali tidak memiliki harapan sama sekali. Babak baru itu sudah usai. Ia tidak akan pernah kembali ke sana dan merencanakan dengan indah gambaran masa depan yang sempat ia pikirkan. 
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN