Retak. Kepercayaan itu rapuh. Sekalinya retak, sulit untuk diperbaiki.
=*=
Rasa sakit di kepala membuatnya urung bangkit dari kasur. Tapi kandung kemihnya penuh dan dia tak ingin mengotori seprai dengan cairan pagi yang pesing. Memalukan. Juga menjijikkan. Masalahnya bukan dia yang nantinya harus membereskan kasur dan mencuci seprai. Meskipun tidak mungkin ada yang berani mencelanya, dia tetap tidak mau dicap lelaki jorok.
Setelah mengeluarkan isi kandung kemihnya, dia mengaduk-aduk kotak obat dan mengeluarkan dua butir pil dari tabung transparan. Aspirin. Kepalanya butuh diringankan sebelum dia memutuskan akan ke kantor atau tidak. Tidak ada yang mengharuskan dia pergi bekerja setiap hari. Toh perusahaan juga miliknya sendiri. Jika semua urusan bisa diselesaikan bawahan, untuk apa dia repot-repot mengurusi kerjaan. Bukankah bawahan digaji untuk bekerja dan dia menggaji untuk bersantai? Kalau semua kerjaan harus dia yang melakukan, lebih baik karyawan satu gedung itu diberhentikan saja semuanya.
Dia menelan pilnya, lalu duduk bersandar pada kursi di ruang makan. Pikirannya sedikit terperangkap pada kejadian semalam. Samar-samar dia mengingat sesuatu. Merasakan sesuatu.
Jeritan tertahan yang putus asa. Gerakan meronta yang sia-sia. Lalu desahan itu ... Erangan tertahan yang lirih namun dia yakin, dia mendengar erangan itu. Dan erangan itu begitu ... Begitu ....
Akkhhh! Sial!
Mengapa harus terganggu oleh erangan tipis semalam? Sudah berapa banyak perempuan mengerang karenanya dan tak satu kali pun dia merasa terganggu. Tidak hingga semalam.
Kenapa?
“Cewek ini beda dari yang lain. Gue ngerasa gitu. Gue nggak tau apa ini rasa simpati atau yang lainnya. Apa gue kasihan sama dia?”
Lalu dia teringat sesuatu. Langkahnya gontai ketika berjalan ke ruang tamu, di mana dia menyerakkan seluruh barang – barangnya semalam sebelum jatuh terkapar. Dicarinya benda pipih hitam yang seharusnya masih menyala karena dia baru mengisi dayanya kemarin sore.
“Ah, ini dia!” serunya ketika benda itu dia temukan di saku jaketnya. Dimasukkannya kode khusus untuk mengaktifkan layar ponsel lalu dia langsung mencari sesuatu di galery.
Beberapa saat matanya membuntang menatap foto dan juga video-video kurang fokus dan buram yang dia ambil semalam. Kembali suara itu bergaung di telinganya. Ketika video terakhir selesai dia putar, tubuhnya mendadak lemas dan dia pun jatuh terduduk di kursi terdekat. Matanya menangkap sebuah benda tipis yang menyembul dari saku jaketnya.
Tangannya terulur dan membaca nama serta memandangi foto yang menempel di sana.
“Dia cantik. Sangat cantik. Aku ingin memilikinya,” katanya lirih.
Lalu tiba-tiba kepalanya berdenyut lagi. Kali ini menggila. Dua butir aspirin tak bisa meredam denyutnya. Dia memutuskan untuk mencoba kembali tidur.
=*=
"Val, gue minta maaf soal semalam. Nggak seharusnya gue ninggalin lu gitu aja." Sarah mengempaskan tubuhnya di samping Valerie yang terduduk diam.
"Lu berhak marah. Setelah nurunin lu semalam gue jadi kepikiran. Soalnya semalam jalanan licin banget. Gue aja nyaris tergelincir di simpang empat. Semoga lu nggak kenapa-kenapa, ya, Val."
‘Terlambat. Kalau lu nggak ninggalin gue ... Kejadian semalam nggak akan menimpa gue.’
Val mengeraskan rahang. Dia ingin menimpakan semua kesalahan pada Sarah agar perasaannya sedikit tenang. Tapi jika dia memaki, sama artinya dia membocorkan kejadian semalam. Dan itu aib. Tidak ada yang boleh mengetahui tentang kejadian itu.
"Val ... Lu marah, kan? Iya, kan? Jangan diem gini, dong. Lu marah aja kayak biasanya. Gue nggak apa-apa, kok." Sarah menyentuh bahu Val yang geming.
"Val?" Sarah mencoba membalikkan bahu Val perlahan. Membuat Val mengembuskan napas berat dan menoleh pada Sarah.
"Oh mai! Bibir lu kenapa, Val?" Sarah menutup mulutnya sambil memandang bibir Val yang sedikit bengkak. Tangannya terulur hendak menyentuh bibir sahabatnya, namun Val menghindar.
"Jatuh. Seperti lu bilang. Jalanan licin semalam," katanya dingin.
Jawaban sama seperti yang dia berikan pada orang tuanya semalam ketika mereka melihat keadaannya yang berantakan.
"Maafin gue ya, Val. Ini semua gara-gara gue. Kalau gue nggak nurunin lu di jalan pasti lu nggak akan kayak gini."
‘Dan gue nggak akan diperkosa! Ya! Ini gara-gara lu. Semua gara-gara sifat buruk lu. Dasar anak manja. Egois. Bego!’
"Lu ... Lu udah berobat, kan? Maksud gue, bibir lu udah lu obatin?" Sekali lagi tangannyanya terulur dan lagi-lagi Val menggeser tubuhnya hingga tangan Sarah hanya menyentuh udara.
‘Hati, perasaan, tubuh gue, diri gue yang harusnya diobatin. Gue nggak tau gimana caranya gue sembuh dari trauma ini. Gue juga nggak tau kenapa masih bisa pergi ke sekolah dan bersikap biasa aja. Padahal semalam, gue udah memutuskan mau mati. Tapi gue masih hidup! Nggak tau sampai kapan gue bakalan bertahan. Dan ini semua gara-gara, lu, Sar!’
"Gue nggak apa-apa, Sar. Cuma nyium aspal aja semalam. Nggak lama lagi juga bengkaknya bakal ilang."
"Val, gue beneran minta maaf, ya. Gue egois banget semalam."
‘All the time. Bukan cuma kali ini.’
"Lu bilang, deh, Val, apa yang bisa gue lakuin buat nebus kesalahan gue. Apa pun Val."
"Apa pun?"
"Apa pun."
‘Balikin hidup gue, Sar. Balikin keperawanan gue! Bisa?’
Val menggeleng. "Gue nggak minta apa-apa. Andai gue minta pun, nggak bakal bisa lu kabulin."
"Maksudnya?"
Bel masuk memutus pembicaraan mereka. Sarah kembali ke bangkunya di sebelah kanan Val. Ika yang datang terlambat, terlihat heran melihat muka Val. Namun jawaban atas pertanyaan di kepalanya harus tertunda karena guru mereka sudah berdiri manis di depan kelas. Menunggu setiap kelompok menyerahkan tugas karya tulis perjalanan mereka ke Jogja minggu lalu.
=*=
"Val! Val! Tunggu Val!" Ika mengejar Valerie yang terburu- buru keluar kelas.
"Val, ada apa semalam?" tanya Ika ketika dia dan Val sudah berhadapan.
"Nggak ada apa-apa. Kenapa?"
"Sikap lu aneh. Nggak kayak biasanya. Something happen?"
"Gue cuma jatuh. Itu aja, kok."
"Pasti ada sesuatu ketika lu jatuh. Gue tau elu. Kita sahabatan udah lama. Lu mau crita?"
Val menghela napas. Dia butuh bahu untuk bersandar saat ini. Dia butuh tempat untuk mencurahkan segala isi hatinya. Tapi tak bisa. Peristiwa itu terlalu memalukan untuk diingat, apalagi diceritakan.
"Gue lagi bad mood. Mungkin PMS. Gue mau ke perpus. Lu ikut?" ajak Val. Ika menggeleng. Dia menatap sedih pada punggung Val yang menjauh. Sesuatu telah terjadi. Ika bisa merasakan itu. Sesuatu yang sangat besar dan tidak biasa. Val tidak bisa bercerita apa-apa saat ini. Tapi jika waktunya tiba, dia ingin jadi orang yang tepat untuk selalu berada di sisi Val. []